Bukan Sekadar Empatik, tapi Memahami Peran Sebagai Katalisator

Bukan Sekadar Empatik, tapi Memahami Peran Sebagai Katalisator

Maaf kak, saya jadi nangis. Rasanya gak nyangka ada yang percaya apa yang saya alami.

Penyintas kekerasan seksual, di Ruang Aman Perempuan Berkisah, konseling via zoom

Terkadang, kita sering merasa bahwa respon penyintas saat konseling di Ruang Aman Perempuan Berkisah terkesan berlebihan. Namun, bagi penyintas sikap empatik kita sangatlah berarti. Nyatanya memang tidak jarang penyintas membutuhkan support system yang mampu menguatkannya. Bahkan sekadar tidak meragukan cerita penyintas saja, itu sangat berarti bagi penyintas. Memvalidasi cerita penyintas juga bisa diungkapkan melalui sikap dan bagaimana kita sebagai konselor mampu menuturkannya. 

Tidak Sekadar Mendengarkan

Menjadi pendengar yang empatik adalah di mana kamu tidak hanya mendengarkan dan memahami kronologis permasalahan, penyebab permasalahan, atau dalam kata lain ‘teknis’ dari kisah. Namun mendengar secara empatik fokus pada bagaimana kamu menempatkan diri kamu dalam permasalahan yang sama dengan lawan bicaramu. Seolah kamu berada di posisi yang sama dengannya, merasakan emosi-emosi yang sama seperti kekecewaan, keresahan, kebingungan, dan lain sebagainya. Atau dalam kata lain kamu melakukan mirroring atau pencerminan kembali pada dirimu atas apa yang diceritakan oleh lawan bicaramu. Sehingga kamu mendapatkan pemahaman utuh tidak hanya mengenai kronologis kisah, namun juga bagaimana kejadian atau kisah tersebut dapat mempengaruhi pikiran atau psikologismu  juga.

Jangan Sampai Korban Mengalami Kekerasan Berulang

Pengalaman menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah mimpi buruk yang sulit berakhir bagi para penyintas. Bukan hanya pengalaman kekerasan seksualnya, proses penanganan dan pemulihannya pun membutuhkan jalan yang begitu panjang dan traumatik. Apalagi, budaya victim blaming menyebabkan sorotan kepada korban KBG jauh lebih besar dibandingkan kepada pelaku. Korban yang berani bercerita dan mencari bantuan tidak jarang masih menghadapi kekerasan berulang seperti disalahkan, didesak untuk memberi penjelasan mendetail, dicaci karena dianggap tidak suci, dan yang paling buruk adalah tidak dipercayai. 

Tidak jarang, budaya victim blaming ini juga dilakukan oleh pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu korban. Di berbagai lini, korban kembali dipersalahkan karena dianggap tidak melawan atau memberikan kesempatan pada kekerasan seksual untuk terjadi pada dirinya. Seringkali, cerita korban dipertanyakan hingga korban berada dalam tekanan dan mengubah pernyataannya. Risiko-risiko itulah yang membuat banyak korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) memilih untuk bungkam.

Jeli Menggali Kebutuhan Korban

Itu sebabnya, sebagai konselor atau pendamping korban KBG, kita harus jeli mengamati kebutuhan korban. Bukan hanya kebutuhan yang tampak kasat mata, tetapi kebutuhan korban untuk dipercaya. Korban yang trauma dan dalam kondisi tertekan kemungkinan masih sangat sulit untuk memproses situasinya. Namun, hal tersebut bukan menjadi alasan kita menganggap pengalaman korban tidaklah valid. Keberpihakan dan kepercayaan yang diberikan pada korban serta pengalaman-pengalamannya merupakan dukungan terbesar yang bisa kita berikan. 

Dalam proses konseling berbasis etika feminisme yang dilakukan di Ruang Aman Perempuan Berkisah, percaya dan berpihak pada korban merupakan salah satu sikap yang semestinya dimiliki oleh konselor. Konselor korban KBG semestinya memiliki sensitivitas gender; bersifat empatik, hangat, dan akomodatif; punya kemampuan mendengar aktif serta memvalidasi perasaan korban; dan yang paling penting adalah tidak menghakimi korban.

Bukan Hanya Empatik, tapi Juga Sebagai Katalisator

Seluruh sikap pendamping berbasis etika feminisme tersebut bukan sekadar wacana, tetapi mesti diwujudkan dalam proses konseling bersama penyintas. Karena, empati bukan cuma memahami perasaan konseli. Konseli butuh diyakinkan bahwa konselor adalah sosok yang bisa dipercaya serta peduli pada mereka. Itu sebabnya, empati membutuhkan aksi nyata yang bisa dilakukan dengan kalimat empati verbal seperti, “Saya bisa merasakan kegelisahan hati dan juga kecemasanmu.” Selain itu, konselor juga bisa memberikan pernyataan lainnya yang merupakan refleksi atas perasaan konseli. 

Selain kalimat-kalimat yang empatik, konselor juga perlu memahami bahwa perannya dalam konseling adalah sebagai katalisator. Konselor tidak disarankan untuk memaksakan kehendaknya kepada konseli. Sebaliknya, konselor haruslah menerima konseli apa adanya dengan segala latar belakang, prinsip, persoalan, pemikiran, serta kepribadiannya. Dengan sikap penerimaan ini, konselor akan terhindar dari jebakan internalisasi patriarki karena merasa sebagai sosok yang paling paham kebutuhan korban. 

Dukungan dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)

Dalam melakukan kerja-kerja sosial berbasis volunteerism untuk menguatkan para penyintas kekerasan berbasis gender (KBG), Komunitas Perempuan Berkisah bukan hanya didukung para relawan (volunteer) konselor, psikolog, maupun pendamping korban di beragam daerah, namun juga dari organisasi sosial seperti Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui program Pundi Perempuan. Program ini memberikan dana hibah senilai 20 juta kepada lembaga maupun komunitas, terutama yang memberikan layanan pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG). Dana Hibah sepenuhnya dimanfaatkan untuk pendampingan dan konseling perempuan dan anak korban/penyintas KBG. Tahun 2022 ini, Komunitas Perempuan Berkisah mendapat kesempatan sebagai salah satu penerima Dana Hibah untuk program selama Februari-Juli 2022. Selama 6 bulan ini, Komunitas Perempuan Berkisah melalui Ruang Aman konseling online telah melakukan pendampingan 112 konseli (korban/penyintas KBG0), jumlah ini kini mencapai 120 konseli per Agustus 2022 sejak tulisan ini dibuat. 

Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) didirikan pada tahun 1995 di masa tahun-tahun terakhir rezim otoriter Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. Ketika itu gerakan pro-demokrasi mulai berkembang. Saat IKa didirikan, perannya ditujukan untuk mendukung gerakan pro-demokrasi melalui hibah kecil/mikro dari organisasi donor internasional yang berbasis di Eropa (kebanyakan Belanda dan Belgia). Pendirinya adalah empat aktivis masyarakat sipil yang pada saat itu aktif dalam memajukan hak-hak buruh, hak-hak konsumen, hak asasi manusia dan pengembangan organisasi masyarakat sipil. 

Komunitas Perempuan Berkisah adalah komunitas di bawah naungan Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya), sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. Yayasan Pribudaya juga merupakan transformasi dari Komunitas Perempuan Berkisah yang telah sah secara hukum menjadi sebuah Yayasan sejak per 10 Mei 2022.