Rumuskan Standar Layanan, Perempuan Berkisah dan Indika Foundation Libatkan Pengada Layanan

Rumuskan Standar Layanan, Perempuan Berkisah dan Indika Foundation Libatkan Pengada Layanan

Komunitas Perempuan Berkisah dan Indika Foundation berkolaborasi dalam perumusan standar layanan pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG). Dalam pelaksanaannya melibatkan pengada layanan baik dari Komnas Perempuan, Yayasan Pulih, P2TP2A, Women Crisis Center (WCC), LRC KJHAM, Komunitas Save Janda, Daya Riset Advokasi (DROUPADI) Foundation maupun konselor dan pendamping korban Perempuan Berkisah.

Seorang siswi kelas tiga SMA hamil setelah menjadi korban pemerkosaan. Kondisi tersebut membuatnya mendapat perundungan dari teman sebaya. Tidak ada pembelaan dari pihak sekolah atau pun jaminan untuk melindunginya dari perundungan tersebut. Ia terancam putus sekolah, hanya beberapa bulan sebelum kelulusan SMA. Sekolah pun akhirnya meminta siswi tersebut menandatangani surat pengunduran diri sebagai siswa. Sementara, siswa pemerkosa, masih dapat bersekolah, bebas dari tuntutan hukum karena kasus diselesaikan secara kekeluargaan, melalui pernikahan anak usia dini. 

Di tempat berbeda, seorang anak berusia sepuluh tahun juga menjadi korban pemerkosaan. Didampingi oleh keluarga, mereka berniat melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. Sayangnya, mereka gagap saat ditanya pasal yang akan digunakan sebagai landasan kasus mereka. Ketika akhirnya mendapat pendampingan profesional, korban masih belum bisa bernapas lega. Ia mesti menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang masih jauh dari jangkauan nalarnya sebagai anak-anak. Ia ditanya pakaian yang dikenakan, ia diminta menjelaskan posisi yang digunakan saat pemerkosaan, dan kemungkinan hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka. Semua ini mesti dialami oleh korban berusia sepuluh tahun untuk melengkapi pemeriksaan dalam rangka menuntut keadilan bagi dirinya. 

Data Peningkatan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan

Itulah sekelumit cerita dari banyak kisah pilu lain yang dituturkan para pendamping korban pada sesi Lokakarya Pemetaan dan Perumusan Standar Layanan Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang diadakan oleh Perempuan Berkisah (PB) didukung oleh Indika Foundation, pada Sabtu-Minggu (2-3 Oktober 2021) kemarin. 

Kasus KBG, di ruang privat maupun publik, memang masih menjadi persoalan yang mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Pada semester pertama 2021, Komnas Perempuan mencatat sebanyak 2.500–data terakhir yang didapatkan dari sesi lokakarya sebanyak 2.800–kasus kekerasan terjadi pada perempuan. Angka ini melampaui total kasus kekerasan yang tercatat pada 2020, yakni sebanyak 2.400 kasus. Hingga 2019, Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) telah mendata 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Total ini menunjukkan kenaikan hampir 792% selama 12 tahun terakhir. Tercatat pula bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah privat masih lebih tinggi, 2.807 kasus, dibandingkan kasus yang terjadi di ranah publik, 2.091 kasus.

Menurut Alimah Fauzan, Founder Komunitas Perempuan Berkisah (PB), komunitasnya mencatat sebanyak 352 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan selama pandemi melalui informed consent Perempuan Berkisah (September 2021). Dari jumlah tersebut, sebanyak 296 penyintas telah mengakses layanan konseling di Ruang Aman Perempuan Berkisah yang dilakukan melalui berbagai pilihan media, Zoom, grup Whatsapp, atau telepon, sesuai dengan kebutuhan konseli. Selain konseling, PB juga memiliki layanan pendampingan langsung oleh konselor PB yang tersebar di enam wilayah Indonesia. 

Kolaborasi Komunitas Perempuan Berkisah dan Indika Foundation

Alimah Fauzan juga menambahkan bahwa seluruh proses pendampingan korban yang telah dilakukan Komunitas Perempuan Berkisah telah membuat PB menyadari bahwa peningkatan kasus kekerasan seksual masih dihantui oleh persoalan stigma sosial masyarakat terhadap korban, budaya menyalahkan korban (victim blaming), hingga lemahnya perspektif keberpihakan pendamping kepada penyintas karena tidak dilakukan dengan berdasar pada etika feminis. Kondisi ini menjadi semakin menantang karena minimnya ketersediaan ruang aman berbasis komunitas untuk pemulihan korban serta sulitnya akses terhadap penyedia layanan pendampingan yang tersedia di daerah. 

