Kita gak bisa memilih dilahirkan dari keluarga kita saat ini atau keluarga lainnya, kita gak bisa memilih bahwa kekerasan yang terjadi pada kita seharusnya gak terjadi, tapi kita masih bisa memilih untuk pulih dan berdaya. Keputusan untuk membiarkan diri terluka atau menjadi sosok yang bahagia ada di tangan kita. Mari rawat kebahagiaan di hati dimulai dengan menjaga diri.
Malam ini, sambil menyesap teh hangat tanpa gula, aku baru saja menutup telepon dari seorang kawan lama. Sejak pandemi melanda, kami tidak pernah lagi berjumpa atau sekadar bertegur sapa lewat sambungan suara. Sayangnya, momen melepas rindu antarsahabat yang kukira akan penuh canda justru penuh dengan cerita nelangsa. Setelah berbasa-basi sesaat, obrolan kami diisi oleh keluh kesahnya tentang rasa sakit hati. Saat ini, kondisi ekonomi kawan lamaku tersebut sedang tidak baik-baik saja. Namun, bukan itu yang menjadi pangkal persoalan, melainkan sikap keluarga besarnya. Saat kawanku butuh uluran tangan, keluarga besarnya justru abai memberi pertolongan. Bahkan, kabarnya mereka tidak segan memamerkan barang mewah kepada kawanku yang sedang kesulitan. Padahal, menurut kawanku, ia selalu sigap membantu saat keluarganya membutuhkan. Kini, saat kondisi sebaliknya terjadi, ia merasa sikap keluarganya begitu mengecewakan dan membuatnya sangat terluka.
Obrolan kami pun terputus dengan mengambang. Sebagai kawan, aku tidak bisa banyak memberi saran dan hanya bisa memberi penghiburan–serta telinga untuk mendengarkan. Mendengar cerita tersebut membuatku mengingat kondisiku sendiri. Aku pun pernah mengalami situasi yang serupa meski tidak persis sama. Saat aku merasa sudah memberikan yang terbaik untuk seseorang, rasanya sakit sekali ketika orang tersebut justru tidak sensitif dan memahamiku. Sering sekali, orang-orang yang justru kita sayangi dan pedulikan justru menjadi sosok yang memberikan luka paling dalam. Bahkan tidak jarang sosok terdekat yang semestinya menjadi pelindung justru menjadi pelaku kekerasan yang melukai kita. Mengapa bisa demikian?
“Sering sekali, orang-orang yang justru kita sayangi dan pedulikan justru menjadi sosok yang memberikan luka paling dalam.”
Bukan Soal Ekspektasi, tetapi Koneksi
Perihal ekspektasi adalah salah satu alasan yang membuatku segan memberi saran pada kisah kawan yang kuceritakan di atas. Alasannya sederhana, aku takut membuatnya semakin terluka jika memberikan nasihat umum mengenai ekspektasi yang sering aku dapatkan setiap mengalami kejadian serupa. Kalimat seperti, “Turunkan ekspektasimu kepada orang lain dan andalkan dirimu sendiri!” tentu akan terkesan negatif didengar olehnya yang sedang dirundung emosi. Alih-alih tercerahkan, bisa jadi ia akan berhenti menganggapku kawan.
Tentu nasihat tersebut banyak benarnya. Kita memang sering kecewa bukan karena pihak lain melainkan harapan kita sendiri. Namun, hubungan manusia ternyata tidak sesederhana itu. Melansir exploringyourmind.com, Manuel H. Pacheco, penulis buku Why Do People I Love Hurt Me? menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan koneksi (hubungan) di atas segalanya. Dalam setiap hubungan yang kita jalin, pasti kita telah menginvestasikan energi serta emosi kita untuk mendapatkan rasa aman dan koneksi. Itu sebabnya, wajar saat rasa aman tersebut tidak didapatkan, kita merasa kecewa, bahkan terluka, karena dua emosi negatif tersebut sama sekali tidak ada dalam daftar hal-hal yang kita inginkan setiap kali memulai hubungan.
“Rasa sakit mendalam yang diakibatkan oleh sosok terdekat dan kita cintai bukan sekadar karena ekspektasi, tetapi juga koneksi. (…) dalam setiap koneksi, wajar jika kita terluka saat ekspektasi tidak terpenuhi dan tidak perlu terlalu menyalahkan diri karena memiliki pengharapan pada sosok yang kita cintai.”
Jadi, rasa sakit mendalam yang diakibatkan oleh sosok terdekat dan kita cintai bukan sekadar karena ekspektasi, tetapi juga koneksi. Menurunkan ekspektasi bisa jadi membantu kita untuk mudah bangkit setelah terluka. Namun, dalam setiap koneksi, wajar jika kita terluka saat ekspektasi tidak terpenuhi dan tidak perlu terlalu menyalahkan diri karena memiliki pengharapan pada sosok yang kita cintai.
