Disclaimer: Triger Warning!
Ini adalah catatan pembelajaran bagian ke-1, dari proses pelatihan yang diikuti oleh penulis dalam Program Covid-19 Mental Health Psychoeducation (Online Peer Suicide Crisis Intervention) bersama Yayasan Insan Teman Langit (Into The Light Indonesia): Sebuah Refleksi Memberdayakan Pikiran Menjadi Caregiver
Akhir pekan lalu Yayasan Insan Teman Langit (Into The Light Indonesia) telah mengadakan pelatihan daring Program Covid-19 Mental Health Psycoeducation (Online Peer Suicide Crisis Intervention) Batch I, untuk komunitas-komunitas yang telah terdaftar.
Sebelum pelatihan dimulai, seluruh peserta diberikan pre-test guna mengukur sejauh mana peserta memiliki wawasan dan pengetahuan tentang Rawat Diri, Active Listening, Welas Diri, Gangguan Depresi dan Cemas. Pada pre-test yang menggunakan google forms ini peserta diberikan waktu kurang lebih 30 menit untuk mengisi seluruh pertanyaan yang berkaitan dengan tema dalam pelatihan. Beberapa pertanyaan juga meliputi soal pengalaman peserta sehari-hari.
Istilah-istilah Baru Sebagai Caregiver
Kegiatan pelatihan dibuka oleh Pendiri dan Pembina Into The Light Indonesia, Benny Prawira Siauw, sekaligus juga pemateri untuk tema Rawat Diri dan Active Listening di hari pertama, dan Welas Diri di hari kedua. Pemateri di hari kedua dibantu juga oleh Kak Dicky Sugandi yang memberikan materi tentang Gangguan Depresi dan Cemas. Dua hari pertama pelatihan ini cukup banyak memberikan insight dan proses mendalami diri sendiri, tentu saja sebagai teman pendamping sebaya, atau bisa disebut juga dengan caregiver.
Beberapa istilah yang digunakan terasa asing bagi peserta yang bukan berasal dari latar belakang pendidikan psikologi, konseling, maupun yang memiliki pengalaman pendampingan. Namun Kak Benny selalu mengatakan bahwa sebenarnya siapa saja bisa menjadi teman pendamping, siapa saja bisa menjadi pendengar yang baik, dan melakukan pendampingan bagi orang lain yang membutuhkan, baik itu korban, maupun penyintas, selama mereka bisa menjadi orang yang aktif mendengarkan dan selalu memposisikan diri sebagai teman pendamping, bukan psikolog klinis yang mampu memberikan diagnosa.
Permainan Ringan & Efektif
Pelatihan untuk program ini terbilang cukup lama dengan durasi jadwal pelatihan dari mulai pukul 10.00-15.00 WIB dengan jeda waktu istirahat makan siang di jam 12.00-12.45 WIB, biasanya 15 menit sebelum mulai masuk materi siang, panitia memberikan games ringan untuk peserta melalui platform Kahoot, misalnya permainan tebak judul film dari cuplikan gambar, dan permainan tebak lagu dari pembacaan lirik.
Selain permainan ringan yang efektif memberikan kembali semangat dan membangunkan peserta dari rasa kantuk di siang hari, panitia juga selalu mengingatkan peserta selama pelatihan apabila ada peserta yang merasa ada ke-tidak nyaman-an yang dirasakan atau ter-trigger, maka bisa masuk ke dalam break out room dengan beberapa teman konselor dari panitia untuk mendapatkan konseling dari teman panitia.
Beberapa pembahasan materi, pemutaran film pendek tentang keluarga korban bunuh diri, praktek ringan untuk latihan nafas-release, latihan grounding, breathing, latihan welas diri, self-care dan beberapa contoh kasus terkadang bisa memicu traumatik dan rasa tidak nyaman bagi peserta.
Ruang Aman & Nyaman
Selama pelatihan Kak Benny juga selalu mengingatkan bahwa dalam pelatihan ini peserta berada di safety learning zone, kalau sampai ada peserta di panic zone Kak Ben mempersilakan untuk take a break. Pun ketika ada peserta yang merasa bahwa pelatihan ini justru memberatkan dirinya, maka peserta diperbolehkan untuk tidak melanjutkan rangkaian pelatihan.
Ruang aman dan nyaman adalah sebuah prioritas yang tidak dapat diganggu gugat. Beberapa peserta ada yang kemudian masuk ke ruang break out untuk take a break karena proses latihan Welas Diri dan pada saat materi Gangguan Depresi dan Cemas. Sama halnya ruang aman yang selalu dibangun oleh Perempuan Berkisah baik di dalam grup WA, maupun ketika ada pertemuan daring, atau agenda sharing session.
