“Tak peduli apa yang akhirnya kamu tulis, atau berapa banyak halaman yang kamu isi, atau seberapa berantakan tulisanmu. Ingat, ini tentangmu dan untukmu” (Amber Tucker – www.mindful.org)
“Lagi burnt out, kah?” Tebakan asal kulayangkan saat aku mendengar helai napas panjang dari ujung telepon. Percakapan antara aku dan temanku pagi itu hanya diawali ‘halo’, ‘hai’, sebelum terhenti cukup lama. Seolah sosok yang mengajakku telepon pagi ini bingung ingin berkata apa. Sebagian dari diri ini tahu ia memiliki banyak hal yang menjadi tanggungannya, meneror Whatsappku hampir setiap hari dengan kata – kata yang serupa. Tidak jauh dari keluhan harian pada umumnya.
“Itu bahasa anak sekarang? Burnt out? Nggak tahu juga, ya. Cuma lagi banyak pikiran saja.”
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Entah. I feel stuck. Capek saja. Otak rasanya penuh. Sering nggak sih kamu berpikir, ‘apakah hidup akan terus seperti ini?’”
Aku hanya tersenyum, meski ia tak dapat melihat ekspresiku saat ini. Enggan menunjukkan bahwa semua yang diucapkan temanku barusan adalah apa yang ia rasakan, bukan apa yang ia pikirkan.
Manusia Mengalami Lelah Batin itu Wajar
Sejatinya adalah sebuah hal yang wajar bagi seorang manusia untuk mengalami lelah batin, burnt out, malas beraktivitas, atau apalah definisinya. Intinya ketika terlalu banyak yang dipikirkan sampai akhirnya tidak mengerti sebenarnya kita sedang berpikir apa.
Sebagai pegawai kantoran biasa dengan jam kerja gila – gilaan yang seakan tak ada habisnya sejak pandemi merajalela, lelah, gelisah, dan sedih berkepanjangan merupakan sesuatu yang tidak jarang kurasakan. Ibaratnya, pandemi Covid-19 merubah sebagian besar kebiasaan dan kebutuhan kita dalam sekejap. Tentunya hal itu dapat membuat kita menjadi lebih tidak stabil, merasa adanya sesuatu yang kurang, berujung dengan seringkali lebih cepat lelah ketika beraktivitas sehari – hari.
Dilansir dari penelitian oleh Georges Mion (2021), satu dari empat residen Prancis mengaku bahwa mereka baik – baik saja secara pikiran dan mental sejak pandemi menyerang. Satu dari empat, hanya sekitar 25% dari 64 juta penduduk bukanlah sebuah jumlah yang banyak. Penelitian tersebut pada akhirnya menemukan bahwa terdapat hubungan antara dampak pandemi terhadap sindrom kelelahan batin manusia.
Intinya? Perasaan letih, malas, dan ruwetnya pikiran yang mungkin kita alami saat ini adalah suatu hal alamiah.
Vindy Ariella, pendiri dari Bipolar Care Indonesia, termasuk salah seorang yang menganjurkan penerapan self journaling dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mental dan membantu mengekspresikan emosi. Karena seperti dialog sebelumnya, terkadang ‘banyak pikiran’ bisa diikuti atau didasari oleh ‘banyak yang dirasakan’. Sehingga jawaban dari permasalahan tersebut adalah mengurai satu persatu emosi yang kita. Berfokus pada apa yang terjadi saat ini, apa yang dirasakan saat ini dengan harapan kecamuk perasaan yang membayangi kita dapat dijelaskan, atau bahkan dihilangkan.
Fokus Hadapi Masalah
Self journaling, yaitu menulis tentang apa yang terjadi, apa yang dirasakan saat ini, dapat membantu kita mengekspresikan hal – hal yang mungkin sulit untuk dijelaskan dengan ucapan pada orang lain. Membantu kita menyadari apa yang sebenarnya terjadi, dan sedang kita rasakan. Sehingga tidak hanya menjadi lebih fokus terhadap masalah utama yang dihadapi, namun terkadang mampu menumbuhkan rasa optimisme akan penyelesaian dari masalah tersebut.
Berasa curhat tapi ke diri sendiri. Jadi lebih terbuka, bukan? Jadi lebih tidak takut jika ada yang akan menghakimi.
Meskipun begitu terkadang jika tidak terbiasa, menulis bagi beberapa orang bukanlah sebuah hal yang mudah. Seringkali setelah memasang lagu untuk menciptakan mood, alih – alih menulis aku malah terdiam di depan kertas kosong. Bingung harus memulai darimana.
Vindy juga menjelaskan ketika hal itu terjadi, kita dapat mulai memberi beberapa pertanyaan pada diri sendiri agar dapat memudahkan penulisan self journaling, seperti;
‘Apa 3 hal yang aku syukuri hari ini?’
‘Apa yang aku rasakan hari ini?’
‘Apa yang aku alami hari ini? Bagaimana perasaanku saat itu?’
Apa yang kita rasakan tidak harus dituliskan dengan gamblang, berhubung satu – satunya pihak yang akan membaca jurnal ini di masa depan adalah diri sendiri. Pun tak perlu dipikirkan apakah hasil tulisan bagus atau tidak. Tujuan dari self journaling adalah agar kita mampu mengeluarkan hal – hal yang tidak dapat diekspresikan atau diucapkan, bukan memastikan tulisan tersebut layak dibaca orang lain.
Bukan Sekadar Apa yang Kita Rasakan
Self journaling sendiri tidak terbatas pada apa yang kita rasakan, apa yang kita alami, atau apa yang dipikirkan. Cakupan penulisan sangat luas, biarkan diri sendiri tenggelam dalam mengeluarkan emosi. Dari kebutuhan sampai dengan harapan di masa depan, tidak ada hal yang tabu untuk dituliskan. Tidak ada pula batasan waktu yang tepat untuk menulis. Baik setahun sekali maupun setiap hari, berikan diri sendiri sebebas – bebasnya ruang untuk berekspresi.
Dengan mulai menulis tentang kita dan hanya kita, memberi kesempatan untuk mencurahkan isi hati pada diri sendiri, kita pada akhirnya akan belajar untuk menerima kekurangan, kelebihan, dan nilai yang dimiliki. Menemukan bahwa teman terbaik yang perlu kita rangkul, orang pertama yang akan selalu ada di saat susah maupun senang adalah diri sendiri.
Membangun relasi yang sehat dengan diri bukanlah sesuatu yang instan atau mudah. Namun tak berarti mustahil atau tidak perlu dilakukan. Oleh karena itu, penting untuk mulai belajar mengenali apa yang kita punya dan bagaimana sosok di dalam diri mampu mendukung kita menghadapi keadaan apapun.
So enjoy the process of writing your own self journal, dan selamat mencoba!
Sumber:
1. Journaling, Mindfulness, dan Kesehatan Mental, materi oleh Vindy Ariella
2. Psychological impact of the COVID-19 pandemic and burnout severity in French residents: A national study (2021) oleh Georges Mion