Tiga Pilihan Sikap Penyintas Kehamilan Tidak Direncanakan

Tiga Pilihan Sikap Penyintas Kehamilan Tidak Direncanakan

Perempuan yang akan hamil dan melahirkan. Perempuan pula lah yang akan membuat pilihan. Apakah akan menikah dengan bapak biologis janin? atau memilih mengurusnya sendirian tanpa menikah dengan bapak biologisnya? Atau, memilih Rumah Aman atau shelter khusus bagi perempuan penyintas Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD)?

Dia yang berkorban, dia pula lah yang membuat pilihan untuk masa depannya. Dia berdaya dengan pilihannya. Dia adalah Nana Husna, perempuan penyintas kehamilan tidak direncanakan (KTD) yang memilih melahirkan dan mengurus anaknya sendirian. Dalam catatan pembelajaran ini, tiga pilihan sikap di atas bisa diambil oleh penyintas KTD berdasarkan pengalamannya.

Kehamilan Bagi Perempuan Seperti Pedang Bermata Dua

Terdapat sebuah alasan tertentu mengapa perempuan diberkahi Tuhan dengan kemampuan untuk membawa dan menghasilkan sebuah kehidupan dari tubuhnya. Dimana bersama dengan karunia tersebut datang pula tanggung jawab, sebuah kewajiban untuk menjaga dan menggunakan berkah yang diberikan sebaik-baiknya.

Kehamilan, layaknya pedang bermata dua, dapat dipandang sebagai anugerah atau petaka bagi sebagian orang. Seorang anak membutuhkan lebih dari makanan sehari-hari dan pakaian di tubuhnya, ia harus dicintai dan mendapat pendidikan yang layak. Adalah sebuah petaka bagi beberapa orang yang belum cukup siap dalam memberikan hal tersebut secara penuh namun telah dikaruniai kehidupan lain yang harus ia jaga. Pun sebuah petaka bagi seseorang untuk lahir dan tumbuh pada lingkungan yang belum siap merawatnya.

Dilansir dari Kompas.com (09/2020), terdapat 420.000 kasus kehamilan yang tidak direncanakan pada tahun 2020. Fakta ini menandakan bahwa lebih dari 400.000 perempuan Indonesia mendapati tubuh dan agenda hidup mereka harus berubah dalam sekejap. Belum lagi menghadapi stigma keluarga dan masyarakat yang tidak semuanya manis. Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) masih dirasa tabu bagi masyarakat Indonesia. Penyintas dari peristiwa ini seringkali kesulitan menemukan dukungan yang ia butuhkan, sedangkan beberapa dari mereka belum cukup stabil baik secara mental maupun finansial untuk menghadapi semua perubahan yang ada di hidup mereka saat ini.

Tapi nasi telah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Tarik napas panjang, izinkan diri sendiri untuk merasakan segala gejolak emosi yang datang, namun jangan lupa untuk tetap memberi pribadi waktu agar menjadi lebih tenang dalam berpikir. Merenungi apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi kejadian ini. 

Tiga Pilihan Sikap Penyintas Kehamilan Tidak Direncanakan

Dalam sebuah diskusi berbagi pembelajaran bersama para perempuan penyintas KTD yang diselenggarakan oleh Komunitas Perempuan Berkisah. Diskusi yang diselenggarakan pada Sabtu, 27 Maret 2021 ini menghadirkan narasumber penyintas dan pendamping, yaitu Husna Fauziah yang merupakan orang tua tunggal penyintas KTD dan Koordinator Divisi Pemberdayaan Perempuan Berkisah Jabodetabek. Lalu, ada Poppy R. Dihardjo, Penggagas Pentas Indonesia, pendamping perempuan penyintas dan ibu tunggal. Serta, An Nisaa Yovani, Koordinator Litbang Samahita Bandung dan Pendamping Perempuan Penyintas KTD.

Diskusi selengkapnya dapat disimak melalui rekaman video ini di Youtube “Perempuan Berkisah”

Nana Husna sebagai salah satu penyintas KTD mendapat kesempatan untuk mengungkapkan kisah nyatanya bagaimana dia berusaha bangkit dan berdaya sebagai penyintas KTD. Ada tiga pilihan sikap penting yang menurut Nana perlu dipahami oleh para penyintas KTD. Beberapa di antaranya sebagai berikut:

Pertama, menikah dengan sang ayah dari janin

Kedua, menjadi orang tua tunggal

Ketiga, menitipkan anak pada mereka yang mampu mengurusnya atau melakukan aborsi

Menikah dengan Ayah dari Janin

Menjalani hidup dengan orang lain, memikul beban yang ada bersama – sama, dan tetap saling menghormati sampai akhir membutuhkan lebih dari sekedar cinta. Sebuah pernikahan membutuhkan kedewasaan dan kematangan. Sungguh rumit bagi seseorang untuk menentukan apakah ia telah memiliki sifat-sifat tersebut, sehingga beberapa pasangan yang telah menjalankan bahtera pernikahan menemukan diri mereka tak siap. Dan adalah sebuah kesalahan besar untuk berpikir bahwa adanya buah hati mampu mengatasi ketidaksiapan orang tua. Seperti yang telah dikatakan oleh sejumlah penyintas KTD,

‘Pernikahan adalah salah satu solusi, namun bukan berarti satu-satunya jalan keluar yang tepat untuk kehamilan tidak direncanakan.