Untuk itulah Komunitas Perempuan Berkisah kerap memberikan pelatihan dalam rangka menguatkan kapasitas para konselor dan pendamping korban kekekrasan berbasis gender (KBG) yang terjun di lapangan. Kini, untuk meningkatkan standar mutu pelayanan pendampingan korban KBG, Perempuan Berkisah bekerja sama dengan Indika Foundation menyelenggarakan sesi Lokakarya “Pemetaan dan Perumusan Standar Layanan Pendampingan Korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG)”.

Alimah Fauzan, Founder Komunitas Perempuan Berkisah

Dengan mengundang perwakilan dari berbagai pengada layanan pendampingan korban KBG, Perempuan Berkisah ingin berbagi informasi terkait SOP, tahapan, pendekatan, pembelajaran, tantangan, evaluasi, dan monitoring proses pendampingan korban. Selain itu, diskusi ini juga diharapkan dapat menghasilkan pemetaan topik, materi, pokok bahasan, dan pendekatan advokasi penanganan, dan pendampingan kasus non litigasi sebagai rekomendasi penyusunan kurikulum dan modul pendampingan penyintas KBG yang akan dilakukan dan diuji coba oleh para konselor PB di berbagai daerah.

Pada lokakarya hari pertama, telah hadir Suraya Ramli, Koordinator Divisi Pemulihan Korban Kekerasan Komnas Perempuan. Kemudian, hadir pula Sofi Manu, Konselor P2TP2A, Kab. Rote Ndau, NTT. Selain itu, ada pula Dian Indraswari, Direktur Yayasan Pulih Jakarta. Dari LRC KJ-HAM Semarang, diwakili oleh Nia Lishayati yang merupakan staff muda divisi bantuan hukum dan terakhir turut hadir Marry Silvita, Head Law and Advocation dari Komunitas Save Janda. Komunitas Perempuan Berkisah sendiri diwakili oleh Aline Laksmi, psikolog PB dan juga berpraktik di ACC IDN. Sementara di hari kedua, menyusul partisipan dari WCC Dian Mutiara Malang, yang diwakili oleh Ina Irawati.

Dipandu oleh Ade Herlina dari Daya Riset dan Advokasi (DROUPADI Foundation) sebagai fasilitator, diskusi hari pertama berjalan hangat dan penuh informasi berharga. Tak jarang pilu menyergap saat masing-masing peserta membagikan kisah perjuangan penyintas maupun perjuangan dirinya sebagai pendamping dalam mendampingi kasus KBG. 

Kondisi Psikologis Pendamping KBG yang juga Perlu Dikuatkan

Pada sesi pertama diskusi, para peserta diminta untuk bercerita mengenai perasaan mereka selama menjadi pendamping korban KBG di lembaga masing-masing. Sebagian peserta menjelaskan bahwa selama menjadi pendamping, mereka kerap didorong oleh rasa empati dan kasih demi membantu proses pemulihan korban. 

(Rasa) Empati tidak hanya dimiliki oleh pendamping, tapi juga untuk layanan hukum, layanan medis, agar korban bisa mendapatkan layanan secara optimal. Empati sangat diperlukan dan wajib dimiliki oleh semua elemen terkait (dalam penanganan korban KBG).

Nia Lishayati, LRC KJ-HAM

Namun, tidak jarang pula pendamping merasa kewalahan dan perih mendapati kasus KBG yang begitu memilukan. Ditambah lagi re-viktimisasi yang kerap dialami korban dari proses hukum dan stigma masyarakat, telah membuat beban pendamping semakin berat. 

Semua alasan tersebut menjadikan pendamping mesti siaga baik secara waktu, fisik dan psikis. Tidak jarang kasus yang didampingi memicu trauma diri para pendamping. Belum lagi, kondisi korban yang jauh dari kata stabil sering membutuhkan energi besar dalam pendampingan. Sebelum menolong korban, pendamping pun mesti dalam kondisi siap. 

Kita mesti merasa siap. Bukan hanya penyintas saja, tetapi dari pendamping juga harus siap. Tidak hanya dari segi waktu, tetapi kadang kita juga merasa ke-trigger. Pendampingan akan menjadi sangat berat, … , kita siap dulu baru kita bisa menolong.

