Bingkai Media Renggut Hak Perempuan Akses Aborsi Aman

Bingkai Media Renggut Hak Perempuan Akses Aborsi Aman

Berita cenderung mengeksploitasi, stereotip dan stigmatik terhadap korban

-Managing Editor Koran Tempo, Sunudyantoro

Rabu, 10 Agustus 2022 Konde.co bersama dengan Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat Indonesia (Yayasan IPAS Indonesia) meluncurkan hasil riset bertajuk Bagaimana Media Memandang Aturan Kebijakan pada Tubuh Perempuan: Hak Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan. Riset ini tumbuh dari asumsi tim Konde.co mengenai media yang belum banyak mengangkat isu aborsi aman dan juga masih memberitakan sisi jahat aborsi dengan menunjukkan para perempuan yang dipenjara karena aborsi. 

Asumsi tersebut terjawab melalui riset yang dilakukan pada enam media (Okezone.com, Pikiran-rakyat.com, Tribunnews.com, Kumparan.com, Merdeka.com, dan Liputan6.com) yang dilakukan dengan dua  metode yaitu metode riset framing (pembingkaian) artikel dan metode Focus Group Discussion (FGD). Riset dilakukan untuk mengetahui  dan memetakan perspektif keenam media tersebut dalam memberitakan artikel dengan kata kunci aborsi dalam kurun waktu setahun sejak 21 April 2021 sampai 21 April 2022. Kemudian, metode Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dilakukan kepada empat media yang diteliti dan empat media yang tidak diteliti   untuk menggali lebih dalam mengenai pendapat awak media terkait isu aborsi.

Minimnya Informasi Aborsi Aman akibat Pembingkaian Negatif Media terhadap Aborsi

Melalui riset ini, seperti dipaparkan Tim Konde.co, ditemukan bahwa media hanya memberitakan isu aborsi ketika sedang ramai pembahasannya, seperti saat pembahasan pasal terkait hak aborsi di Undang-Undang Tindak Pidana Seksual (UU TPKS). Di luar itu, media sangat terbatas mengangkat isu mengenai aborsi hanya pada hal-hal normatif. Belum lagi, potret mengenai tindakan aborsi menjadi jahat di media ialah karena sumber pemberitaan hanya berasal dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi dengan narasumber dari pihak kepolisian ataupun pemerintahan yang mempidana perempuan pelaku aborsi.

Senada dengan hasil riset tim Konde.co dan Yayasan IPAS Indonesia, sejauh yang saya bisa ingat dalam 22 tahun tumbuh di Indonesia, tidak pernah saya menemukan pemberitaan mengenai pentingnya layanan aborsi aman dan hak atas aborsi bagi perempuan baik itu di media cetak, digital, ataupun televisi. Pemberitaan yang ada seringkali tak jauh-jauh dari narasi aborsi oleh perempuan yang hamil di luar nikah, pelaku aborsi ditangkap dan dipenjarakan, aborsi sebagai tindakan berbahaya yang melanggar nilai agama dan norma sosial, ataupun menggambarkan aborsi sebagai tindak kriminal.

Padahal, media bisa saja memberitakan perihal aborsi dengan narasi berbeda misalnya, aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu dengan kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kehamilan. Bisa juga menyoroti kebutuhan akses aborsi yang cepat dan aman bagi korban perkosaan atau aborsi sebagai pilihan korban perkosaan untuk kembali pulih. Jadi, ada banyak narasi lain yang bisa digunakan untuk memberitakan aborsi tanpa harus menjadikannya sebagai hal yang jahat.

Isu aborsi seharusnya tidak dipandang sebagai suatu tindak kriminal. Ada banyak lapisan masalah yang perlu kita sadari dan bedah untuk memahami alasan atas akses terhadap aborsi aman adalah hak milik perempuan atas tubuhnya dan bukan sesuatu yang perlu didikte masyarakat. Mengkriminalisasi dan menyulitkan akses terhadap aborsi aman hanyalah membuka masalah yang lebih besar dan membahayakan nyawa perempuan. 