Annisa Yovani, Pendamping Penyintas KTD Samahita Bandung

Tanggung jawab tidak dapat dipaksakan. Sakit memang, mengingat bahwa perempuanlah yang menanggung segala keputusan dan tetek bengek dari aksi yang jelas dilakukan oleh dua orang. Akan tetapi sebuah pemaksaan akan pernikahan dan kelahiran janin pada waktu yang sama hanya akan menghasilkan rumah tangga tanpa pondasi kewajiban yang kokoh dilaksanakan. Butuh kesungguhan dari kedua belah pihak untuk tetap bertahan pada kata – kata mereka, setiap harinya, dalam merawat apa yang telah mereka bangun bersama.

Menjadi Orang Tua Tunggal, Ketika Pasangan Enggan Bertanggung Jawab

Para penyintas dengan pasangan yang enggan bertanggung jawab seringkali memilih untuk menjadi orang tua tunggal. Dengan pilihan ini, orang tua dapat membebaskan dirinya serta sang anak dari kemungkinan relasi beracun. Melindungi tidak hanya dirinya sendiri, namun juga anaknya. Meskipun begitu, beban yang harus ditanggung oleh orang tua tunggal adalah miliknya sendiri. Termasuk memberikan pemahaman pada anaknya kelak mengapa ia dilahirkan pada keluarga yang sedikit berbeda dibandingkan orang lain.

Selain itu, terdapat pula kemungkinan beban moral baik terhadap penyintas maupun janin yang dilahirkan ketika lingkungan mereka masih memandang skeptis seorang anak yang dibesarkan sendirian. Hal ini dikarenakan budaya patriarki dinilai dapat memberikan perspektif kurang baik terhadap wanita hamil tanpa adanya pernikahan ataupun sosok laki – laki yang mendukungnya. 

Aborsi Aman atau Menitipkan Anak di Rumah Aman (Shelter)

Sedang bagi sebagian penyintas yang merasa kurang mampu dalam mengasuh seorang anak atau memiliki kondisi kesehatan yang tidak mengizinkannya melalui proses melahirkan, aborsi ataupun menitipkan bayi tersebut kepada tempat berlindung (shelter) adalah salah satu pilihan.

Dengan meminta bantuan pada shelter, perempuan penyintas KTD dapat memastikan bahwa anak yang ia lahirkan akan memiliki cukup nutrisi, lingkungan tumbuh yang baik, serta pendidikan yang layak. Shelter sendiri juga menyediakan konseling untuk mereka yang mengalami KTD, termasuk jika ia membutuhkan dukungan dalam proses kehamilan sampai dengan melahirkan janin tersebut.

Penyintas KTD Membutuhkan Dukungan, Bukan Sekadar Sindiran atau Cemoohan

Penyintas KTD membutuhkan lebih dari sekedar sindiran atau cemooh atas apa yang menimpa mereka. Mereka membutuhkan dukungan, dan waktu dalam menentukan pilihan terbaik tidak hanya untuk janin dalam kandungan, namun diri mereka sendiri. Meskipun akan sulit menghapus stigma atas peristiwa KTD dalam sekejap, namun penting bagi sosok yang mengalami hal tersebut untuk mampu berpikir jernih mengenai apa yang ia inginkan. Diri seorang puan adalah prioritas, hal ini karena perempuanlah yang seringkali menjadi sosok pertama atau bahkan satu – satunya dalam menghadapi sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Tidak peduli berbagai macam pihak yang berusaha mengambil alih keadaan semata – mata karena berpikir bahwa mereka lebih tahu atau dapat membantu, keputusan harus datang dari sisi wanita yang menanggung semuanya.

Dia yang Berkorban, Dia yang Membuat Pilihan.

Selaras dengan judul artikel, perempuan akan selalu menjadi pihak yang terdampak oleh Kehamilan Tidak Direncanakan. Dan oleh sebab itu, mereka juga yang patut memilih jalan seperti apa yang akan dilalui selanjutnya.

Sumber:

  1. Diskusi Publik oleh Perempuan Berkisah dengan judul “Berbagi Pengalaman Kehamilan Tidak Direncanakan”
  2. Kompas.com (24/09/2020), “Kehamilan Tak Direncanakan Naik di Tengah Pandemi, Ini 6 Imbauan BKKBN” oleh Gloria Setyvani Putri.