Kita Sakit Hati, Bisa Jadi Dia Tidak Mengerti
Mungkin terdengar klise, tetapi, pernahkah kita terpikir bahwa rasa sakit hati kita bisa jadi akibat kesalahpahaman semata?
Melissa Ritter, Ph.D., pada psychologytoday.com menyebutkan bahwa sensitivitas setiap orang adalah hal yang sangat personal dan hanya dapat dipahami oleh orang itu sendiri. Bisa jadi, pihak yang kita anggap menyakiti, sama sekali tidak memahami dampak yang ditimbulkan dari tindakan dan/atau perbuatannya kepada kita.
“Sensitivitas setiap orang adalah hal yang sangat personal dan hanya dapat dipahami oleh orang itu sendiri.” (Melissa Ritter, Ph.D.)
Hal ini pun pernah kualami beberapa bulan lalu. Aku bertengkar dengan adikku karena kami memiliki cara berbeda untuk melepaskan stress. Saat itu, orang tua kami dalam kondisi kritis akibat covid-19. Adikku adalah tipe emosional yang melepaskan stressnya dengan suara keras yang terkesan membentak-bentak. Sementara aku, yang tentu saat itu dalam kondisi kalut, adalah manusia supersensitif, tidak tahan pada keributan, dan kerap menghindari konflik. Dalam kondisi sama-sama panik dan tertekan, dua kepribadian kami berbenturan. Adikku sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaanku, tetapi aku begitu terluka hanya karena satu ucapan darinya. Ia tidak paham alasanku begitu sakit hati, begitu pun sebaliknya, aku tidak mengerti mengapa ia begitu tega melukaiku lewat kata-katanya.
Dalam keadaan emosi, tentu sulit untuk memahami kesalahpahaman yang timbul di antara kami. Namun, seiring waktu yang meredakan emosi, aku sadar bahwa meski kami bersaudara kami adalah dua individu dengan kepribadian berbeda serta dibentuk oleh pengalaman yang tak sama. Aku telah mengenalnya seumur hidupku dan tahu temperamennya yang memang meledak-ledak. Dalam situasi normal, bisa jadi aku tidak akan terluka karena kalimat yang sama. Kondisi tersebut membuktikan bahwa seringkali kita terluka hanya karena kesalahpahaman semata. Sosok yang kita cintai dan mencintai kita, tentu tidak pernah bermaksud menyakiti kita, bukan?
Kenali Diri Sebelum Memahami Orang Lain
Tanpa disadari, kita sering menilai orang lain menggunakan standar kita sendiri. Suamiku, yang memiliki bahasa cinta sentuhan, merasa sudah menunjukkan cinta dengan cara memeluk atau mengecup keningku setiap malam. Sayangnya, aku sama sekali tidak menerima energi cinta tersebut karena bahasa cintaku adalah kalimat cinta dan pujian.
Menggunakan standar kita sendiri untuk memperlakukan orang lain dalam waktu lama dapat membuat sebuah hubungan menjadi sangat menyakitkan. Masing-masing pihak pasti merasa tidak dipahami bahkan diperlakukan buruk karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
“Bisa jadi, rasa luka dan sakit hati yang terjadi pada diri kita adalah akibat kita tidak mengenali kebutuhan diri.”
Bisa jadi, rasa luka dan sakit hati yang terjadi pada diri kita adalah akibat kita tidak mengenali kebutuhan diri. Setelah kita mengenal diri dan kebutuhan pribadi, luangkan waktu untuk memahami orang lain dalam lingkaran kita. Komunikasi dan toleransi adalah kunci untuk meminimalisir sakit hati akibat perbedaan ekspektasi dalam sebuah hubungan.
Jangan Remehkan Luka Diri dan Sakit Hati Akibat Tindak Kekerasan
Meski telah disinggung sebelumnya tentang serba-serbi sakit hati dan terluka yang diakibatkan orang terdekat, ada satu jenis luka dan sakit hati yang tidak boleh kita abaikan siapa pun pelakunya. Jika kita mengalami rasa sakit akibat tindak kekerasan maka ini adalah alarm bahaya. Tindak kekerasan, apa pun bentuknya, selain berpotensi menimbulkan luka fisik juga dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Orang terdekat, terutama keluarga tentu merupakan lingkungan yang diharapkan dapat memberikan perlindungan dan rasa aman kepada kita. Namun, bukan tidak mungkin anggota keluarga juga menjadi pelaku tindak kekerasan. Hal ini terbukti dari data yang tercatat di Komnas Perempuan yang menunjukkan angka kasus kekerasan di ranah domestik lebih tinggi dibandingkan kasus yang terjadi di ranah publik.
