Konon katanya, feminis cuma bisa teriak kesetaraan, tetapi urusan kerja berat maunya dimanjakan. Banyak juga suara sumbang, bilang feminis cuma mau keren-kerenan. Lalu, kesetaraan disebut bahan dagangan karena feminis sukanya cuan doang.
Pernahkah membaca kalimat sindiran seperti di atas pada kolom komentar akun-akun yang mengkampanyekan kesetaraan gender atau justru menjadi pemberi komentar sejenis, karena merasa memperjuangkan kesetaraan merupakan omong kosong yang digaungkan perempuan?
Sejak aktif bersuara mengenai kesetaraan gender di media sosial pribadi, saya pun tidak lepas dari penghakiman. Sebutan sok feminis dan SJW alias Social Justice Warrior—yang disampaikan dengan nada mencemooh—sudah menjadi makanan. Disebut tidak beriman dan menganut paham liberal juga sempat saya rasakan. Bahkan yang paling ekstrem, ada yang menyebut saya FemiNazi.
Semenakutkan itukah kampanye kesetaraan hingga yang tidak suka kebakaran dan sibuk merendahkan?
Susahnya Perempuan saat Kesetaraan Memakai Standar Patriarki
Feminis yang meminta bantuan angkat galon merupakan sindiran paling umum yang sering ditemukan di media sosial. Cemooh ini biasanya akan diikuti oleh kalimat sejenis dengan situasi yang sedikit berbeda, misalnya “Ngaku feminis padahal cuma cari validasi karena malas masak dan urus anak,” atau “Katanya kesetaraan, tapi hamil minta diprioritaskan, melahirkan minta cuti panjang.”
Jika diperhatikan, semua bentuk cemooh tersebut memiliki satu kesamaan yakni menjadikan karakteristik maskulin sebagai ukuran. Indikator yang digunakan bervariasi mulai dari karakteristik fisik, pembagian peran, hingga reproduksi. Feminis yang tidak menunjukkan kekuatan fisik seperti laki-laki dianggap gagal. Perempuan yang menuntut berbagi peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga disebut malas. Bahkan, pengalaman reproduksi perempuan yang begitu panjang dan melelahkan pun masih dianggap sebagai keistimewaan hanya karena dapat cuti tiga bulan!
Perlu dipahami bahwa gender berbeda dengan seks. Seks adalah pembedaan jenis kelamin sementara gender merupakan sekumpulan atribut yang dilekatkan dan diharapkan oleh masyarakat kepada jenis kelamin tertentu. Tolong garis bawahi kata diharapkan yang berbeda dengan kenyataan!
Nyatanya, fisik perempuan dan laki-laki memang berbeda. Selain perbedaan jenis kelamin, terdapat perbedaan jumlah tulang dan otot karena laki-laki memang memiliki keduanya lebih banyak. Secara saintifik, hal ini menjadi salah satu penyebab laki-laki memiliki fisik yang lebih besar dan sanggup menahan beban yang lebih berat dibandingkan perempuan.
Namun, ukuran ternyata tidak berbanding lurus dengan ketahanan otot. Anindyaputri dalam artikel yang diterbitkan oleh hellosehat.com menyebutkan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa perempuan memiliki ketahanan otot lebih besar dibandingkan laki-laki Jadi, paham, kan kenapa perempuan minta bantuan mengangkat galon tetapi bisa tahan lebih lama saat menggendong anak yang sama beratnya? Bahkan, perempuan sanggup membawa janin dalam tubuhnya selama sembilan bulan. Namun, kalau saya berkata demikian pasti jawabannya memang sudah kodrat perempuan.
Jika bentuk dan kekuatan fisik memiliki ukuran pasti, tanggung jawab domestik justru sebaliknya. Memasak dan mengurus anak bukan kegiatan khusus untuk perempuan. Memasak adalah keterampilan hidup apa pun gendernya, begitu pula terkait pengasuhan. Berbeda dengan hamil, melahirkan, dan menyusui yang merupakan tiga di antara 29 pengalaman reproduksi perempuan menurut Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, pendiri Ngaji Keadilan Gender, pengasuhan sama sekali tidak berada dalam daftar reproduksi perempuan. Malahan, studi membuktikan keterlibatan ayah dalam pengasuhan memiliki dampak positif pada perkembangan kognitif, sosial, dan emosi anak.
Hal yang perlu disadari adalah menjadi feminis dan mengampanyekan kesetaraan bukan berarti mesti memiliki karakteristik maskulin. Sindiran-sindiran tersebut sama sekali tidak relevan karena ukuran yang digunakan masih pakai standar laki-laki dan patriarki. Maklum, sih yang nyindir mungkin memang belum paham, kan?
Feminis Disebut Keren-kerenan, Kalau Laki-laki Dianggap Keren Beneran
Banyak yang bilang, feminis tujuannya hanya ingin keren-kerenan. Padahal, yang kami dapatkan lebih banyak stigma dan cemoohan. Namun, jika laki-laki bicara kesetaraan, kok respons yang didapat malah pujian? Ironis, bukan?
Mari kita ambil contoh, saat perempuan menuntut hak atas tubuhnya—rahim—sendiri dianggap sebagai ketidakwajaran dan terlalu radikal, tetapi saat laki-laki menyuarakan hal yang sama, ia dianggap sebagai lelaki sejati yang begitu mencintai pasangannya. Kok, standar ganda, ya?
