Kekerasan Seksual di Pesantren, Apa yang Harus Dilakukan?

Kekerasan Seksual di Pesantren, Apa yang Harus Dilakukan?

Pelaku Kekerasan Seksual tidak mengenal pakaian ataupun tempat. Ia melakukannya atas dasar keinginan dan tidak ada kata toleransi bagi orang yang telah melakukan kejahatan sekejam itu.

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual semakin hari semakin memprihatinkan. Kekerasan Seksual tidak mengenal pakaian apalagi tempat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan yang terunggah di media. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, data kasus di tahun 2021 mengalami peningkatan dua kali lipat. Tercatat, dari tahun 2011-2020 terdapat 11.975 kasus yang dilaporkan. Selanjutnya, Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 4.500 kasus yang dilaporkan sepanjang Januari – Oktober 2021. Data ini termasuk kasus Novia Widyasari, seorang korban yang akhirnya memutuskan bunuh diri karena lambatnya penanganan lembaga pengaduan perlindungan perempuan. (Komnas perempuan: 2021)

Selanjutnya, tidak berhenti pada data dari Komnas Perempuan. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 419 kasus anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pencabulan sepanjang tahun 2020. Tidak selesai di situ, data yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan sepanjang tahun 2021, bulan Januari-Desember tercatat 7.000 kasus kekerasan pada perempuan dan 10.000 kasus kekerasan pada anak. 

Berkaca dari fakta data-data tersebut menjadi PR besar untuk diselesaikan bersama. Perempuan adalah gerbangnya peradaban, dan anak adalah penerus bangsa. Mereka adalah bagian dari masyarakat, maka negara dan masyarakat pun memiliki tugas untuk melindunginya. Sebagaimana amanah Pembukaan UUD 1945 alenia keempat telah memiliki tujuan, “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.” Sedangkan sampai saat ini aturan hukum tentang perlindungan bagi korban kekerasan masih menjadi tarik ulur di meja DPR RI, yaitu Rancangan Undang-Udang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Selanjutnya, hasil dari Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi bahwa Indonesia mengalami darurat Kekerasan Seksual. 

“Indonesia darurat kekerasan seksual. Kita semua berharap, negara menjalankan kewajibannya untuk memberikan sistem perlindungan hukum untuk masyarakat dari tindak kekerasan seksual. Dan mencegah masyarakat untuk tidak menjadi pelaku kekerasan seksual,” ungkap Nyai Badriyah.

Apa Kabar Pesantren dari Kekerasan Seksual?

Kekerasan tidak mengenal pakaian atau pun tempat. Ketika ada seseorang yang menyatakan dan mempermasalahkan korban karena pakaiannya, “Siapa suruh tidak bisa menjaga pakaiannya, pakaian mini kurang bahan akhirnya justru membuat laki-laki tergodakan.” Sedangkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2018 dengan 32.341 responden yang mengalami pelecehan seksual. Hasil survei tersebut telah memekarkan justru sebanyak  17,47% yang mendapatkan kekerasan karena memakai rok dan celana panjang. Berikut data lima teratas:

Lima besar pakaian yang dikenakan perempuan saat terjadi pelecehan seksual adalah rok atau celana panjang 17,47% (5.651 responden), baju lengan panjang 15,82% (5.117 responden), baju seragam sekolah 14,23% (4.601 responden), baju longgar 13,80% (4.462 responden), berhijab pendek/sedang 13,20% (4.268 responden). (detiknews, “Viral Korban Disalahkan, Simak Lagi Survei Relasi Pelecehan Seksual-Pakaian). Berdasarkan data di atas, maka pakaian menjadi alasan tidak dapat dijadikan dasar. 

Tidak ada tempat yang aman dari kekerasan. Pelaku kekerasan dapat melakukan kejahatannya dimanapun sesuai dengan keinginannya, termasuk di tempat lembaga keagamaan dan bahkan di pesantren.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh CNNIndonesia.com terdapat 9 kota di Indonesia yang terdaftar terjadinya kasus kekerasan yang dilakukan di oleh oknum di lembaga keagamaan atau di pesantren sepanjang tahun 2021. Adapun kota tersebut adalah, Tasikmalaya, Cilacap, Bandung, Trenggalek, Mojokerto, Jombang, Organ Ilir (Sumsel), Lhokseumawe (Aceh), Pinrang (Sulsel). Pelaku merupakan guru agama di Taman Baca Al Qur’an atau di pesantren. (CNNIndonesia.com : 2021).

Kasus di atas rata-rata korbannya tidak hanya satu, tetapi puluhan. Kalau kita menengok kasus HW di Bandung yang terbongkar pada November 2021 yang lalu, bahwa korbannya sebanyak 14 santri. Mirisnya kelakuan bejatnya sudah berlangsung selama lima tahun dan bahkan korban yang melahirkan sebanyak 8 santri. Ini hanya salah satu potret daruratnya kekerasan di pesantren. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlepas ia dari baground organisasi keislaman apapun. Semoga kasus ini menjadi perhatian dan pembelajaran bagi seluruh pondok pesantren. Karena masyarakat awam memahami Boarding School adalah pesantren. 

