Kekerasan Seksual di Pesantren: Penanganan Lebih Sulit Jika Pelaku dari Keluarga Kyai

Kekerasan Seksual di Pesantren: Penanganan Lebih Sulit Jika Pelaku dari Keluarga Kyai

Ketika pelaku kekerasan seksual (KS) dari golongan guru dan santri bisa diadili dan mendapatkan hukuman. Namun, lain cerita jika pelaku berasal dari golongan kyai serta anak-anaknya. Kasus yang menimpa kyai dan anak-anaknya cenderung lebih sulit ditangani dan berusaha untuk ditutup-tutupi dari publik (Anis Su’adah, Pendamping Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lamongan).

Pondok Pesantran menjadi institusi Pendidikan yang paling banyak menyumbang kasus kekerasan seksual setelah kampus. Data tersebut seperti gunung es karena bisa jadi masih banyak kasus yang belum dilaporkan. Apalagi kasus kekerasan seksual di pesantren seringkali ditutup-tutupi untuk menjaga nama baik pesantren. Hal tersebut disampaikan moderator sebagai pembuka dalam webinar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pesantren, yang diadakan Rahima, pada  Jumat, (10/12/ 2021).

Dalam webinar tersebut, Ernawati Siti Syajaah, pengasuh Pondok Pesantren Nurulhuda Cibojong Cisarupan Garut, membagikan pengalamannya ketika menerapkan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren yang ia asuh.

Tahapan Kebijakan Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren

Langkah awal yang ia lakukan sebelum membuat kebijakan adalah menganalisis  terlebih dahulu penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual dan penyebab mengapa perempuan lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan penelusuran yang ia lakukan, Ernawati mengatakan, penyebab seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual di pondok pesantrean adalah adanya relasi kuasa, serta pengalaman seksual yang buruk. Sedangkan penyebab perempuan lebih rentan mengalami kekerasan seksual adalah adanya pandangan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah yang memiliki derajat lebih rendah daripada laki-laki, serta adanya pandangan bahwa perempuan hanya makhluk seksual, bukan sosial.

Atas dasar pengamatan tersebut, Ernawati dan suaminya kemudian menerapkan beberapa kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual di pesantren Nurulhuda, di antaranya:

  1. Memasukkan materi keadilan gender dan kesehatan reproduksi dalam pekan ta’aruf santri
  2. Memasukkan kajian gender dalam kurikulum pesantren sebagai materi tambahan dalam bimbingan konseling santri yang dijadwalkan 2 jam pelajaran dalam seminggu
  3. Membiasakan hal-hal kecil untuk saling menghargai antara santri laki-laki dan perempuan, contohnya seperti posisi duduk laki-laki dan perempuan yang bersebelahan, bukan depan belakang, memberikan kesempatan yang sama kepada semua santri untuk mengikuti organisasi, menerima beasiswa, dan menjadi pemimpin organisasi, serta bekerjasama dengan puskesmas setempat untuk mengadakan cek kesehatan reproduksi
  4. Mengadakan pelatihan khusus untuk ustadz dan guru setiap sebulan sekali, yang diisi materi-materi tentang Pendidikan seksual

Selain melakukan pencegahan, Erna dan suaminya juga berusaha menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dialami santri mereka. Beberapa strategi yang mereka lakukan adalah:

  1. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada santri untuk curhat masalah apapun ke pengasuh pondok
  2. Berkomunikasi dengan orang tua, terkait kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya
  3. Berkomunikasi dengan pelaku
  4. Meminta bantuan pihak terkait, seperti Lembaga Konsultasi untuk Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (LKP3A).

Hambatan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren

Ada beberapa hambatan yang Erna dan suaminya rasakan ketika menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang menimpa santri mereka. Pertama, mereka mengaku masih sangat kurang dalam  melaporkan dan memidanakan  pelaku kekerasan seksual sampai tuntas, dikarenakan kurangnya waktu dan tenaga untuk mengurus hal tersebut. Selain itu, pihak korban atau orang tua kebanyakan tidak mau berurusan dengan hukum. Oleh karena itu, sejauh ini, jika ada kasus yang terjadi mereka lebih mengutamakan pemulihan korban.

“Yang penting minimal anak yang menjadi korban aman dulu, tidak menjadi korban atau terhubung lagi [dengan pelaku]. Kami belum terlalu fokus ke pelakunya. Tetapi minimal anak yang memiliki masalah itu mereka menjadi aman, nyaman, kembali belajar seperti biasa dan sebagainya,” jelas Erna.

Pelaku dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren milik Erna sejauh ini berasal dari luar lingkungan pesantren. Lalu bagaimana jika pelakunya berasal dari dalam lingkungan pesantren?

Dalam webinar yang sama, Anis Su’adah, pendamping Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) kabupaten Lamongan menjelaskan, berdasarkan pengalamannya mendampingi kasus kekerasan seksual di pesantren sejak 2014, ada 3 pihak yang bisa menjadi pelaku kekerasan seksual di pesantren, yakni: Kyai dan anak-anaknya, guru atau ustadz, serta santri.

Jika Pelakunya Pihak Keluarga Kyai dan Anak-anaknya, Penanganan Semakin Sulit

Sejauh pengalaman Anis, pelaku dari golongan guru dan santri bisa diadili dan mendapatkan hukuman. Namun, lain cerita jika pelaku berasal dari golongan kyai serta anak-anaknya. Kasus yang menimpa kyai dan anak-anaknya cenderung lebih sulit ditangani dan berusaha untuk ditutup-tutupi dari publik.

Ia menjelaskan, ketika pelaku berasal dari golongan guru atau santri, yang memang bukan pemilik pesantren, pihak pesantren masih bisa diajak berkoordinasi dan berkonsolidasi untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi. Namun, ketika yang menjadi pelaku adalah kyai atau pengasuh pondok, mereka justru berusaha membungkam korban dan memaksa untuk  berdamai tanpa proses hukum.

Pendamping Penyintas Berisiko Mendapatkan Tekanan dan Intimidasi

Anis menambahkan, baik pihak korban maupun pendamping bahkan sempat mendapatkan intimidasi dari teman-teman kyai yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Berbagai tekanan tersebut akhirnya membuat orang tua korban enggan melanjutkan laporan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak mereka.

“Orang tuanya bilang sudah tidak berani untuk diteruskan, karena kyai ini berpengaruh di kabupaten Lamongan, sehingga mereka tidak berani, karena ada beberapa intimidasi yang dilakukan dari teman-teman pak kyiai ini kepada orang tua korban dan korban,” jelas Anis.

Sampai saat ini Anis dan kawan-kawannya masih berusaha menyusun strategi agar kasus tersebut bisa dibawa ke ranah hukum. Mereka juga masih aktif menghubungi keluarga korban dan memberikan  trauma healing kepada korban kekerasan seksual di pesantren.

“Tiap hari kita tanya perkembangannya, tidak hanya orang tuanya tapi juga anak-anaknya. Karena ada salah satu anak yang sampai hari ini tidak mau beraktivitas sama sekali karena trauma yang dihadapi. Proses ke ranah hukum ini kita masih membangun strategi dan penguatan kepada orang tuanya,” tutur Anis.

Anis berharap, dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terkuak di media, orang tua dari korban kekerasan seksual akan merasa tergerak dan kembali mencoba melaporkan kasus yang dialami anak mereka.