Sebetulnya, tidak perlu terlalu jauh membahas childfree, pilihan perempuan untuk berpendidikan, menikah, bercerai, bahkan memiliki banyak anak pun tetap rentan mendapat stigma dan penghakiman. Perempuan berpendidikan dianggap akan membuat laki-laki takut mendekati, menikah cepat dicibir menikah saat matang pun tetap dilabeli–perawan tua misalnya. Jadi, terbayang, bukan penghakiman yang akan dialami perempuan saat memilih untuk childfree? Apa pun pilihan hidupnya perempuan memang rentan dihakimi, dilabeli, dan ditelanjangi kemanusiaannya demi sesuatu yang disebut kodrat.
Sebetulnya, saya masih gamang untuk menyebut diri saya sebagai penyintas. Jika KBBI mendefinisikan penyintas sebagai orang yang dapat bertahan hidup, maka, ya saya mampu bertahan hidup. Secara sadar, saya pun merasa bahwa saya telah memaafkan situasi buruk yang pernah saya alami di masa kecil, menurut saya, tetapi entah menurut jiwa saya.
Saya adalah anak perempuan yang tidak mengenal ayah kandung saya. Orang tua saya memutuskan mengakhiri pernikahan, bahkan sebelum saya bisa mengingat wajah dari sosok yang di dalam diri saya, terdapat bagian dari dirinya. Setelah perceraian, ayah saya menghilang dan sempat sekilas muncul dalam hidup saya saat saya kuliah hanya untuk menghilang kembali. Tolong jangan baca beberapa kalimat sebelumnya dengan dramatis karena saya menuliskannya dalam kondisi tersenyum dan datar saja. Saya tidak terluka, lagi-lagi menurut saya, karena saya malah bersyukur tidak perlu mengingat banyak hal tentangnya hanya untuk merasakan kehilangan pada sosoknya. Meski saya merasa baik-baik saja, ada beberapa kondisi yang saya rasakan dari pengalaman tersebut yang ternyata memengaruhi hidup saya hingga dewasa dan memiliki dua anak.
Dalam kondisi memiliki dua anak balita, saya cukup mudah terpicu mengalami ledakan emosi. Pernah suatu hari, saya menyakiti diri sendiri hanya karena tidak terima suami mengeluh saya kerap membuang buah dan tidak menyediakannya untuk anak-anak. Untuk hal sesederhana itu saya merasa diserang, merasa cara saya mendidik anak direndahkan oleh orang yang seharusnya mendukung saya. Saya marah dan sedih sekali bahkan memukuli diri sendiri dan baru berhasil ditenangkan ketika suami meminta maaf dan melihat dua anak saya menangis ketakutan.
Ada banyak kondisi lainnya yang cukup mengkhawatirkan, misalnya rasa tidak berharga, rasa tidak bernilai jika tidak bisa memberikan sesuatu dalam relasi, rasa tidak enakkan dan tidak bisa berkata tidak meski sebetulnya saya keberatan. Itulah sekilas gambaran yang terjadi pada saya, yang mungkin dipengaruhi kehilangan figur ayah dan akumulasi pengalaman kurang menyenangkan lainnya. Secara jangka panjang, kondisi ini tentu juga berpengaruh pada anak-anak saya. Saya berusaha mati-matian memutus mata rantai rasa sakit ini dan tidak menurunkannya kepada anak-anak, tetapi prosesnya tidak selalu mulus. Saya pun cukup menyesal tidak melakukan proses penyembuhan diri sebelum menikah dan punya anak.
Berkaca pada kondisi pribadi, saya sadar betapa beratnya tanggung jawab memiliki dan mendidik anak. Bahkan saya yang merasa baik-baik saja ternyata bisa menjadi demikian sengsara hanya karena terpicu oleh hal-hal sederhana yang kemudian memengaruhi anak-anak saya. Itu sebabnya, saat ramai isu childfree di media sosial serta pro kontra yang mengikutinya, saya hanya bisa merenungkan kondisi saya sendiri dan memilih tidak buru-buru merespons. Saya mengukur kondisi pribadi dan kapasitas diri sebagai orang tua yang masih butuh banyak belajar mengenai anak dan pengasuhan. Tentu saya butuh argumen jika ingin mendukung ataupun menolak childfree. Itu sebabnya, butuh perjalanan panjang sebelum tulisan ini lahir. Mulai dari sesi perenungan yang diselingi bacaan terkait isu, ditambah pemahaman baru yang saya dapatkan dari sesi Ngaji KGI bersama Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.
