“Harusnya kamu tuh bersyukur punya orang tua! Emangnya jadi orang tua gampang?”
Begitulah reaksi yang rata-rata muncul dari ketikan netizen saat seseorang menuturkan secara singkat perasaan tentang orang tuanya. Termasuk salah satu perempuan dengan anonymous yang menceritakan perihnya hidup dalam cengkraman orang tua beracun, dia mengungkapkannya di sebuah akun base di Twitter beberapa bulan lalu. Dia adalah anak pertama perempuan yang tengah kesulitan mencari pekerjaan setelah beberapa bulan resmi menyandang gelar sarjana. Ayahnya terus melontarkan kata-kata kasar menyesakkan hati, sedangkan ibunya tega tidak memberinya makan sembari melabelinya dengan “beban keluarga”.
“Namanya juga orang tua. Maafkanlah mereka yang telah membesarkanmu hingga seperti ini”.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak telah mengalami peningkatan sepanjang tahun 2019 hingga 2021. Kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis adalah tiga jenis kekerasan tertinggi yang kerap menimpa korban. Naasnya, sebagian besar bentuk kekerasan itu terjadi di dalam lingkup keluarga, institusi sosial terkecil dalam masyarakat. Seluruh data yang didapat berasal dari ragam kasus yang terlapor melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Itu yang terdeteksi. Lantas, bagaimana dengan para perempuan dan anak-anak di luar sana yang justru memilih menutup mulutnya rapat-rapat dan menahan isak tangisnya sekuat tenaga?
“Sssh! Nggak boleh gitu! Apapun, mereka adalah orang tuamu. Jangan durhaka, deh.”
Keberadaan orang tua beracun, atau toxic parents, adalah sebuah fakta miris yang tidak bisa ditampik dalam bentuk apapun. Sosok orang tua yang idealnya bisa menjadi tempat berpulang bagi anak-anaknya untuk berlindung dan berbagi kehangatan, pada nyatanya justru menjadi sosok yang menorehkan guratan luka dalam yang entah bagaimana dan kapan luka tersebut dapat sembuh tanpa bekas. Tak jarang, anak-anak yang tumbuh bersama dengan orang tua beracun kerap mempertanyakan segala pikiran dan emosi yang dipikulnya seorang diri. Apakah aku boleh membenci kedua orang tuaku? Apakah aku durhaka jika aku tidak bisa memaafkannya? Apakah pola didik seperti ini yang pantas untukku? Apa yang harus aku lakukan? Kurang berbaktikah aku sebagai seorang anak?
Aku sangat berharap tujuh hal dalam tulisan sederhana ini bisa sedikit memberi pelukan hangat dan kekuatan di tengah kehampaan dan kebingungan yang terlanjur menetap di relung hatimu.
Ini Semua Bukanlah Salahmu
Iya, tolong ulangi kembali kata-kataku tadi: ini semua bukanlah salahmu. Kamu tidak menghendaki semua ini terjadi, bukan? Kamu sudah berlaku sangat baik sebagai seorang anak. Kamu telah berhasil tumbuh menjadi sosok penuh kehangatan yang selalu mencoba sekuat tenaga tidak menambah beban kedua orang tuamu. Aku percaya itu, sangat percaya.
Jika kamu berkenan memikirkan ini bersamaku, maka bayangkanlah. Barangkali kedua orang tuamu di masa lalu pun harus menelan pahitnya pola didik yang demikian, atau ada setumpuk luka batin dan trauma yang tidak terselesaikan dengan baik karena berbagai macam alasan. Sehingga saat orang tuamu terpicu oleh suatu situasi, tanpa pikir panjang mereka menumpahkan segala emosinya di hadapanmu layaknya kendaraan dengan disfungsi rem. Sayangnya, kamu, anak dari kedua orang tuamu, mau tidak mau menjadi tong sampah buncahan kemarahan dan kekecewaan yang mereka pendam menahun. Iya, mereka adalah anak-anak yang jiwanya tengah terluka, sangat dalam.
Kamu Bukanlah Apa yang Mereka Katakan
Aku sangat menyesal kamu harus melalui ini. Sungguh, kamu tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Kata-kata kasar apa yang sudah mereka lontarkan di hadapanmu? Sumpah serapah macam apa yang senantiasa didengar hingga tangisanmu pun tidak mampu membuat mereka tersadar dan meminta maaf padamu? Berapa kali mereka mengatakannya? Sudah berapa lama mereka melakukan itu kepadamu?
