Tindakan Tepat Ketika Menyaksikan Kekerasan Seksual

Tindakan Tepat Ketika Menyaksikan Kekerasan Seksual

Salah satu alasan mengapa orang-orang jarang bertindak saat menemukan kekerasan seksual di ruang publik adalah adanya fenomena bystander effect, yaitu suatu pemikiran dalam segi psikologi sosial di mana saat seseorang  tengah membutuhkan pertolongan, namun orang-orang di sekitarnya terlihat enggan membantu karena merasa takut atau lebih memilih menunggu orang lain  untuk membantu korban terlebih dahulu. Nah sebelum membahas tindakan yang tepat ketika kita menyaksikan kekerasan seksual, pahami dulu apa itu kekerasan seksual di ranah publik dan privat.

Kekerasan Seksual di Ranah Publik dan Privat

Pada tahun 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual. Bahkan dalam sebuah survei yang dilakukan beberapa tahun lalu, Kota Jakarta masuk dalam jajaran 10 kota besar dengan kasus kekerasan seksual tertinggi di dunia dan termasuk salah satu kota besar yang paling tidak aman untuk perempuan. Fenomena kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia saat ini tentunya akan terus  menghantui para korban—terutama perempuan dan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi setiap tahunnya. Dalam Catatan Tahunan milik Komnas Perempuan, terdapat 299.911 kasus kekerasan seksual yang telah terjadi pada tahun 2020. Data pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan pun mengalami peningkatan drastis selama masa pandemi sebanyak 60%. Kekerasan ini termasuk dalam ranah publik maupun privat. 

Sejak awal, Perempuan Berkisah memiliki tekad untuk terus menyuarakan dan meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat akan pentingnya edukasi mengenai kekerasan seksual. Salah satu upaya yang dapat kami lakukan adalah dengan menghadirkan Nike Nadia—founder komunitas Help Nona dan Anindya Restuviani selaku program director Jakarta Feminist dan Co-director Hollaback Jakarta dalam sebuah pelatihan advokasi bertema “Kekerasan Seksual Di Ranah Publik dan Privat.”

Kekerasan Seksual Tidak Hanya Berupa Pemerkosaan

Sebelum sesi diskusi dimulai, Anindya Restuviani selaku pembicara mengungkapkan keresahannya mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Anindya menambahkan bahwa kekerasan seksual di ranah publik merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling sering dianggap remeh dan jarang dibicarakan, padahal pelecehan seksual—apapun bentuknya sangat berdampak besar pada kesejahteraan dan keberlangsungan hidup perempuan. 

Dikutip dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Hal ini semakin menegaskan bahwa kekerasan seksual memiliki pengertian yang cukup luas dan tidak melulu soal pemerkosaan saja. Di ruang publik sendiri, bentuk-bentuk pelecehan yang dapat terjadi pun beragam seperti adanya komentar seksis, siulan, komentar tubuh, main mata, dll. Namun sayangnya, masih banyak masyarakat menganggap bahwa kekerasan seksual hanya dapat terjadi apabila terdapat kontak fisik antara korban dan pelaku, padahal tanpa adanya sentuhan pun, pelecehan seksual dapat terjadi dan tentunya akan memiliki dampak tersendiri. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai isu inilah yang akhirnya membuat Anindya  dan Nike semakin gencar untuk terus membahas masalah ini.

Kekerasan Seksual Juga Dapat Terjadi di Ranah Privat

Selain di ruang publik, kekerasan seksual juga dapat terjadi pada ranah personal/privat. Hal ini dibuktikan dengan adanya data pada CATAHU Komnas Perempuan tahun 2020 yang telah mencatat sekitar 75% kasus kekerasan perempuan terjadi pada ranah personal. Nike Nadia, selaku salah satu narasumber pada diskusi kali ini menambahkan bahwa ranah personal masih menjadi ranah yang paling beresiko bagi perempuan. 

Nike menjelaskan bahwa kekerasan di ranah privat dapat meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP), serta bentuk kekerasan berbasis gender lain yang hubungan antara korban dan pelakunya berada dalam ranah personal. Bentuk-bentuk kekerasannya pun beragam, seperti; pengaturan cara berbusana, ditunjukan konten intim tanpa persetujuan, diminta untuk melakukan gaya hubungan seksual yang tidak diinginkan, adanya kontrasepsi paksa, pemaksaan aborsi, penyebaran konten intim non-konsensual, dll.

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual di ranah privat yang sering terjadi adalah kasus perkosaan yang dicapai tanpa adanya kekerasan fisik. Ini termasuk dalam salah satu kasus yang berpotensi terkendala untuk diproses hingga ranah litigasi karena limitasi pasal yang ada saat ini. Hal ini mengakibatkan kurang terakomodirnya pengalaman korban yang mengalami perkosaan tanpa kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Akibatnya, korban tidak dapat mengakses perlindungan hukum atas pengalaman kekerasan yang dialaminya. Oleh karena itu, penting sekali untuk merefleksikan upaya reformulasi hukum perkosaan berbasis narasi pengalaman serta membangun mekanisme preventif penghapusan kekerasan seksual melalui peningkatan kesadaran masyarakat tentang isu kekerasan seksual yang tentunya harus memiliki nafas kesetaraan dan keadilan.