Childfree atau Pernikahan Bebas Anak
Childfree merupakan pilihan untuk tidak punya anak dalam sebuah hubungan pernikahan. Pilihan ini merupakan gaya hidup yang diambil oleh pasangan suami istri secara sadar dan penuh keyakinan. Kondisi ini berbeda dengan childless, yakni pasangan suami istri yang karena beberapa hal menyebabkan mereka belum dikaruniai anak. Sehingga, jangan buru-buru memberikan penghakiman bahwa pasangan yang tidak memiliki anak adalah penganut pilihan hidup childfree.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh pasangan yang memilih untuk childfree di antaranya terkait faktor finansial, reproduksi, psikologis, hingga masalah lingkungan, dan konflik kemanusiaan.
Memiliki anak memang menuntut adanya tanggung jawab finansial yang besar. Melansir artikel yang diterbitkan Tirto.id pada tahun 2016, estimasi biaya yang dibutuhkan orang tua untuk membesarkan seorang anak hingga usia 21 tahun mencapai 2,94 miliar! Angka tersebut merupakan perkiraan biaya kebutuhan dasar yang dibutuhkan sejak anak lahir hingga lulus pendidikan tinggi. Jika mempertimbangkan kondisi perekonomian yang fluktuatif, terutama inflasi dan pandemi, ada kemungkinan angka tersebut semakin tinggi saat ini.
Terkait alasan reproduksi, penting untuk memahami panjangnya pengalaman reproduksi perempuan dalam mempersiapkan diri untuk memiliki anak. Pada sesi Ngaji KGI yang saya hadiri, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. menjelaskan perbedaan potensi dampak biologis hubungan seksual yang dialami oleh laki-laki dan perempuan.
Dalam hubungan seksual, laki-laki hanya mengalami satu dampak, yakni keluarnya sperma. Pada perempuan, potensi dampak biologis dari hubungan seksual ada 29 tahapan, di antaranya dampak saat terjadinya hubungan, sesudah berhubungan, prakehamilan, hingga pascakehamilan seperti tampak pada tabel di bawah ini.
29 Dampak Biologis Hubungan Seksual Pada Perempuan
Perubahan bentuk selaput dara, | Keluarnya bayi, |
Lecetnya vagina, | Perubahan ukuran vagina, |
Terpenuhinya vagina dengan sperma, | Luka pada vagina, |
Perubahan kandungan air seni, | Jahitan pada luka, |
Perubahan kondisi hormon, | Potensi luka akibat operasi persalinan sectio caesarea, |
Ngidam, | Jahitan persalinan sectio caesarea, |
Kontraksi kehamilan, | Pendarahan nifas, |
Keberadaan janin, | Kontraksi nifas, |
Perubahan ukuran rahim, | Mengecilnya rahim, |
Perubahan ukuran perut, | Mengalirnya ASI, |
Naiknya berat badan, | Pembengkakan payudara, |
Sering buang air kecil karena kandung kemih yang tertekan rahim, | Lecet pada puting, |
Kontraksi persalinan, | Koma, |
Pendarahan, | Kematian |
Keluarnya air ketuban, |
Alasan psikologis dari dipilihnya pernikahan bebas anak juga tidak dapat dianggap remeh. Semrawutnya konsep keluarga, kegagalan pengasuhan, terutama lemahnya posisi perempuan dalam pernikahan yang sering dianggap sebagai objek, telah banyak menimbulkan trauma bagi perempuan dan anak. Kondisi ini membuat banyak pasangan tidak ingin mengulangi trauma tersebut kepada anaknya kelak hingga memilih untuk menjalani pernikahan tanpa anak.
Terakhir, pilihan untuk childfree dilakukan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan pada umumnya. Masalah kerusakan alam, kepadatan penduduk, pencemaran lingkungan, hingga konflik dan peperangan, suka tidak suka memang dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah manusia di muka bumi ini. Dalam carut-marut kondisi ini, pertimbangan tidak memiliki anak bisa menjadi pilihan. Orang tua tentu tidak ingin buah hati yang telah dibesarkan dan dicintai sepenuh hati hidup kelak mesti hidup di tengah kondisi dunia yang serba tidak aman dan nyaman.
