Fase Kekerasan di Balik Lingkaran Setan Pacaran Toksik

Fase Kekerasan di Balik Lingkaran Setan Pacaran Toksik

“Kamu jadi cewek murahan banget sih!”

“Nyesel aku pacaran sama kamu. Kalo aku putusin juga pasti gak ada yang mau sama kamu”

Itu adalah ucapan yang keluar dari seorang remaja laki-laki berseragam SMP saat bertengkar dengan pacarnya di pinggir jalan. Saat itu pihak perempuan diam dan hanya menangis, sedangkan pihak laki-laki terus marah dan mencaci maki. 

Tumbuh sebagai remaja perempuan di lingkungan yang menormalisasi kekerasan, khususnya dalam hubungan yang dilihat sebagai permasalahan antar pasangan, menyadarkan saya rentannya posisi perempuan dalam relasi romantis, khususnya pacaran. Menyaksikan dan mendengar cerita berbagai kekerasan dalam pacaran (KDP) sudah seperti bumbu penyedap kehidupan remaja perempuan.

Seumur hidup menjadi seorang perempuan, saya merasa sudah mafhum mendengar curhatan teman atau melihat pemberitaan di media mengenai kekerasan yang terjadi di relasi pacaran. Bentuknya sangat beragam dan terus memburuk semakin lama usia pacaran. Mulai dari menghina, mencaci, memukul, manipulasi video seks, percobaan perkosaan, manipulasi supaya berhubungan seks, pemaksaan aborsi, bahkan ancaman pembunuhan. 

Seperti di akhir tahun 2021 yang lalu, setiap lini media sosial diramaikan kasus Novia seorang korban KDP yang bunuh diri di sebelah makam ayahnya. Kasusnya seolah membuka kotak pandora yang membuat banyak kasus kekerasan sejenis dibagikan melalui kanal media sosial, serta menumbuhkan gelombang edukasi relasi sehat dan upaya mencari ruang aman bagi korban. 

Hal ini dikarenakan bahkan menurut data Komnas Perempuan  kasus KDP sangat banyak terjadi bahkan ada di urutan kedua setelah KDRT. Dalam data terbaru di  lembar fakta CATAHU 2022 tercatat masuk 463 kasus kekerasan pada perempuan di hubungan pacaran. 

Karena itu lewat tulisan ini mari kita menggali bersama mengenai bagaimana kekerasan dalam pacaran dapat terjadi dan mengapa banyak korban  memilih bertahan.

Bagaimana Kekerasan Dalam Pacaran Bisa Terjadi?

Kekerasan dalam relasi terjadi disebabkan ketimpangan kekuasaan dan kekuatan diantara pasangan. Umunya dalam hubungan heteroseksual yang terjadi adalah pihak perempuan didominasi oleh pihak laki-laki. Ketimpangan ini diakibatkan faktor sosial budaya yang dianut masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan dengan anggapan lebih mampu dan bertanggung jawab dalam berbagai aspek penghidupan. 

Dominasi laki-laki dan maskulinitasnya juga dipengaruhi pola asuh yang cenderung menekankan pada agresifitas dan kekuatan fisik, orang tua luput bahwa anak laki-laki juga manusia yang memiliki perasaan dan seharusnya diajarkan untuk mengkomunikasikan perasaan tersebut lewat cara-cara yang nirkekerasan. Menyebabkan mayoritas laki-laki memiliki ketidakmampuan mengkomunikasikan perasaan yang menimbulkan frustasi yang dituangkan jadi penyelesaian konflik bersifat agresif, konstruktif, dan cenderung dekat dengan kekerasan yang diidentikkan sebagai ciri maskulinitas seorang laki-laki.

Bentuk penaklukan laki-laki terhadap perempuan lewat kekerasan juga dianggap sesuai dengan kodrat laki-laki sebagai pemimpin yang tegas, maskulin, serta gagah. Sehingga masyarakat cenderung menyalahkan korban atas amarah pelaku-yang berujung melakukan kekerasan-karena perempuan seharusnya menaati apa yang menjadi keinginan serta menjauhi apa yang dilarang laki-laki yang menjadi pasangannya.

Mengapa Banyak Korban Memilih Bertahan?