Nike Nadia

Tidak berhenti di situ saja, kekerasan seksual dalam ranah privat pun dapat menyerang korbannya secara online atau biasa disebut dengan KBGO (kekerasan berbasis gender online). Bentuk-bentuk KBGO yang paling sering terjadi di ranah privat di antaranya adalah cyberstalking, online harassment, distribusi konten intim non-konsensual, pemalsuan profil, pencemaran nama baik, alterasi foto dan video, peretasan, dan sextortion (ancaman penyebaran foto-foto intim).

Salah satu potret khas kekerasan seksual di ranah privat yaitu adanya ketimpangan relasi kuasa dan timbulnya keinginan pelaku untuk terus memiliki dan menguasai korbannya. Nike mengungkapkan betapa sulitnya masyarakat untuk mengenali apa saja yang termasuk dalam perilaku kekerasan seksual karena tertutupi oleh banyaknya kompleksitas dan minimnya pelaporan kepada pihak yang berwenang.  Padahal, pelecehan seksual dalam bentuk apapun dapat membuat orang merasa tidak nyaman dan merasa terancam. Bahkan kekerasan seksual yang dilakukan secara verbal nantinya dapat berkembang menjadi kekerasan secara fisik. Berbagai kompleksitas kekerasan seksual dalam ranah privat lainnya adalah:

  • Munculnya stigma suka sama suka yang akhirnya berujung pada victim blaming  dan bungkamnya korban.
  • Terkhusus perempuan, kerap dianggap/dibebankan dengan simbol-simbol kesucian, bahwa perempuan harus menjaga konsep keperawanan, dll. 

Dampak Kekerasan Seksual di Ruang Publik dan Privat

Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapapun dan dimanapun. Kekerasan seksual yang terjadi tentu memiliki dampak yang cukup besar bagi para korbannya. Dalam segi psikologis, Anindya memaparkan bahwa korban dari kekerasan seksual akan cenderung mengalami depresi/trauma berkepanjangan, kecemasan berlebih, dan gangguan mental lainnya. 

Permasalahan ekonomi pun biasanya akan muncul. Bahkan, tidak sedikit korban kekerasan seksual lebih memilih untuk berhenti dari sekolah maupun tempat mereka bekerja dikarenakan rasa takut dan rasa malu yang  dimiliki. Beberapa dampak buruk lainnya adalah timbulnya masalah  kesehatan reproduksi, dan adanya pembatasan ruang gerak yang akhirnya membuat kualitas hidup menurun. 

Metode 5D Untuk Mencegah Kekerasan Seksual

Salah satu alasan mengapa orang-orang jarang bertindak saat menemukan kekerasan seksual di ruang publik adalah adanya fenomena bystander effect, yaitu suatu pemikiran dalam segi psikologi sosial di mana saat seseorang  tengah membutuhkan pertolongan, namun orang-orang di sekitarnya terlihat enggan membantu karena merasa takut atau lebih memilih menunggu orang lain  untuk membantu korban terlebih dahulu. Namun, masih ada alasan lainnya mengapa  kebanyakan masyarakat merasa takut untuk sekadar mengulurkan tangan kepada para korban pelecehan seksual, misalnya:

  • Takut akan menjadi korban selanjutnya
  • Tidak mau ikut campur
  • Tidak paham apa yang sebenarnya terjadi
  • Takut akan memperburuk situasi
  • Merasa hal tersebut tidak berbahaya

Anindya menuturkan, saat ini komunitas Hollaback Jakarta telah memiliki strategi sosial yang dilakukan untuk mencegah atau menghentikan kekerasan seksual di ruang publik yang meliputi tempat kerja, transportasi umum, institusi pendidikan, dll. Strategi ini disebut juga dengan 5D’s bystander intervention atau 5D intervensi pelecehan. 

Sebagai bystander (saksi), kita harus tahu bagaimana cara yang tepat dalam bertindak saat  pelecehan seksual terjadi. Karena selama ini tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa melakukan intervensi terhadap pelaku dapat dilakukan dengan banyak cara seperti metode 5D di bawah ini:

  • Dialihkan, sebagai bystander, kita tidak harus secara langsung berbicara atau melawan si pelaku. Cara lain yang dapat kita lakukan adalah dengan mengalihkan perhatian pelaku saat kejadian tersebut berlangsung.
  • Dilaporkan, mintalah pertolongan kepada pihak-pihak berwenang seperti satpam, guru, supir bus. Kamu juga bisa menawarkan bantuan kepada korban jika mereka mau menghubungi/melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi.
  • Dokumentasikan,  merekam insiden  pelecehan seksual dapat membantu para korban. Namun, tetap perhatikan kebijakan dalam mendokumentasikan kejadian tersebut, ya. Anindya serta Nike kompak memberikan beberapa tips dalam pendokumentasian kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik yaitu dengan menjaga jarak, kemudian rekamlah tanda-tanda di sekitar yang dapat mengidentifikasikan lokasi dan waktu kejadian, lalu berikan dokumentasi tersebut kepada korban ataupun pihak berwenang untuk kemudian dijadikan sebagai barang bukti.
  • Ditenangkan, setelah insiden berlalu, tanyakan keadaan korban, apakah korban membutuhkan bantuan lebih lanjut atau tidak. Jangan menghakimi korban dan berikanlah ruang kepada mereka untuk bercerita.
  • Ditegur, tegurlah pelaku secara tegas dan jelas.