Sementara, faktor eksternal semacam itu bukanlah hal yang dapat dihindari oleh orang tua mana pun. Proteksi terhadap kemungkinan dari kondisi-kondisi tersebut membuatnya menjadi salah satu alasan yang memperkuat pilihan childfree dalam pernikahan.
Saya pun mengalami hampir semua kondisi di atas sebagai perempuan dan sebagai ibu. Secara finansial, ada banyak hal yang mesti saya siapkan untuk kebutuhan dan pendidikan anak. Di sisi lain, setelah memiliki anak saya juga ingin membersamai tumbuh kembang mereka dan memilih untuk bekerja di rumah saja. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua perempuan memiliki privilese untuk bisa tetap berpenghasilan sambil mengurus anak. Padahal, tanggung jawab membesarkan mereka suka atau tidak suka membutuhkan banyak biaya.
Mengikuti Ngaji KGI, saya pun baru menyadari betapa panjang proses reproduksi yang sama alami dan bisa saya katakan, sebagian besar menyakitkan. Saya yang dua kali menjalani persalinan sectio caesaria pun masih mengalami rasa sakit pada bekas jahitan dan bekas suntikan bius di tulang belakang. Belum lagi kondisi psikologis yang saya alami karena pengalaman masa kecil ditambah hamil sambil menjalankan kondisi pernikahan jarak jauh.
Kini, setelah memiliki dua anak pun saya masih dihadapkan dengan pelbagai tantangan pengasuhan. Di komunitas menulis, saya bertemu anak usia sekolah yang sudah terpapar pornografi dan tidak jarang melihat balita yang sudah kecanduan internet dan ponsel pintar. Semua faktor eksternal tersebut tidak bisa diabaikan karena memang sulit membesarkan anak di tengah situasi yang tidak pernah ideal. Saya pun tumbuh dalam situasi tidak ideal yang suka tidak suka berpengaruh pada diri dan pola asuh saya, meski sudah mati-matian saya coba untuk sembuhkan.
Perempuan dan Penghakiman pada Pilihan Jalan Hidupnya
Bicara mengenai isu childfree, penting untuk melihatnya dari sudut pandang perempuan. Selain karena faktor panjangnya proses reproduksi perempuan yang telah dijelaskan sebelumnya, penghakiman pada pilihan untuk childfree kerap dialamatkan kepada perempuan. Isu ini pun mulai heboh ketika salah seorang publik figur perempuan menyatakan bahwa ia dan pasangannya memilih untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka. Banyak kalimat sumbang terdengar, tetapi kalimat yang menyerang banyak tertuju kepada sosok perempuan yang dianggap menolak kodrat sistem reproduksinya sebagai pemilik rahim.
Kondisi ini menunjukkan bahwa di era modern pun, kesadaran akan kemanusiaan perempuan masih bermasalah. Nilai perempuan hanya disorot dari kepemilikan rahim dan fungsinya untuk memiliki anak. Hak perempuan atas tubuhnya sama sekali tidak penting. Sejak zaman jahiliyah, perempuan memang tidak dianggap manusia.
Kualitas perempuan dinilai dari kemolekan paras dan fisik yang lagi-lagi menggunakan sudut pandang laki-laki. Ketika peran perempuan berubah menjadi istri, perempuan menjadi objek seksual serta alat reproduksi suami. Sebagai objek, hubungan seksual dilakukan hanya demi kepentingan suami dan kepuasan perempuan tidak menjadi soal. Rasa sakit akibat proses reproduksi yang tertera pada daftar panjang pun dianggap kewajaran semata.
Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm (Ulama Perempuan Indonesia dan Founder Ngaji Keadilan Gender dalam Islam (KGI))
Ketika sebagian atau seluruh fungsi perempuan tersebut dilanggar diikuti oleh keberanian perempuan menyuarakan hak atas tubuhnya, perempuan dihujat dengan dalih menolak kodrat. Sebetulnya, tidak perlu terlalu jauh membahas childfree, pilihan perempuan untuk berpendidikan, menikah, bercerai, bahkan memiliki banyak anak pun tetap rentan mendapat stigma dan penghakiman. Perempuan berpendidikan dianggap akan membuat laki-laki takut mendekati, menikah cepat dicibir menikah saat matang pun tetap dilabeli–perawan tua misalnya. Jadi, terbayang, bukan penghakiman yang akan dialami perempuan saat memilih untuk childfree? Apa pun pilihan hidupnya perempuan memang rentan dihakimi, dilabeli, dan ditelanjangi kemanusiaannya demi sesuatu yang disebut kodrat.
