Perjalanan Pulihku: Memahami Emosi, Kerentanan Diri, hingga Perihal Mengakhiri Hidup

Perjalanan Pulihku: Memahami Emosi, Kerentanan Diri, hingga Perihal Mengakhiri Hidup

Bahwasanya aku perlu mengalami liku-liku kehidupan agar paham, segala yang terjadi tidak semuanya sesuai harapan atau merupakan kejadian-kejadian yang baik saja. Kejadian yang buruk pun merupakan suatu pembelajaran.” – Selvy Arianti- 

Pernah terlintas dalam benakku ketika mendapati beragam peristiwa yang kubaca maupun yang kudengar. Usut punya usut ketika mengetahui kronologis hingga apa yang melatarbelakangi peristiwa itu terjadi, aku mungkin belum tentu sanggup jika berada di posisinya.

Konseling dari Satu Konselor ke Konselor Lainnya

Bukan tanpa sebab aku menulis artikel pentingnya konseling, karena aku merasakan manfaatnya. Meski aku tidak begitu rutin dan juga tidak memiliki konselor yang tetap. Dalam kurun waktu dua tahun, terhitung sudah tiga kali aku konseling melalui offline dan online dengan konselor yang berbeda-beda.

Dari setiap berdialog dengan konselor, aku mencoba mempelajari benang merah yang sedang diuraikannya. Satu per satu permasalahan menemui titik terang meski butuh waktu untuk memahaminya. Ya, aku berpikir bahwa apa yang kupelajari di masa-masa sekolah pun masih kerap menjadi tanda tanya bagi diriku hingga saat ini. Lalu mengapa aku tidak bisa bersabar untuk mempelajari diriku sendiri? 

Kali pertama aku konseling yakni secara offline di Puskesmas yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa dengan biaya yang cukup minim. Lalu, konseling kedua kalinya kujalani secara online, dengan suatu organisasi yang bergerak di bidang layanan kesehatan mental. Organisasi tersebut menyediakan konseling online secara gratis dengan terlebih dahulu mendaftarkan diri melalui tautan yang tersedia. Kemudian, konseling yang ketiga, tahun 2022 ini aku diberikan kesempatan untuk konseling gratis secara online oleh suatu gerakan sosial bagi perempuan.

Menurutku, sesuatu terjadi untuk tujuan tertentu. Mungkin saja saat ini aku menilai bahwa apa yang terjadi merupakan sesuatu yang buruk, tetapi boleh jadi ini membuatku sadar bahwa tiap-tiap orang ada masanya terpuruk. 

Berulang kali, aku membuka buku yang sama dengan tujuan menguatkan diri dalam menjalani self-healing meski tidak tahu kapan dapat pulih seutuhnya. Namun, dalam prosesnya, terjadi up and down. Ada pikiran-pikiran negatif yang membuatku berpikir ingin menyerah saja. 

Menyadari dan Mengamati Diri

Setelah kali pertama konseling yang dilakukan secara offline, aku mulai tertarik mempelajari emosi, cara bersikap ketika sedang rentan, menghadapi stres, dan sekian pembelajaran lainnya. Diawali dengan membaca buku karya Guy Winch berjudul Pertolongan Pertama pada Emosi Anda: Panduan Mengobati Kegagalan, Penolakan, Rasa Bersalah, dan Cedera Psikologis Sehari-hari Lainnya. Pada halaman 255, aku mendapati hasil penelitian tentang orang-orang yang diminta untuk menganalisis pengalaman yang menyakitkan dari perspektif yang menjauhkan diri (perspektif orang-ketiga). Hal tersebut bertujuan untuk membuat jarak antara orang tersebut dengan masalahnya sehingga dapat berpikir jernih.

Tertarik dengan hasil penelitian tersebut, pada akhirnya aku turut mengubah perspektif. Aku mencoba melihat diri sendiri sebagai seseorang yang sedang belajar bertumbuh dengan beragam peristiwa yang terjadi setiap harinya. Namun, berdasarkan pengalamanku, mengubah perspektif tidaklah terjadi secara instan. Butuh proses hingga akhirnya sampai pada kenyataan bahwa suatu peristiwa pernah dialami dan aku masih bertahan hidup hingga saat ini.

Menjalani Prosesnya

David R. Hawkins dalam buku Letting Go di halaman 19 berpendapat, “Jawaban untuk masalah yang kita hadapi sejatinya berada di dalam diri sendiri.” Selaras dengan Jackson Mackenzie dalam buku Kembali Pulih halaman 11, “Kita dapat mencari seorang terapi dan atau dukungan orang lain, tetapi tidak ada yang lebih bertanggung jawab dengan apa yang kita rasakan kecuali diri sendiri.”

Bagiku saat ini, kali pertama konseling merupakan gerbang masuk yang turut membantu mengenal seperti apa diriku sendiri. Karenanya, kuucapkan terima kasih untuk konselor di mana pun berada dan juga berterima kasih kepada orang-orang yang telah berupaya mengedukasi agar tidak takut untuk berkonsultasi ke profesional. 

Selanjutnya, kalimat “Kita menerima apa yang diberikan kepada kita dengan penuh syukur. Kita bersyukur atas keberadaan kita dan tak lagi menuntut dunia memberikan apa pun untuk membuat hidup kita bernilai”, yang tercantum di halaman 379 adalah satu dari sekian banyak kalimat berkesan di buku Healing and Recovery karya David R. Hawkins. Karenanya, pada saat konseling kedua, aku bertekad untuk fokus menjadi pribadi yang dapat menerima hal yang telah terjadi.

Masih dalam buku yang sama, yakni pada halaman 173 terdapat kalimat, “Kita mungkin tidak mampu menentukan, mengontrol, atau memilih peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, tapi kita bisa menentukan bagaimana kita menyikapi peristiwa tersebut.”

Aku terus mempertanyakan diriku sampai akhirnya aku mendapat suatu kesimpulan kecil. Boleh jadi pertumbuhanku dalam berpikir sedikit terlambat jika dibandingkan dengan orang-orang yang sejak kecil sudah mempertanyakan eksistensi manusia.

Perihal Mengakhiri Hidup

Ya, kamu tidak salah lihat. Aku memang menulis perihal mengakhiri hidup. Aku tertarik dengan topik tersebut, bahkan tertegun pada saat membaca buku-buku berjudul Healing and Recovery karya David R. Hawkins, buku Alasan untuk Tetap Hidup karya Matt Haig, buku Loving the Wounded Soul karya Regis Machdy. Menurutku, secara garis besar hadirnya buku-buku itu turut memberikan pemahaman tentang cara menyikapi hidup bahkan ketika terpikirkan untuk mengakhirinya.

Sebagai penutup tulisan ini, ada kalimat berkesan dari buku Healing and Recovery pada halaman 374 yang sempat menjadi pembahasanku dengan seorang konselor pada saat konseling ketiga. “Depresi sering kali mengarahkan kita pada tindakan bunuh diri. Ketika mencermati hal itu, kita melihat bahwa apa yang diharapkan bukanlah kematian tubuh, melainkan kebebasan dari penderitaan.”

Terima kasih sudah berkenan membaca perjalananku memberanikan diri untuk menemui konselor sehingga tulisan ini pun dapat hadir untuk kemudian menemani perjalananku pada hari-hari berikutnya. Kini, aku sudah sampai pada titik tidak malu mengungkapkan kesedihan kepada orang-orang yang peduli dan tulus terhadapku. Karena, dengan begitu aku sadar bahwa tidak baik ketika terus-menerus berpura-pura kuat.

Salam, perempuan pembelajar.