Pada pelatihan hari pertama peserta diberikan pengenalan materi tentang, apa itu teman pendamping, bagaimana menjadi teman pendamping, dan mengapa kita sebagai teman pendamping penting untuk melakukan pengenalan atas diri sendiri dan mendalami soal rawat diri sebelum menjadi pendengar yang aktif.
Rawat Diri
Dalam materi Rawat Diri peserta diminta untuk merasakan berbagai hal yang ada di sekitar peserta pada saat pelatihan berlangsung, ini sekaligus mengaktifkan indera perasa peserta, untuk mengamati benda, merasakan bau, mendengar sesuatu, merasakan permukaan benda, dan merasakan potongan makanan kecil dari segi rasa, tekstur, dan bentuk selama di lidah, sebelumnya peserta diminta untuk menyediakan beberapa camilan berupa kacang atau pilus atau makanan dengan potongan kecil untuk dirasakan secara perlahan pada sesi ini.
Hal-hal ini tentu saja memberikan banyak pencerahan dan pengalaman bagi peserta, tak hanya pemberian materi, peserta juga diberikan waktu untuk praktek bersama dengan peserta lain agar dapat memberikan umpan balik dengan refleksi pendengar dan mengamati bagaimana perasaan pembicara.
Praktinya seperti ini; peserta dibagi menjadi beberapa kelompok, dalam satu kelompok terdiri dari tiga peserta, kemudian dalam satu kelompok tersebut satu orang menjadi pembicara (orang yang bercerita/curhat), satu orang menjadi pendengar yang aktif, kemudian satu orang lagi menjadi observer untuk mengamati perasaan pembicara.
Peserta juga secara bergantian mengikuti latihan ini selama tujuh menit. Kemudian di akhir waktu memberikan hasil diskusi dan review tentang percobaan bersama tadi. Di sesi ini juga teman panitia tidak bosan untuk mengingatkan peserta soal ruang konseling untuk mereka yang mungkin merasa tidak nyaman setelah bercerita maupun mendengar cerita orang lain.
Begini Cara Menjadi Pendengar Aktif
Meskipun di awal peserta sudah diberitahu untuk tidak menceritakan hal-hal yang memicu rasa dan hanya cerita yang ringan saja. Latihan ini melatih bagaimana menjadi pendengar yang aktif sebagai teman pendamping.
Menjadi pendengar yang baik tidak serta merta hanya mendengarkan keseluruhan cerita saja, tetapi juga memperhatikan perasaan pembicara, mendengarkan tanpa menghakimi, tanpa memberikan asumsi, dan tanpa merasa tersaingi dengan ceritanya, dalam arti tidak merendahkan apa yang yang sedang dia rasakan.
Pendengar aktif selalu memposisikan diri sebagai teman pendampingnya, menghadirkan diri kita ada untuk dia, mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan tanggapan dan umpan balik dengan memberi validasi atas perasaannya dan memberi ucapan terimakasih karena dia telah memberikan kepercayaan kepada kita untuk mendengarkan ceritanya. Tetapi kita tidak harus selalu memberikan saran kepadanya, berikan hanya ketika dia meminta saja.
Kak Benny memberikan penekanan pada makna ‘dengar’ dengan ‘mendengarkan’ atau dalam Bahasa Inggris ‘hear’ dan ‘listen’. Dua istilah ini memiliki makna yang berbeda dalam konteks sebagai teman pendamping. Jangan sampai ketika kita mendengar, kita malah berada dalam lamunan kita sendiri saking terhanyut dengan cerita dia.
Sementara ketika kita berada dalam kesadaran kita sebagai teman pendamping, kita mendengarkan dia, tidak hanya mendengarkan keseluruhan cerita, tetapi juga memperhatikan perasaan, gestur, emosi, dan sebagainya tentang pendengar.
Dalam mendengarkan aktif ini juga kita sebagai teman pendamping akan dekat dengan yang namanya rasa jenuh, mungkin juga muak, ketika dia bercerita tentang ceritanya yang berulang-ulang, ini bukan lagi menjadi tantangan sebagai pendengar tetapi sudah menjadi fase sendiri bagi teman pendamping untuk tidak hanya melatih kesabaran tetapi juga memonitor dan mengikuti bagaimana dinamika teman kita yang sedang menjadi bercerita.