Selain metode 5D dalam menghadapi pelaku kekerasan seksual, ada pula 3 strategi penting dalam merespon pelecehan seksual yang dikemukakan oleh Anindya yaitu dengan memercayai insting dan juga kata hati kita saat itu. Anindya menambahkan bahwa tidak pernah ada respon yang ‘benar’ atau ‘paling pas’ saat kita menghadapi pelecehan seksual. Karena apapun yang kita lakukan dan respon apapun yang kita keluarkan saat terjadinya pelecehan adalah valid. Bahkan sebuah riset menunjukan bahwa memberikan sebuah respon dapat mengurangi rasa trauma yang kita miliki.

Anindiya Vivi

Strategi kedua adalah dengan merebut kembali ruang yang kita miliki. Jika kamu memutuskan untuk memberikan respon terhadap kejadian ini, maka katakanlah dengan tegas kepada pelaku untuk segera menghentikan tindakan pelecehan tersebut karena hal ini telah merugikanmu dan melanggar hak-hak yang kamu miliki. 

Strategi yang terakhir dan wajib untuk dilakukan adalah melatih ketangguhan diri. Memang benar, terdapat banyak sekali ketakutan dan juga rasa tidak nyaman ketika kita harus mengakui atau berbicara mengenai pengalaman tidak menyenangkan tersebut. Namun, jangan pernah menganggap bahwa pelecehan seksual ini terjadi karena adanya kesalahan dari dirimu sendiri, ya. Sebaliknya, ceritakan hal ini kepada orang-orang yang dapat kamu percaya, kemudian tarik nafas dalam-dalam dan ingatlah bahwa kamu adalah manusia yang kuat dan berdaya.

Rapid Psychological First Aid Sebagai Bantuan Pertama Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Beberapa cara mendampingi orang yang tengah mengalami pelecehan seksual adalah dengan memberikan Rapid Psychological First Aid atau pertolongan pertama secara psikologis.  Mendukung dan membangun solidaritas, memvalidasi pengalaman korban, menjaga rahasia korban dengan baik, memberikan ruang aman agar korban dapat bercerita dengan nyaman, kemudian menemani dan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa menghakimi merupakan beberapa rangkaian bantuan yang dapat kita tawarkan kepada penyintas kekerasan seksual.

Dengan melalui banyaknya proses dan perjalanan, jangan lupa untuk terus menanamkan mindset bahwa sampai kapanpun pelecehan seksual bukanlah salah dari para korban melainkan pelaku itu sendiri. Oleh karenanya, penting sekali untuk terus mengedukasi diri dan orang  di sekitar mengenai permasalahan ini karena sejatinya, isu kekerasan seksual adalah isu yang harus kita lawan bersama. Walaupun kamu tidak pernah mengalami suatu pelecehan, bukan berarti isu ini tidak pernah ada. Mungkin saja salah satu teman atau orang terdekatmu pernah mengalaminya. Jadi, jangan pernah mengecilkan perasaan dan menghakimi mereka yang tengah bangkit dari rasa trauma, ya, karena setiap bentuk pelecehan seksual tentunya akan sangat membekas dan meninggalkan luka dalam diri mereka.

Dengan hadirnya bincang diskusi kali ini, kami selaku tim Perempuan Berkisah berharap segala bentuk kekerasan seksual yang selama ini tertutup begitu rapat dapat semakin terbuka dan mendapatkan lebih banyak perhatian dari publik. Mari kita lawan kekerasan seksual secara bersama-sama dan bantu para penyintas untuk terus melanjutkan hidupnya dengan baik karena setiap individu tentunya memiliki daya untuk berproses pulih dari segala rasa trauma yang ada. 

Jika saat ini kamu sedang merasa terancam dan membutuhkan bantuan dalam melawan kekerasan seksual di ruang publik maupun privat, silakan kunjungi laman carilayanan.com atau dapat juga menghubungi layanan psikologi, layanan hukum, layanan kesehatan & kesehatan reproduksi, layanan rumah aman, komunitas/support group di kotamu, dan akses keadilan terkait lainnya seperti Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polda atau Polres terdekat. 

Sumber: 

  1. Pelatihan Advokasi Tim Perempuan Berkisah Jabodetabek bersama Help Nona dan Hollaback Jakarta dengan tema “Kekerasan Seksual di Ranah Publik dan Privat.”
  2. Komnasperempuan.go.id (5/3/2021), CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci. 

Simak diskusi dan tanya jawab tentang pembahasan ini di video webinar kami berikut ini :