Selanjutnya, kasus yang juga sempat viral di media sosial di tengah masyarakat merayakan Hari Santri, terjadi di Tulungagung. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru ngaji yang mencabuli puluhan santri ngajinya dengan menyentuh daerah yang sensitif. Hal senonoh ini, perkaranya sempat masuk ke pihak berwajib, akan tetapi pada akhirnya berujung pada damai “cukup dengan kata maaf”. Apa kabarnya perlindungan hukum di Indonesia? Hal-hal yang semacam ini tentu keprihatinan bagi masyarakat pencari keadilan. 

Lalu, Apa yang Harus Dilakukan Pesantren?

Berkaca pada kasus yang di atas, semoga menjadi perhatian khusus bagi seluruh elemen masyarakat, khususnya di pesantren. Karena tindakan kekerasan cukup terbungkam dan berlangsung lama. Hal ini karena takutnya korban untuk melaporkan dan sering kali berujung pada damai. Sedangkan pelaku seringkali memiliki kekuasaan dan kekuatan. Dimana ketika korban melapor, justru ancaman yang ia dapatkan. Sehingga ketakutan yang justru ia alami sebelum melapor. 

Saat ini, penulis juga mendampingi seorang santri di salah satu pondok pesantren yang cukup besar di Jawa Timur. Ia dilecehkan oleh pengasuh pondok pesantren dimana ia belajar agama tersebut. Sampai saat ini korban masih di pondok tersebut dengan psikisnya sedikit terganggu, tetapi tidak berani melapor kepada orangtuanya atau teman di sekitarnya.  Karena apa? Hal ini ia takut jikalau dia justru disalahkan karena menyematkan nama baik pelaku dan pondok pesantren tersebut. Ketakutannya semakin menjadi, karena tidak ada saksi yang mengetahui saat kejadian tersebut terjadi. 

Oleh karena itu, darurat kekerasan seksual ini harus diperhatikan secara serius. Diharapkan Kementerian Agama mengambil sikap, karena Kementerian Agamalah yang menaungi seluruh puluhan ribu pondok pesantren di Indonesia. Kemenag memang telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Pedoman ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019.

Akan tetapi peraturan ini belum mencakup menaungi kekerasan di pesantren. Sedangkan, kekuatan bungkam di pesantren cukup kuat, terlebih pelakunya adalah ustadnya. Maka, ketakutan korban justru semakin besar untuk melaporkan, karena ditakutkan akan menjadi ancaman untuk dirinya. Sedangkan, masyarakat kita masih banyak yang tidak berpihak kepada korban, terlebih pelaku adalah seorang ustad, maka justru menyalahkan korban dan beranggapan korban mencemarkan nama baik. 

Selanjutnya, akibat dari hal tersebut pelaku dilindungi dengan benteng atas nama pesantren. Sehingga, korban pun dapat dipastikan lebih dari satu dan berlangsung lama. Karena kekuatan bungkam lebih besar. Hal yang harus disadari oleh masyarakat bahwa seorang ustad pun juga seorang manusia biasa yang memiliki nafsu, maka tidak selamanya ia selalu benar. Dan tidak dibenarkan oleh agama manapun tentang kekerasan, karena semua agama mengajarkan kedamaian.

Manusia yang tidak memanusiakan manusia lainnya, maka ia tidak pantas disebut manusia. Selayaknya, pelaku harus dihukum mati. Penulis sepakat dengan hukuman rajam bagi pelaku yang tingkat kekerasannya level tinggi, seperti kasus ustas HW di Bandung.

Dalam Islam pun, memberikan hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan (pelaku sudah menikah)Sebagaimana hadits Bukhari:

“Dari Umar ibn Khattab sesungguhnya dia berkata : Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya dan telah pula menurunkan kepadanya sebuah kitab suci itu terdapat “Ayat Rajam” yang telah kita baca, fahami serta menyadarinya bersama. Rasulullah sendiri pernah melaksanakan rajam dan setelah itu kita pun melakukannya. Hal ini saya tegaskan kembali lantaran aku khawatir, karena telah berselang, akan ada seorang yang mengatakan: “Demi Allah kami tidak mendapatkan ayat rajam dalam kitabullah”. Dengan meninggalkan suatu kewajiban yang benar-benar diturunkan Allah, maka mereka telah sesat. Hukuman rajam yang terdapat dalam kitabullah itu harus dijatuhkan kepada laki-laki maupun perempuan yang berbuat zina muhsan, dengan syarat adanya bukti-bukti, kehamilan atau pengakuan dari dirinya sendiri. (HR. Bukhari ).

Mengapa rajam? Mengingat sering kali pelaku juga sudah menikah. Hal Ini membuktikan bahwa Islam secara tegas tidak ada toleransi bagi pelaku zina, terlebih menyakiti pasangannya. Untuk itu, tidak ada kata “maaf khilaf” dan toleransi untuk pelaku kekerasan. Terlebih pelaku adalah pedofil dan pelaku adalah penggiat keagamaan, di mana secara tidak langsung akan berakibat pada masyarakat mulai tidak percaya kepada masyarakat. Maka kejadian ini semakin menimbulkan banyak kemudharatan. Semoga hal ini semakin menggugah pemangku kebijakan di pesantren agar segera membentuk satuan tugas pencegahan seksual sebagai lembaga pengaduan perlindungan bagi korban kekerasan.