Aline Laksmi, Psikolog Perempuan Berkisah dan ACC IDN

Butuh hati yang benar-benar tulus untuk menjadi pendamping bagi para korban dan membantunya untuk menjadi penyintas.

Tantangan Proses Pendampingan Korban KBG

Selain tantangan internal yang mesti dihadapi pendamping, para peserta juga menjelaskan beberapa kendala yang sering mereka hadapi dalam proses penanganan kasus KBG. Setidaknya ada empat tantangan besar yang bisa disimpulkan dari sesi diskusi yakni tantangan dari sisi perspektif gender, minimnya SDM serta sarana prasarana, kondisi pandemi, serta keberpihakan para pemangku kebijakan. 

Bukan hal baru mendapati korban KBG yang justru mendapatkan tekanan dan stigma negatif dari banyak pihak, termasuk oleh aparat penegak hukum dan media. Hal ini terjadi karena elemen masyarakat banyak yang belum memahami perspektif gender dan keberpihakan kepada korban, terutama perempuan. Akibatnya, sering terlontar pertanyaan dan pernyataan misogini yang dianggap  sebagai kewajaran, seperti korban perkosaan yang disalahkan karena tidak melawan atau dianggap tidak punya masa depan karena sudah tidak perawan. 

Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, tetapi oleh lembaga yang semestinya memberikan bantuan kepada korban. Itulah sebabnya butuh usaha untuk membangun perspektif gender dan keberpihakan kepada korban KBG. Salah satu strategi yang bisa digunakan untuk menciptakan kesadaran ini adalah kampanye edukasi. Lewat kerja sama dengan media yang pro terhadap isu perempuan, diharapkan masyarakat lebih teredukasi mengenai perspektif gender serta keberpihakan terhadap korban.

Dari komunitas kami kuat di kampanye agar kemudian bisa disebar ke media-media yang pro dengan isu perempuan. Itu adalah solusi untuk membangun perspektif. Edukasi yang perlu kita gencarkan.”

(Marry Silvita, Head Law and Advocation, Komunitas Save Janda)

Tantangan berikutnya yang juga menghantui penanganan kasus KBG adalah minimnya SDM yang memiliki kapasitas pendamping korban di daerah-daerah. Di NTT misalnya, ada lembaga P2TP2A, tetapi SDM tidak ada. Pendampingan dilakukan berbasis pengalaman sehingga tidak tuntas dan belum efektif. Konseling secara daring pun sering terkendala sinyal karena minimnya sarana dan prasarana di daerah tersebut.

Memang SDM sangat kurang, apalagi daerah seperti kami, P2TP2A ada tapi SDM tidak ada. Saya melakukan pendampingan sesuai dengan pengalaman saya, tapi tidak bisa dibiarkan begini terus, pendampingan tapi sangat tidak tuntas. (…) ini tidak efektif, daerah kami, SDM benar-benar harus dibenahi dahulu. Kalau tidak dibenahi, kami kewalahan. (…) di daerah kami tidak ada konselor, ada cara online tapi tidak bisa efektif karena pengaruh sinyal juga.”

Sofi Manu, P2TP2A di salah satu daerah di NTT

Sejalan dengan tantangan minimnya SDM serta sarana prasarana, situasi pandemi dan pemberlakukan PPKM di sejumlah wilayah turut menambah kesulitan. Para penyedia layanan memang segera bertransformasi untuk mengadakan pelayanan secara daring. Meski begitu, seperti yang dituturkan oleh Dian Indraswari, sebelum pandemi, Yayasan Pulih sering mengadakan pelatihan penguatan kapasitas bagi pendamping terdepan di daerah-daerah, bidan misalnya. Diharapkan, para bidan ini bisa menangani dan memberikan bantuan pertama kepada korban sebelum mendapat pelayanan profesional di bidang psikologis. Kini, hal tersebut sulit dilakukan karena korban pun tidak dapat mengakses para frontliner di tiap daerah.

Proses penanganan KBG dapat diibaratkan seperti mengupas kulit bawang. Ada banyak lapisan yang mesti dikupas satu per satu agar tidak terjadi ketimpangan pelayanan di sana-sini. Pada dasarnya, seluruh penanganan KBG mesti membangun kesadaran kritis transformatif korban sebagai penyintas. Itu sebabnya advokasi sama sekali bukan tindakan mudah karena mesti melibatkan banyak pihak. Diharapkan ada sebuah layanan terpadu yang hadir sebagai solusi untuk menjangkau seluruh kebutuhan korban. Dalam situasi normal saja mendapatkan pelayanan penanganan kasus KBG yang berpihak pada korban sudah cukup sulit, apalagi selama pandemi.

