“Kalau hasrat sudah mau, ya, mesti! Si istrinya diem aja, tidur aja, nggak sakit kok.”
Kita mesti tak akan lupa mengenai argumentasi seorang pemuka agama tersebut. Bagaimana tidak, lini masa di berbagai media sosial dipenuhi berbagai pro dan kontra atas pernyataan beliau. Membicarakan seks di negara santun seperti Indonesia memang terasa sangat tabu sekaligus menggairahkan. Apalagi jika sudah membicarakan video skandal para selebriti.
Dalam perbincangan asique para netizen kala itu, tidak mengejutkan ketika mayoritas orang mengamini narasi yang beliau sampaikan. Dalam fikih, perkawinan dipahami sebagai aqdut tamlik serta aqdul ibahah, jadi tak mengherankan apabila muncul keyakinan bahwa perkawinan merupakan cara untuk melegitimasi aktivitas seksual yang memang dalam islam diharamkan bila dilakukan diluar pernikahan. Maka, masyarakat akan terheran, bahkan menentang istilah marital rape atau pemerkosaan dalam perkawinan.
Selanjutnya, dalil agama yang dipahami secara tekstual akan melahirkan narasi bahwa seks merupakan hak suami dan kewajiban istri. Istri harus memenuhi kewajibannya–jika tidak terhalang udzur syar’i, seperti dalam keadaan haid dan nifas. Apabila tidak melakukannya, ia terancam dilaknat malaikat hingga subuh hari. Pemahaman tersebut memang terasa berat sebelah serta bias gender. Sayangnya, masyarakat tetap mengadopsi ijtihad tersebut meski pemaknaan dalil dilakukan di zaman yang belum sadar akan urgensi keadilan gender.
Perempuan Cenderung Diperlakukan Sebagai Objek Seks Semata
Konsep seks sebagai kewajiban istri serta hak suami terasa seperti angin segar yang menguntungkan bagi kaum pria. Namun, banyak pula perempuan mengamini konsep tersebut. Seperti dalam buku Sketsa Kesehatan Reproduksi Perempuan Desa, Seri Kesehatan Reproduksi dan Petani karya Roosna Hanawi dkk., hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa melayani merupakan kodrat perempuan. Jadi, apabila bapak (suami) minta dilayani (untuk berhubungan seksual) perempuan wajib memenuhi keinginannya, tidak peduli badan lelah, perempuan harus siap melayani laki-laki sewaktu-waktu.
Lahir dan tumbuh di lingkungan yang menjunjung sistem patriarki selama hidup tentu perempuan akan dicekoki pemahaman tersebut. Bahkan, anggapan tersebut masih melekat dalam benak teman perempuan saya, saat saya meminta pendapat mereka melalui status Whatsapp beberapa waktu lalu.
Sayangnya di tengah menjamurnya pandangan tersebut, seks dilukiskan sebagai aktivitas yang menyenangkan. Dalam teks-teks keislaman klasik, dijelaskan hubungan seksual bertujuan untuk mendapatkan kenikmatan (relaksasi) dan melanjutkan keturunan (reproduksi). Mungkin dari faedah yang disebutkan, terdapat satu komponen yang luput, yakni seks bertujuan untuk membangun relasi antarpasangan, seperti yang dijelaskan Barry McCarthy dalam bukunya Sexual Relationship.
Narasi bahwa seks merupakan kewajiban istri, membuat seks bukan lagi ajang membangun relasi. Bahkan, belum tentu perempuan bisa memperoleh kenikmatan seks. Alih-alih kewajiban, pemaksaan hubungan seksual dapat berdampak negatif bagi perempuan. Ditambah lagi kondisi masyarakat yang tampak tidak mengindahkan hal tersebut.