Boleh jadi sewaktu mereka di usiamu, atau bahkan lebih muda, mereka mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan dari orang tuanya terdahulu, atau dari siapa pun yang secara hierarki memiliki kuasa lebih. Mereka hanya bisa diam membisu, tidak berani melawan. Jangankan melawan, mengambil nafas saja bisa terkencing-kencing. Mereka kubur dalam-dalam segala bentuk emosi negatif yang dirasakan saat itu. Sehingga saat mereka merasa memiliki kuasa selaku orang tua, mereka munculkan kembali ragam emosi negatif yang tertahan kemudian diproyeksikan dalam bentuk makian, sebagaimana jiwa kecilnya yang memberontak ingin mencaci dan mencerca orang yang pernah membuatnya terluka. Jadi kamu bukanlah apa yang mereka deskripsikan secara kasar. Sebaliknya, kamu jauh lebih baik dari apa yang mereka lontarkan selama ini mengenai dirimu.
Mereka Tidak Akan Berubah. Tidak Akan Pernah.
Ini adalah fakta menyakitkan yang mungkin kamu tidak ingin tahu: mereka tidak akan berubah, sekeras apapun usahamu. Lagi-lagi, dengan ragam alasan, mereka memilih untuk mengabaikan segala emosinya dan memilih untuk tumbuh menua bersama dengan luka batin yang tidak terobati secara layak. Mungkin ada yang pernah mencoba melakukan komunikasi asertif dengan kedua orang tua, hingga mengarahkan mereka agar bersama-sama mengunjungi tenaga profesional. Tapi, bagaimana reaksinya? Apakah mereka berkenan mendengarkanmu secara penuh? Apa yang kamu rasakan setelahnya?
Momen menghadirkan kembali luka-luka lama bukanlah hal yang mudah. Momen mengenali ragam emosi dan berangkulan dengannya bukanlah hal yang ringan. Demikian pula saat momen untuk jujur terhadap diri sendiri, akan terasa jauh lebih sulit ketimbang berkata jujur terhadap orang lain. Mereka, orang tuamu, terlalu takut saat dipertemukan kembali dengan jiwa kecilnya yang tengah meronta kesakitan. Mereka, orang tuamu, tidak tahu harus melakukan apa dengan jiwa kecilnya yang tengah memeluk amarah dan kecewa. Mereka hanya bisa menguburkannya dalam-dalam, kemudian pergi melanjutkan hidup seolah-olah jiwa kecilnya itu tidak pernah ada.
Hentikan Dirimu Untuk Terus Mencoba Menyenangkan Mereka
Setelah kamu tahu kondisi mereka, maka lihatlah pantulan dirimu saat ini. Apa saja yang sudah kamu upayakan agar kedua orang tuamu tersenyum dan memberikan untaian kata-kata penuh pujian kepadamu? Apa saja yang sudah kamu korbankan agar kedua orang tuamu mau memeluk dan mengelus-elus puncak kepalamu dengan lembut?
Tidak, segala hal yang sudah kamu lakukan itu tidak salah. Aku sangat memahami perasaanmu, sehingga wajar jika kamu melakukannya. Maka itu, mulai detik ini coba beri perhatian penuh kepada diri dan duniamu, ya. Tahu, tidak? Ada ragam hal yang tidak bisa sepenuhnya kamu kontrol. Mulai dari bencana alam, cuaca, sampai pada selera orang lain, gaya tuturan orang lain, bagaimana perspektif orang lain terhadapmu, kebahagiaan orang lain, itu semua adalah hal-hal yang jelas tidak bisa dikendalikan seratus persen. Fokuslah pada hal-hal yang dapat kamu kendalikan penuh. Kamu tidak perlu bersusah payah menggadaikan kebahagiaan demi orang tuamu. Aku tidak ingin kamu merasa lelah dalam jurang kesia-siaan.
Ciptakanlah Ruang Aman Untuk Dirimu Sendiri
Kamu berhak pergi menjauh saat telingamu terlampau bising mendengar makian dan cercaan kedua orang tua. Kamu berhak meminta berhenti dan bangkit berdiri meski sedang berada di tengah-tengah perdebatan antara dirimu dan mereka. Kamu berhak berkata “tidak” jika memang hal itu tidak sanggup kamu lakukan dan tidak membuatmu bahagia. Kamu berhak membangun batasan-batasan sebagai bentuk rasa sayangmu kepada dirimu sendiri. Tidak, kamu tidak egois. Memang kamu berhak atas dirimu secara utuh.