Pengalaman korban harus menjadi pelajaran utama untuk membangun dukungan. Semua yang kita kerjakan adalah untuk membangun kembali korban. Kita tidak sedang sibuk dengan pikiran kita. Penyelenggara kebijakan harus menjadi perspektif utama. Nah, proses-proses kita membangun dukungan, ini harus kita perhatikan betul untuk bekerja, prinsip-prinsip yang kita utamakan, empati, tidak menghakimi, ini tidak hanya di level pendampingan tetapi (sampai pada level) para penyelenggara kebijakan.

Suraya Ramli, Koordinator Divisi Pemulihan Korban Kekerasan Komnas Perempuan

Pentingnya Kolaborasi Lembaga Pengada Layanan untuk Pemulihan Korban yang Optimal

Sebagai lembaga pengada layanan pendampingan kasus KBG, terkadang kita tidak memiliki seluruh sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani sebuah kasus hingga tuntas. Untuk itu, para penyedia layanan berkomitmen bekerja sama dan saling mengisi kekosongan ini dengan saling menerima rujukan kasus sesuai kebutuhan korban selain menerima pengaduan langsung ke lembaga. 

Setiap lembaga pun memiliki ciri khas pelayanan masing-masing sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Namun, proses yang dilakukan kurang lebih serupa dimulai dari menerima pengaduan. asesmen untuk mengetahui kebutuhan korban, kemudian penanganan dan pendampingan. Untuk situasi darurat yang membutuhkan pertolongan medis, tahapan asesmen bisa dilompati terlebih dahulu. Pada situasi pandemi seperti saat ini sebagian besar pelayanan memang hanya dilakukan secara daring menggunakan berbagai media sesuai kebutuhan korban. Pada akhirnya, penting bagi tiap lembaga pengada layanan untuk berkolaborasi dalam mengoptimalkan pendampingan korban KBG.

Digitalisasi dan Pengawasan sebagai Strategi Evaluasi dan Monitoring Kasus dan/atau Penyintas KBG 

Dalam proses pelayanan, hal yang tidak kalah penting tetapi sering terlupakan adalah proses evaluasi dan monitoring para penyintas KBG. Beberapa penyedia layanan memiliki jadwal evaluasi internal yang dilakukan secara berkala. Hal ini bertujuan untuk memahami perkembangan serta penanganan kasus yang masih berjalan. Tidak jarang proses ini melibatkan pihak yang dibutuhkan untuk membantu pelayanan korban, tokoh agama misalnya. 

Selain evaluasi internal, ada pula pengawasan yang dilakukan oleh dinas yang membawahi lembaga pengada layanan milik negara seperti P2TP2K. Pengawasan ini dilakukan enam bulan sekali bahkan ada evaluasi tingkat provinsi.

Digitalisasi dokumentasi layanan akan sangat membantu untuk melakukan monitoring dan layanan kasus akan lebih memudahkan (diawasi). Ini tidak mahal, karena banyak volunteerism untuk melakukan digitalisasi.

(Dian Indraswari, Direktur Yayasan Pulih)

Sementara itu untuk proses monitoring, LRC KJHAM bekerja sama dengan media untuk memastikan kasus yang sedang ditangani turut mendapat pengawasan dari masyarakat. Selain media, Dian Indraswari menekankan pentingnya digitalisasi dokumentasi layanan. Hal ini bisa dilakukan dengan mudah dan murah serta sangat bermanfaat sebagai sistem tracker ketika pengada layanan menerima komplain. 

Pada akhirnya, dari semua pembelajaran yang dibagikan oleh masing-masing peserta, memang pengadaan pendampingan korban KBG bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai tantangan menghadang, tetapi hal ini sama sekali tidak menyurutkan semangat para pendamping untuk menemani korban dan membantunya berproses sebagai penyintas. Semoga melalui pelaksanaan lokakarya ini, pengadaan layanan pendampingan korban kekerasan KBG dapat lebih optimal, terutama setelah terlaksananya perumusan kurikulum dan modul pendampingan korban KBG oleh Perempuan Berkisah.