Dengarkan Secara Menyeluruh Cerita Mereka
Di lain hal, kita semua sepakat pengalaman adalah guru kehidupan. Kita pun mungkin juga sepakat bahwa mereka yang memiliki pengalaman akan jauh lebih bijak dalam menyikapi sesuatu. Padahal, tidak semua pengalaman bisa dilalui oleh setiap individu dengan proses yang sama.
Pengalaman seseorang yang telah berhasil melalui fase beratnya tidak akan sama dengan pengalaman orang lain, meskipun kadang memiliki nilai perasaan yang sama. Proses untuk melaluinya akan berbeda-beda. Kita dilarang keras membandingkan proses seseorang dengan yang lain. Begitu juga ketika ada yang bercerita kepada kita soal kisahnya.
Dengarkan secara keseluruhan cerita mereka, jangan malah merasa ‘tersaingi’ kemudian malah membandingkan. Percayalah, kita tidak benar-benar tahu apa yang sedang orang itu rasakan dan alami. Posisikan diri kita sebagai teman yang ada untuk dia dan mau mendengarkan secara aktif.
Gak Semua Orang Butuh Dinasehati
Terkadang, ada orang yang mungkin hanya sedang ingin bercerita untuk didengarkan saja, tetapi sebenarnya dia tidak ‘hanya’ ingin didengar, ketika seseorang bercerita, dia memiliki banyak alasan di belakangnya yang kita tidak pernah tahu, dan kita tidak boleh memberi praduga dan berasumsi. Dia ingin berbagi kisahnya.
Ketika kita memberikan refleksi maupun umpan balik, terkadang kita mendapat pertanyaan balik atau pernyataan balik yang justru memicu ketidaknyamanan pada diri kita. Contohnya, “Kamu belum pernah merasakan soalnya.. “.
Pada saat mendapatkan jawaban atau umpan balik dari seseorang yang melemparkan kembali perasaan tersebut lalu muncul ke-tidak nyaman-an dalam diri kita, itu adalah hal yang wajar, ambil nafas dulu, soft landing dulu. Akui saja kita memang belum pernah merasakan hal-hal yang saat ini sedang dia rasakan. Akui saja bahwa ketidaktahuan kita sebagai ajakan untuk membersamai-nya. Menyadari bahwa diri sendiri juga bukan Google atau Wikipedia yang tahu segalanya.
Berikan Validasi
Hal-hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kamu memberikan validasi atas perasaannya dan memberikan kalimat yang afirmatif, misalnya dengan, “Iya, aku memang belum pernah merasakan, aku tidak tahu rasanya, jadi, yuk sama-sama kita cari tahu, kita belajar mencari tahu, dimana letak tidak sesuainya, supaya nanti kalau sudah sama-sama tahu kita bisa diskusi”. Membuat proses seseorang bercerita menjadi nyaman untuk semua merupakan salah satu peran dari teman pendamping.
Dulu, ketika mendengar kalimat tersebut, pasti ada perasaan panas, dan ada emosi yang menyertai. Sekali lagi itu wajar. Kita semua punya apa yang namanya kendali atas diri, kita punya batasan diri, kita sendiri yang mengetahui sampai mana batasan diri kita.
Kalau memang kita sedang tidak benar-benar punya waktu untuk mendengarkan cerita seseorang atau mungkin kita sedang burn out juga, dan mungkin tangki curhat kita sedang penuh-penuhnya, maka sebaiknya, kita tunda untuk mendengarkan curhatan.
Kita tidak bisa selalu ada untuk orang-orang, kita tidak selalu harus jadi orang yang permisif. Tidak semua teman pendamping nyaman dengan kontak erat selama 24 jam, maka letakkan apa yang namanya batasan diri. Batasan diri ini termasuk dalam materi ‘Welas Diri’.
Sisi welas diri, ada yang lembut ada yang tangguh, jangan sampai kehilangan keseimbangan antara kedua welas diri ini. Kita semua pun berjuang untuk ini. Welas Diri atau Self-Compassion: Self-Kindness, Common Humanity, Mindfulness. “Menyadari bahwa kita adalah manusia, menerima batasan diri kita sendiri, menyadari bahwa kehidupan memang begitu adanya.
Maka lebih banyak memberi membuat kesadaran ke diri sendiri, apakah itu sudah mencakup kemanusiaan kita sendiri”, kalimat ini disampaikan oleh Kak Benny, yang kemudian mendapatkan banyak reaksi cinta dari para peserta.
Baca update kelanjutan dari catatan pembelajaran saya dengan klik nama saya di bawah judul, semua catatan pembelajaran saya dapat dibaca di kumpulan tulisan saya.