Childfree, Kesetaraan, dan Hak Tubuh Perempuan
Penghakiman semacam ini menunjukkan bahwa perjalanan menuju kesetaraan masih jauh dari harapan. Padahal menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., laki-laki dan perempuan adalah individu yang setara di dalam Islam. Islam sebetulnya memandang manusia sebagai makhluk independen, lahir seorang diri dan akan kembali kepada Tuhan sendirian, termasuk perempuan. Karena itu, bukan hanya laki-laki yang berhak menikmati sistem kehidupan (perkawinan, keluarga, reproduksi), tetapi perempuan juga.
Pemilik tubuh perempuan adalah perempuan sendiri. Perempuan tidak boleh lagi digunakan hanya sebagai alat pemuas nafsu dan alat reproduksi. Jika ingin bereproduksi, perempuan berhak untuk turut mengambil keputusan yang mesti dihormati. Setiap pasangan suami istri pun punya kewajiban bekerja sama untuk mewujudkan kemaslahatan, mencegah kemungkaran dan mudarat, baik di rumah maupun di dalam masyarakat.
Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm (Ulama Perempuan Indonesia dan Founder Ngaji Keadilan Gender dalam Islam (KGI))
Untuk itu, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. menegaskan bahwa pilihan untuk childfree atau tidak mesti mesti diambil berdasarkan ketakwaan pada Allah. Suami istri yang ideal bukan berarti memiliki banyak anak, tetapi suami istri yang bisa menjadi tim terkuat untuk berproses bersama menjadi individu terbaik di hadapan Allah. Kualitas pasangan suami istri ditentukan oleh takwa sehingga ada atau tidaknya anak dalam pernikahan mesti menjadi daya dorong bagi individu dalam pernikahan untuk menjadi versi terbaik dirinya atas dasar iman dan kemaslahatan umat.
Jika punya anak bisa menghasilkan umat yang memperluas kemaslahatan di muka bumi, maka punya anak merupakan keputusan yang bijaksana. Namun, jika anak dilahirkan tanpa persiapan matang, gagal mendidiknya menjadi generasi berkualitas, memiliki anak justru bisa jadi kezaliman. Anak pun bisa berpotensi menjadi fitnah atau ujian dunia selain sebagai penyejuk jiwa. Penting untuk mengukur kemampuan diri sebagai calon orang tua agar bisa mendidik anak yang berkualitas.
Pada akhirnya, memiliki anak (atau tidak) mesti menjadi keputusan bersama, terutama perempuan, karena perempuan yang akan menjalani masa reproduksi yang panjang sebagai konsekuensi dari hubungan seksual. Pasangan suami istri mesti saling bergaul dengan bermartabat, termasuk dalam hubungan seksual dan keputusan reproduksi. Suami istri pun mesti saling rida satu sama lain atas keputusan tersebut dan meyakini bahwa rida Tuhan akan didapatkan dari rida pasangannya.
Sudahkah Berkaca Sebelum Menghakimi?
Sebelum mengakhiri tulisan panjang ini, saya hanya ingin berkaca pada diri sendiri lewat beberapa pertanyaan refleksi. Sudahkah saya lebih baik dibandingkan mereka yang memilih untuk childfree? Pantaskah saya menghakimi mereka yang memilih menggunakan hak pada tubuhnya sendiri? Mampukah saya menjadi manusia yang lebih bermanfaat dan mendidik anak-anak saya menjadi generasi berkualitas melebihi mereka yang lantang menyuarakan pilihan hidupnya sendiri? Jawabannya, jelas tidak, tidak, dan belum tentu.
Pada akhirnya, setiap peran yang dipilih punya tanggung jawab masing-masing di hadapan Tuhan. Punya anak atau tidak punya anak sama-sama memiliki tanggung jawab sebagai hamba-Nya. Karena pada akhirnya, seluruh pilihan hidup manusia akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya, bukan kepada sesama manusia.
Saya pun telah merasakan dampak dari trauma pada diri dan pengasuhan anak-anak saya. Karena itu, rasanya tidak pantas saya menghakimi pilihan perempuan lain atas tubuhnya dan pilihan hidupnya.