“Yakin korban kekerasan di pacaran? Kalau memang ada kekerasan, tinggalin dong” 

Mungkin kalian pernah mendengar kalimat seperti diatas atau bahkan pernah mengucapkan hal yang sama. Terdengar mengherankan kenapa korban memilih bertahan, hal ini membuat banyak pihak jadi mengerdilkan fakta kekerasan yang terjadi. Karena anggapan jika mendapat kekerasan normalnya akan memilih pergi atau bahkan melapor ke pihak berwajib. Tapi, mengapa korban malah memilih bertahan atau malah kembali ke hubungan lamanya setelah berhasil berpisah? 

Dalam KDP biasanya dikenali pola seperti pada teori lingkaran kekerasan yang diutarakan Walker, dimana terdapat 3 fase yang terus berulang dan berputar seperti lingkaran setan yang sulit terputus.

Menurut teori lingkaran kekerasan Walker. Dalam KDP biasanya dimulai dengan fase pertama, yaitu pelaku menunjukkan perilaku kekerasan ringan hingga sedang saat konflik yang terjadi, bisa berupa bentakan, ancaman, atau caci maki yang diucapkan kepada korban. Pada fase ini korban masih mentolerir dan merasa hal tersebut merupakan sesuatu yang normal karena pelaku sedang dikuasai amarah.

Saat konflik membesar atau terjadi konflik baru yang membuat emosi pelaku meledak, maka pelaku memasuki fase kedua, yaitu dengan melakukan tindakan agresif serta melakukan kekerasan; pukulan, tendangan, perkosaan. Pada fase ini korban mulai menyadari ada sesuatu yang salah serta memiliki keinginan untuk pergi dari hubungan tersebut.

Setelah kedua fase kekerasan tadi, pelaku mengalami fase ketiga yang dikenal dengan fase bulan madu. Yaitu saat pelaku menyadari kesalahannya serta menunjukan penyesalan mendalam dengan memberi permintaan maaf yang terasa tulus, pada fase ini pelaku juga menjanjikan perubahan hingga memberikan kasih sayang sepenuhnya pada korban. Sehingga korban mengalami konflik batin dan merasa pelaku tidak sepenuhnya buruk, dan mulai menyalahkan diri mereka sendiri sebagai penyebab konflik yang menyulut emosi pelaku sehingga melakukan kekerasan terhadap dirinya. 

Ketiga fase tadi dapat terjadi dalam satu kejadian singkat. Menyebabkan kondisi psikis korban terganggu, khususnya pada fase bulan madu, sehingga biarpun korban menyadari hubungan yang dijalaninya tidak sehat dan dapat membahayakan keselamatannya. Ia lebih memilih bertahan dan berharap hubungan mereka akan berubah kearah lebih baik, sebab ada masanya pelaku menjadi sangat baik.

Investasi Relasi dan Pentingnya Peran Support System Korban KDP

Selain fase kekerasan, ada juga yang namanya investasi relasi, yang terbagi menjadi: investasi emosi, seksual, sosial, dan finansial. Investasi relasi yang dimaksud adalah kumpulan perasaan yang terakumulasi pada korban dimana semakin lama pacaran, semakin banyak emosi terkuras, serta usaha yang diberikan membuat korban merasa semakin berat meninggalkan hubungannya.

Di antara lingkaran kekerasan dan investasi relasi berjalan beriringan dan mempengaruhi satu sama lain. Karena itu KDP seringkali membuat korban secara konstan menyalahkan dirinya dan melihat bahwa pelaku adalah sosok yang baik. Sehingga ia menaruh harapan di hubungannya, merasa sudah terlanjur sayang dan tidak yakin akan ada orang lain mencintainya selain pelaku.  Kekerasan yang terjadi dalam  hubungan juga membuat korban menilai bahwa kekerasan yang terjadi merupakan sesuatu yang normal, disebabkan distorsi kognitif yang mengakibatkan korban salah mengartikan rasa takut yang dialaminya menjadi rasa cinta serta keterikatan dengan pelaku (Walster, 1971; dalam Graham 1955). Hal ini menjadikan korban percaya bahwa pelaku memang mencintainya begitu besar.

Itulah kenapa ketika seseorang terjerat dalam KDP sangat sulit untuk sadar,  apalagi memilih keluar dari hubungan tersebut. Karena lingkaran setan yang mereka jalani seringkali menjelma taman bunga penuh cinta, sehingga mereka malah menemui jalan buntu dan tenggelam dalam pengharapan. Untuk memutus lingkaran setan tersebut dibutuhkan bantuan semua pihak yang melibatkan koreksi nilai di masyarakat terhadap makna kekerasan itu sendiri.