Contoh lainnya juga pernah diutarakan oleh Michael Kimmel, sosiolog Amerika pendiri Jurnal Akademik Men And Masculinities. Menurut Kimmel, ketika aktivis berjenis kelamin perempuan menyuarakan hak dan kepentingan perempuan, maka aktivis tersebut dianggap bias dan hanya mementingkan kelompok serta golongannya. Namun, ketika aktivis tersebut seorang laki-laki, ia dielu-elukan, dianggap berpandangan feminis yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Perlu disadari bahwa privilege atau keistimewaan memang tidak terasa bagi mereka yang memilikinya, terutama laki-laki. Kurangnya kesadaran—atau justru pemahaman?—mengenai kesetaraan gender dan kampanye kesetaraan gender kemungkinan menjadi penyebab munculnya miskonsepsi kesetaraan gender hanya menguntungkan perempuan. Padahal, yang sesungguhnya yang diperjuangkan jauh lebih besar daripada itu.
Jadi, kalau disebut perjuangan feminis hanya untuk keren-kerenan, terlihat, kan siapa yang justru mendapatkan label keren ketika menyuarakan hal yang sama?
Feminis atau Bukan Semua Tetap Butuh Uang
Feminis disebut jual kesetaraan dan doyan duit, emangnya yang bukan feminis nggak butuh uang?
Ini adalah cemoohan paling absurd yang saya baca di media sosial. Bagaimana mungkin kami menjual isu kesetaraan saat kesetaraan saja masih jadi angan-angan? Faktanya, data yang dirilis BPS pada 2020 menyebutkan bahwa di tahun 2019 tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia masih lebih rendah 31.2% dibandingkan laki-laki. Jika hal tersebut dirasa belum cukup, statistik menunjukkan bahwa 2 dari 10 perempuan berusia 15 tahun ke atas di Indonesia tidak memiliki ijazah. Padahal, Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 menyebutkan 15% perempuan merupakan kepala keluarga yang berfungsi mencari nafkah dan turut membiayai keluarganya.
Kesenjangan gender di bidang ekonomi itu nyata, baik di partisipasi ekonomi, akses pendidikan dan kesehatan, hingga pemberdayaan politik. Data Kemenkeu pada 2019 pun mengamini pernyataan ini bahwa Indonesia berada di peringkat ke-93 terkait kesejahteraan gender. Dengan keterampilan yang sama saja, perempuan masih mendapat upah lebih rendah dibandingkan laki-laki. Saat kami menuntut kesetaraan demi kesejahteraan apa artinya kami mata duitan?
Jangan-jangan, yang berkata demikian takut dapat saingan, ya karena perempuan lebih berdaya setelah terpapar kampanye kesetaraan?
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—Apa pun Gendernya
Di tengah geliat kampanye kesetaraan, penting untuk meluruskan tujuan dari seluruh kampanye—bahwa ini bukan hanya demi kepentingan perempuan, tetapi bagi semua golongan minoritas dan tertindas. Malahan, kampanye kesetaraan juga penting untuk laki-laki karena tanpa disadari lelaki pun dirugikan oleh konstruksi sosial gender dan seksual yang diyakini oleh masyarakat. Jadi, setelah memahami miskonsepsi berbagai sindiran di media sosial, pahami juga manfaat kesetaraan gender sebagai perwujudan sila kelima Pancasila.
Gender Policy Report yang dirilis University of Minnesota pada 2019 membuktikan bahwa negara-negara yang memiliki kesadaran dan penerapan kesetaraan gender yang tinggi terbukti berada di posisi teratas sebagai negara yang memiliki tingkat kepuasan hidup tertinggi. Sejalan dengan penelitian tersebut, Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender yang dipublikasikan BPS pada 2020 menyatakan bahwa wilayah dengan pembangunan manusia yang sudah baik, cenderung sudah merata kesempatan akses dalam hal pendidikan, kesehatan, politik, dan ketenagakerjaan bagi laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan gender juga berdampak baik pada tingkat kebahagiaan anak. Perempuan yang memiliki hak atas waktu reproduksinya dapat mempersiapkan diri lebih baik untuk memiliki anak. Sekalipun perempuan memilih untuk di rumah saja dan membesarkan anak, tingkat pendidikan yang baik–hasil dari kesetaraan gender—memberikan perempuan jaring pengaman jika suatu saat harus turut mencari nafkah dalam membantu perekonomian keluarga.
Secara tidak sadar, ketidaksetaraan gender juga menekan laki-laki dengan stereotip laki-laki jantan atau maskulin. Kampanye kesetaraan gender justru membantu laki-laki untuk lebih bisa mengekspresikan diri. Tidak ada lagi pekerjaan yang dianggap hanya pekerjaan perempuan atau sebaliknya. Begitu pun mengenai cuti bagi orang tua yang juga dibutuhkan oleh laki-laki tanpa diskriminasi.
Pada akhirnya kampanye tentang perjuangan dan kesetaraan gender adalah tentang semua orang dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender terbukti membawa dampak positif bagi perempuan, anak, termasuk laki-laki, dan golongan minoritas lainnya.