Perjalanan Memahami Kesendirian dan Sekian Hal Tak Kupahami

Perjalanan Memahami Kesendirian dan Sekian Hal Tak Kupahami

“Ada hari di saat aku berterima kasih kepada diri sendiri. Bukan karena menjadi sempurna, melainkan berusaha menyelesaikannya. Bagaimana pun situasi saat itu.” 

Menutup akses komunikasi selama dua tahun merupakan pilihan hidupku. Dilatar belakangi oleh adanya perasaan sesak manakala melihat satu per satu teman-teman menuntaskan perkuliahan. Sedangkan aku masih berkutat dengan sesuatu yang tidak mampu kuceritakan atau minimal memberi clue-nya kepada mereka.

Akses komunikasi seperti apa yang kututup? Menonaktifkan akun Instagram, menonaktifkan akun Facebook, dan tidak menggunakan nomor WhatsApp yang lama sehingga terhapus dengan sendirinya dalam kurun waktu satu tahun tidak digunakan. Suatu ketika aku mencoba mengakses akun Instagram, kumelihat berbagai postingan teman-teman, sesak itu masih saja terasa apa pun jenis postingannya. 

Lambat laun aku menyadari bahwasanya sedang membutuhkan bantuan profesional yaitu yang dapat membantuku untuk memahami permasalahan dari sisi kesehatan mental. Di Usia sekarang, moment menemui tenaga profesional adalah hal yang kusyukuri. Aku mengartikannya sebagai upaya peduli dengan diri sendiri yang ingin terus hidup bagaimanapun keadaan menerpa.

Membahas tenaga profesional, aku teringat dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ dalam bukunya berjudul Merawat Luka Batin tepat pada halaman 53, ia menyampaikan, “Jika kamu membeli buku ini karena sahabat atau orang yang kamu sayangi sedang menderita karena depresi, ingatlah bahwa secara natural seseorang dengan depresi akan menjauh dari kita dan merasakan ketidakberdayaan, ketidakmampuan, dan pesimisme.” Aku tertegun ketika membaca potongan kalimat tersebut. Membacanya mengingatkan diriku yang memilih untuk “menghilang” dari lingkungan sosial serta pertemanan dunia maya.

Kebahagiaanku Bukan Tanggung Jawab Orang Lain

Masa-masa menarik diri itulah waktu yang kugunakan untuk memahami arti kesendirian. Bersyukurnya masih ada satu hal yang dapat dilakukan yaitu membaca buku. Tiga artikelku sebelumnya yang sudah ditayangkan di website Perempuan Berkisah merupakan hasil dari pembelajaran atas buku-buku yang sudah dibaca dan refleksi diri sendiri. Hi, team Perempuan Berkisah, terima kasih sudah menjadi wadah dalam proses pemulihan diri ini.

Perjalanan hidupku membuat diriku senang dengan kesunyian, tetapi pernah begitu takut hidup sendirian.”

Aku tidak dapat menyandarkan kebahagiaan kepada pencapaian atau pun kepada orang lain yang suatu saat pergi meninggalkanku. Yang akan terus ada hingga napas terakhir adalah diri sendiri. Bahkan ketika berkaca, yang terlihat adalah wajahku sendiri.

Hidup bersama orang-orang yang mencintai, peduli, dan ingin terus ada di sampingku adalah sebuah anugerah yang patut kusyukuri, tetapi bukan keharusan yang pada akhirnya membuat diriku terasa terbebani. Kesendirian membawaku kepada proses pemulihan, meski “suara” yang tak kuinginkan masih saja terdengar serta mengusik pikiran.  

Aku Tidak Sempurna

Tahukah kamu lirik lagu berjudul Tutur Batin yang dinyanyikan oleh Yura Yunita?

“Aku tak sempurna
Tak perlu sempurna
Akan kurayakan apa adanya.”

Aku mengulang-ngulang menyanyikan lirik itu, rasanya seperti bahuku sedang ditepuk-tepuk. Tidak perlu sempurna untuk menjadi seorang manusia.

Upaya mengingatkan diri sendiri bahwa aku tidak perlu menjadi sempurna karena hidup terkadang terdiri dari kejutan tak terduga, lantas memberi dampak baik terhadap kesehatanku. Sebagai seorang manusia, aku boleh mengalami kegagalan dalam proses pembelajaran, boleh mengekspresikan emosi dengan cara yang baik, dan boleh bertanya ketika sedang tidak tahu atau bertanya untuk meminta penjelasan. 

Menetapkan Batasan

Selain memahami arti kesendirian dan ketidaksempurnaan diri, aku juga belajar menetapkan batasan. Suatu hari ada sebuah buku yang menarik minatku yaitu buku Set Boundaries karya Nedra Glover Tawwab. Dalam buku tersebut Nedra menjelaskan bahwasanya kita perlu memiliki batasan yang sehat dengan tujuan untuk “melindungi” diri sendiri dalam beraktivitas, berinteraksi, dan bahkan dalam menentukan pilihan hidup. 

Menetapkan batasan berguna untuk langkahku selanjutnya—yang mana saat ini sudah menyelesaikan studi. Yang secara tidak langsung juga sudah menjawab pertanyaan orang-orang terkait pertanyaan, “Kapan?”

Menetapkan batasan juga berguna untukku yang dulunya sulit mengatakan tidak. Ketika membuat batasan, orang lain pun akan sadar bahwa kita berhak untuk bersikap serta menyuarakan suatu hal. Misalnya ketika aku ditanya, “Kapan lulus? Kapan nikah?” 

Aku punya hak untuk merespon dengan serius maupun bercanda—menyesuaikan seperti apa lawan bicara. Atau ketika pertanyaan yang dilontarkan terkesan menghakimi diriku, sedangkan saat itu tidak cukup daya untuk merespon, maka aku berhak untuk tidak meresponnya. 

Melanjutkan Kehidupan

Quarter Life Crisis, barangkali itulah yang kualami. Bergelut dengan pikiran negatif diri sendiri di usia 20-an awal, hingga akhirnya perlahan-lahan mengenal, menyadari, dan mencintai diri sendiri. 

Proses tiap orang tidaklah sama. Namun, mungkin ada satu atau dua hal yang dari kisahku ini yang dapat diambil hikmahnya. Jika terbesit pikiran di awal tulisanku mengisahkan terkait pendidikan, tetapi mengapa poin-poin yang kugunakan rasanya terkesan umum? Ya, ibarat puzzle, cerita hidup seseorang tidak hanya didasari dari satu peristiwa saja. Ada kepingan-kepingan yang dapat disatukan untuk menjadi utuh. 

Aku tidak berharap tulisan ini dapat menginspirasi banyak orang untuk terus melanjutkan kehidupan, mengingat diriku pun butuh bertahun-tahun lamanya untuk bisa sampai pada tahap berbagi kisah. Namun, boleh ya, aku menyampaikan sesuatu?

“Aku senang melihatmu bertumbuh. Senang melihatmu dapat tersenyum lagi. Senang saat tahu, masih ada harapan pada sorot matamu. Di saat kamu lelah menjalani hidup, baca tulisan ini lagi, ya! Mungkin saat ini tidak berdampak apa-apa, tetapi percayalah, aku senang melihatmu masih terus berupaya. Maaf jika segala sesuatunya terasa berat. Sehat-sehat.”