Dalam jangka pendek, perempuan yang dipaksa berhubungan seksual dapat mengalami beberapa gejala psikis seperti munculnya rasa marah, jengkel, merasa bersalah, malu, serta terhina. Gangguan emosional ini biasanya ditandai dengan gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost appetite). Sementara dalam jangka panjang, dampak yang timbul adalah persepsi negatif terhadap suami dan seks. Hal ini terjadi karena trauma yang ia tanggung. Tuntutan kepada istri untuk segera memuaskan kebutuhan seks suami membuat banyak muslimah berpotensi mengidap frigiditas (disfungsi seksual pada wanita berupa ketidakmampuan untuk mencapai orgasme dalam suatu hubungan seksual).
Untuk itu, rasanya sangat penting untuk menjaga kenyaman istri dalam kehidupan ranjang. Bukankah baginda Rasulullah SAW mengingatkan bahwa sebaik-baiknya suami adalah yang paling baik kepada keluarganya? Tentu suami juga harus memperlakukan istrinya sebagai partner hidup yang mulia.
Lantas, bagaimana cara legowo untuk menerima penolakan bercinta?
Komunikasikanlah Secara Asertif
Tanpa penjelasan yang rumit, perempuan mungkin tahu bahwa seks merupakan hal penting bagi pria. Dengan seks, pria akan merasa diinginkan serta bahagia. Apalagi bila istri antusias terhadap seks yang akan dilakukan. Sayangnya, bagi perempuan hal tersebut tak mudah. Menurut Zhana Vrangola Ph. D., seorang seorang sex researcher dan profesor seksualitas manusia Universitas New York dalam mindbodygreen.com, beberapa alasan orang tidak ingin melakukan hubungan seks dengan pasangannya terkait beberapa faktor yakni kondisi medis tertentu, dalam masa pengobatan (terutama antidepresan berbasis SSRI), fluktuasi hormonal, kurangnya komunikasi, bosan terhadap variasi seks, stres, kurang tidur, punya anak atau bayi. Ditambah lagi jika istri aktif berperan di ranah domestik dan ranah publik. Bayangkan betapa lelahnya istri Anda!
Jika merasa tidak bergairah untuk bercinta, luangkan waktu untuk berhenti sejenak dan berkomunikasi dengan pasangan mengenai hal yang sedang terjadi. Untuk mengomunikasikannya, terapis seks, Vanessa Marin, mengingatkan untuk menyatakan bahwa Anda mencintainya. Ungkapkan juga alasan Anda ingin menunda aktivitas seksual tersebut.
Komunikasi dalam kehidupan seksual memang penting untuk dilakukan. Tim peneliti seks yang dipimpin oleh Debby Herbenick, Ph.D., MPH, melakukan riset kepada 1.000 wanita tentang pengalaman mereka mengomunikasikan hasrat seksual mereka. Ditemukan bahwa orang yang merasa nyaman mengomunikasikan keinginan dalam kegiatan bercinta akan mengalami aktivitas seksual yang lebih menyenangkan karena mereka nyaman mengungkapkan preferensi yang dimiliki.
Suami dan istri juga dapat berbincang mengenai sumber yang membuat salah satu pasangan tidak bergairah kemudian menentukan win-win solution. Seumpama istri merasa tertekan karena menjadi new mom dan merasa letih, suami dapat membantu meringankan pekerjaan rumah atau menyewa Asisten Rumah Tangga (ART) bila diperlukan. Bisa juga dengan menemani istri begadang di waktu menyusui sembari memijat-mijat agar istri merasa lebih rileks.
Untuk mengisi waktu saat sepakat untuk tidak bercinta, pasangan juga dapat membangun mood dengan melakukan quality time berdua seperti cuddle (berpelukan), bercumbu, dan lain-lain. Ingatlah kata Zoya Amirin untuk tidak pernah menolak cinta.
Bercinta sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama. Jangan pernah membebankan kepuasaan terhadap salah satu pihak. Terakhir, ingatlah bercinta agar bersama-sama merasa bahagia!