Aku akui, tidak semua anak mampu menjalani hidup mandiri terpisah dari orang tua karena ragam faktor. Mulai dari faktor finansial hingga kesiapan mental itu sendiri. Namun aku sangat berharap kamu memiliki ruang aman, meski hanya sebatas untuk meneteskan air mata. Meski ruang aman itu masih berada di dalam rumah dan masih dalam jangkauan orang tuamu, tidak apa-apa. Kamu berhak menutup pintu rapat dan menguncinya. Kamu berhak tidak membukakan pintunya meski diketuk sedemikian rupa. Tutuplah telingamu dengan penyuara jemala untuk menikmati musik kesukaan sembari menulis atau melukis. Di dalam ruangan itu, kamu berhak menenangkan diri dan meluapkan emosimu secara sehat. Tidak semua hal harus diselesaikan saat itu juga, kok.
Tidak Apa-Apa Menciptakan Jarak dengan Orang Tua
Betul, tidak apa-apa. Ini semua demi kebaikan dirimu. Tidak segala hal yang kamu miliki layak dibagikan kepada orang tuamu. Mulai dari beberapa rencana masa depanmu, rahasia-rahasia kecilmu, hingga waktu luangmu yang berharga. Sebagai gantinya, kamu bisa mengungkapkan siapa orang yang disukai saat ini hingga alasan-alasan mengapa ingin menunda usia pernikahan di dalam buku harian atau aplikasi catatan harian pada telepon pintarmu. Kamu bisa menikmati waktu luang dengan bermain bersama hewan peliharaan, menghubungi kawan lama, menikmati jam makan siang seorang diri di kedai makanan kesukaan, hingga mengikuti program pelatihan gratis jangka pendek.
Betul, tidak apa-apa. Kamu bukanlah tong sampah yang selalu sedia menampung ragam emosi negatif mereka saat dibutuhkan. Kamu bukanlah sosok yang bertanggung jawab penuh untuk mengobati luka-luka kedua orang tuamu. Kamu bukanlah sosok yang berkekuatan penuh untuk mengubah cerita hidupnya menjadi manusia paling bahagia tanpa ada setetes masalah pun dalam hidupnya. Kamu bukanlah anak yang gagal dan tidak berbakti kepada orang tua. Kamu sudah sangat baik dalam menjalani hidup ini. Percayalah.
Jangan Ragu Meminta Bantuan
Aku sangat tidak mampu memberikan toleransi terhadap tindak kekerasan. Apapun bentuknya, siapa pun pelakunya. Aku sangat memohon kepadamu, jangan pernah ragu meminta bantuan. Mungkin kepada salah satu anggota keluarga, teman terdekat, guru, dosen, hingga tenaga profesional seperti konselor, psikolog, atau psikiater. Kamu berhak mendapatkan perlindungan. Kamu tidak diciptakan untuk merasakan sakit dan mengalami penyiksaan. Kamu adalah manusia yang sangat berharga dan layak berbahagia. Sudah saatnya kamu bergerak untuk memutus belenggu penyiksaan ini secara perlahan. Kamu tidak sendirian, sungguh. Kamu tidak melewatinya seorang diri. Aku sangat berharap setelahnya kamu bisa menikmati proses pemulihan secara perlahan, kemudian bangkit untuk kembali menyusuri lembaran baru perjalanan hidupmu.
Teruntuk kamu, di mana pun kamu berada saat ini, aku sangat bangga dan kagum kepadamu. Segala hal yang telah kamu lewati hingga sejauh ini, pastinya bukanlah hal yang mudah. Terima kasih telah lahir di dunia ini sebagai sosok yang penuh cinta dan kasih sayang. Aku sangat memahami bagaimana rasa cemas dan ketakutanmu saat menatap masa depan. Bagaimana aku nantinya? Apakah aku pantas menerima cinta dan mengarungi biduk pernikahan dengan bahagia? Akankah aku bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anakku kelak? Sekali lagi, aku benar-benar dapat memahaminya. Meski memang, aku pun tidak mampu memberikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Namun aku ingin kamu selalu mengingat ini: segala hal yang telah kamu lalui di masa lalu tidak serta-merta mendefinisikan siapa dirimu seutuhnya. Kamu layak menerima cinta yang sehat dari orang yang sehat dan bertumbuh di lingkungan yang sehat pula.