Sayangnya, banyak korban kekerasan domestik justru tidak berani bersuara atau melaporkan kekerasan yang dialaminya. Mereka memilih bungkam meski bertahun-tahun menjadi korban. Tak jarang anggota keluarga lain yang menjadi saksi ikut menutupi karena merasa hal tersebut adalah aib keluarga yang akan mempermalukan diri dan mencemarkan nama baik keluarga jika terungkap. Sering, bukan kita membaca berita anak yang menjadi korban pemerkosaan ayahnya sendiri tetapi sang ibu justru melindungi suami?
Anggapan bahwa kekerasan di ruang domestik adalah aib merupakan bentuk nyata dari relasi kuasa, terutama jika korban adalah perempuan dan anak-anak. Posisi perempuan dan anak yang tergantung secara sosial dan ekonomi kepada pelaku ditambah dengan ancaman kekerasan seringkali membuat kasus semacam ini tersimpan rapat.Tekanan sosial dan budaya kepada korban yang hidup di bawah dominasi patriarki membuat korban takut untuk bersuara. Padahal, luka fisik dan/atau batin akibat kekerasan merupakan hal yang tidak dapat ditoleransi, siapa pun pelakunya, sedekat apa pun hubungannya. Jangan pernah menganggap wajar situasi semacam ini!
Rawat Hati Dimulai dengan Jaga Diri
Merasa sakit hati dan kecewa dalam sebuah relasi adalah hal yang wajar terjadi. Setelah kita memahami akar masalah yang membuat kita merasa lebih terluka saat ekspektasi tidak sesuai realita dalam relasi, tentu kita perlu mencari cara mencegah hal tersebut terjadi.
“… reaksi kita tidak selalu sama dengan niat mereka terhadap kita. Rasa sakit hati yang kita alami memang wajar, tetapi tidak selalu benar. (…) selalu pertimbangkan intensi, kepribadian diri sekaligus sosok yang membuat kita terluka, serta tingkat sensitivitas kita sendiri.”
Selalu ingatkan diri bahwa reaksi kita tidak selalu sama dengan niat mereka terhadap kita. Rasa sakit hati yang kita alami memang wajar, tetapi tidak selalu benar. Komunikasikan kebutuhan kita pada pihak yang kita anggap melukai. Setiap kali merasa tersakiti karena ucapan dan/atau tindakan orang-orang tersayang, selalu pertimbangkan intensi, kepribadian diri sekaligus sosok yang membuat kita terluka, serta tingkat sensitivitas kita sendiri. Ingat, bahwa kitalah yang bertanggung jawab pada perasaan kita, bukan orang lain. Keputusan untuk hidup membawa luka atau hidup bahagia ada di tangan kita sendiri.
Namun, kita tetap perlu waspada jika sudah mengalami tindak kekerasan meski dilakukan oleh orang terdekat. Penting untuk memahami bentuk dan jenis kekerasan agar kita dapat membuat batasan untuk mewajarkan rasa sakit yang kita alami siapa pun pelakunya. Kenali komunitas atau organisasi terdekat yang dapat membantu dan memberikan kita perlindungan jika kita hendak melaporkan tindakan kekerasan di ranah domestik yang terjadi pada kita. Terakhir, jadilah sosok manusia berdaya agar kita berani bersuara jika kita menjadi korban.
Sekali lagi ingat, kebahagiaan kita merupakan tanggung jawab kita. Keputusan untuk membiarkan diri terluka atau menjadi sosok yang bahagia ada di tangan kita. Mari rawat kebahagiaan di hati dimulai dengan menjaga diri!
Sumber Bacaan:
Hagan, E. (2017, December 11). Why do people I love hurt my feelings so often? Psychologytoday. https://www.psychologytoday.com/us/blog/contemporary-psychoanalysis-in-action/201712/why-do-the-people-i-love-hurt-my-feelings-so-often
O. (2020, February 18). Why Do the People I Love Most Hurt Me? Exploring Your Mind. https://exploringyourmind.com/why-do-the-people-i-love-most-hurt-me/
Suyanto, Bagong. “Mengapa Korban Perkosaan Sedarah Sulit Melapor Dan Keluar Dari Tindakan Kekerasan.” The Conversation, 16 Mar. 2020, theconversation.com/mengapa-korban-perkosaan-sedarah-sulit-melapor-dan-keluar-dari-tindakan-kekerasan-132589. Accessed 11 Oct. 2021.