Aturan Aborsi Aman yang Belum Ideal dalam Pelaksanaan

Di Indonesia sendiri memang sudah ada beberapa aturan yang mengatur akses terhadap aborsi aman untuk perempuan korban perkosaan dan inses. Peraturan-peraturan tersebut yaitu UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan akibat Perkosaan. 

Namun, keberadaan aturan-aturan tersebut tidak membuat akses atas aborsi aman menjadi lebih mudah bagi korban perkosaan. Dengan minimnya informasi yang tersebar di media, kebijakan terkait aborsi aman menjadi kurang, atau bahkan tidak dipahami oleh berbagai pihak seperti aparat hukum, penyedia layanan seperti P2TP2A, pendamping korban, serta masyarakat.

Pelaksanaan aturan pun masih sangat menyulitkan akses korban untuk mendapatkan aborsi aman. Misalnya, pemberian kontrasepsi darurat bagi korban pemerkosaan harus melewati proses yang sangat panjang, yakni hanya dapat diberikan dengan resep dokter dan juga konfirmasi dari keluarga. Pembatasan waktu aborsi juga terlalu singkat, seperti di PP Reproduksi yang terbatas 40 hari sejak hari pertama menstruasi terakhir. Padahal, di usia kandungan tersebut kehamilan sering tidak terdeteksi atau disadari. 

Oleh pihak kepolisian, kehamilan sendiri dianggap sebagai bukti tindak kekerasan. Itu sebabnya, ketika kasus kekerasan diproses, korban perkosaan yang ingin mendapat akses layanan terhadap aborsi aman pun semakin sulit. Padahal, korban kekerasan seksual sendiri sudah terbebani dengan stigma dan pandangan buruk masyarakat kepada mereka. Sebagai korban perkosaan, mereka dianggap sebagai aib. Bayangkan jika melakukan aborsi, mereka akan dianggap sebagai pembunuh dan pendosa besar.

Perlunya Perspektif Keberpihakan Media untuk Membongkar Stigma Negatif Aborsi yang Mengakar

Perkara stigma yang membuat aborsi dipandang sebagai tindakan yang jahat dan tumbuh  di masyarakat ini kebanyakan berasal dari norma sosial ataupun nilai-nilai agama. Hal ini ternyata berdasarkan hasil riset yang dilakukan Konde.co merupakan salah satu alasan mengapa media ragu, bahkan takut untuk mengangkat isu aborsi aman. Ketakutan ini tumbuh karena tidak adanya perspektif dari media untuk berpihak secara tegas di sisi korban kekerasan seksual. Padahal, stigma terhadap tindakan aborsi tidak akan hilang apabila dari pihak media tidak melakukan upaya refleksi diri dan juga klarifikasi nilai terhadap seluruh anggota tim redaksi. 

Menghapus stigma dalam tubuh media merupakan salah satu hal yang harus dilakukan untuk berbenah. Karena itu, penting sekali bagi media untuk berkolaborasi dengan pihak penyedia layanan dan juga organisasi yang bergerak di isu penghapusan kekerasan seksual untuk melakukan pelatihan kepada seluruh tim supaya menumbuhkan perspektif yang berpihak pada perempuan korban kekerasan seksual, khususnya mereka yang membutuhkan akses atas aborsi aman.

Perlu digarisbawahi bahwa media memiliki peran penting dalam memperluas informasi dan menjadi sekutu dalam advokasi isu akses layanan terhadap aborsi aman. Itu sebabnya, stigma dan potret jahat terhadap tindakan aborsi di masyarakat dapat dikikis sedikit demi sedikit lewat pemberitaan yang berperspektif korban dan tidak hanya bersumber dari BAP kepolisian yang seringkali mengkriminalisasi korban. Sudah saatnya media memperluas jangkauan pemberitaan dengan turut menjadikan pendamping korban ataupun pendapat para penyintas untuk lebih memperkaya tulisan.