Bukan sekadar memberikan ruang aman bagi para anggotanya, komunitas Save Janda juga memiliki sistem member support member di dalamnya. Sesama anggota tentunya tidak hanya saling mendengarkan namun juga turut membantu setiap permasalahan yang ada.
Mutiara Proehoeman, Founder Komunitas Save Janda
Saat mendengar kata “Janda”, tidak sedikit orang mendeskripsikannya dengan konotasi negatif dan tidak menyenangkan. Bagi beberapa orang, menjadi janda mungkin adalah suatu hal yang sangat menyeramkan, karena banyaknya stigma dan label yang selalu disematkan di dalamnya. Menjadi perempuan berstatuskan janda memang bukanlah suatu perkara yang mudah, apalagi dalam budaya masyarakat kita yang masih kental akan nilai-nilai patriarki.
Beban Janda Semakin Berat Ketika Memiliki Anak
Beban yang dipikul para perempuan berstatus janda pun akan semakin berat apabila mereka telah bercerai dan memiliki anak. Mungkin, hal ini dikarenakan adanya sebuah konstruksi sosial dan budaya yang selalu menganggap bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang mampu bertahan dalam pernikahannya. Padahal, menyandang status janda bukanlah sebuah cita-cita ataupun harapan bagi semua perempuan.
Munculnya stigma dan pandangan buruk terhadap janda inilah yang akhirnya membuat banyak perempuan merasa malu untuk mengakui akan status yang dimiliki dirinya. Perlu digaris bawahi bahwa menjadi seorang janda bukanlah sebuah aib yang harus ditutupi.
Sama dengan manusia lainnya, seorang janda pun tentunya memiliki hak yang sama; untuk terus merdeka dan berdaya tanpa perlu merasa takut ataupun malu akan status dan kehidupannya sendiri. Namun, kata-kata menyakitkan seperti janda nakal, janda genit, janda gatal, dan penggoda suami orang sudah terlanjur melekat sejak lama. Bahkan, tidak jarang pula perempuan berstatuskan janda ini dijadikan sebagai objek seksual secara verbal maupun non verbal. Maka tidak heran, banyak anggapan bahwa janda adalah status yang sangat hina dan menakutkan.
#SaveJanda Memutus Rantai Stigma Negatif Janda
Banyaknya stigma negatif mengenai status janda di Indonesia membuat kami berpikir bahwasanya sampai kapanpun hal seperti ini tidak boleh dinormalisasi. Maka dari itu, pada tanggal 18 Juli 2021, tim Perempuan Berkisah berkesempatan untuk mengajak Mutiara Proehoeman—seorang founder komunitas Save Janda sekaligus divisi pemberdayaan komunitas Perempuan Berkisah Jabodetabek dalam sebuah diskusi ringan yang dilangsungkan dalam sebuah live Instagram. Diskusi yang dipandu oleh Rizkya Rifda Hidayat selama satu jam ini mengangkat kembali isu mengenai status janda dan segala ketidakadilan di sekitarnya.
Sebelum sesi diskusi dimulai, Mutiara menjelaskan secara singkat mengenai profil komunitas Save Janda yang telah dibangunnya beberapa tahun terakhir.
Save Janda merupakan sebuah komunitas yang bertujuan untuk meminimalisir stigma dan label negatif pada janda serta memberikan ruang aman bagi para janda untuk dapat saling berbagi dan menguatkan tanpa perlu takut merasa dikecilkan ataupun dihakimi.
Mutiara Proehoeman
Untuk saat ini, komunitas Save Janda tidak hanya terdiri dari para janda saja, namun ada pula mantan janda dan para sahabat janda yang akan siap menerima cerita maupun keluh kesah dari anggota lainnya. Selain itu, komunitas Save Janda juga memiliki 4 divisi yaitu: divisi event, divisi humas wellness, divisi advokasi, dan divisi edukasi.
Bukan Sekadar Ruang Aman, tapi Juga Sistem Member Support Member
Tidak hanya sekadar memberikan ruang aman bagi para anggotanya, komunitas Save Janda juga memiliki sistem member support member di dalamnya. Sesama anggota tentunya tidak hanya saling mendengarkan namun juga turut membantu setiap permasalahan yang ada. Mutiara menambahkan bahwa di dalam komunitas ini, mereka dapat berdiskusi mengenai apa saja; masalah percintaan, isu-isu yang sedang hangat, masalah reproduksi, hingga persoalan ekonomi, semua anggota dalam komunitas ini bebas berbagi mengenai apapun selama hal tersebut tidak mengandung SARA.
Berdiri sejak tahun 2016, Mutiara menceritakan bahwa komunitas ini mulanya terbentuk secara tidak sengaja karena dirinya pun sejak awal tidak pernah memiliki intensi sama sekali untuk membangun sebuah komunitas. Semua berawal dari sebuah kerjasama yang dilakukan oleh Asep Suaji—seorang Stand Up Comedian sekaligus co-founder komunitas Save Janda bersama Eureka Women. Acara fashion show yang digelar pada saat itu menampilkan beberapa peserta yang ternyata memiliki keresahan yang sama akan stigma mengenai status janda. Semenjak itulah komunitas Save Janda ini semakin berkembang dan memiliki beberapa anggota tetap. Lambat laun, dengan terbentuknya komunitas ini, banyak sekali perempuan berstatuskan janda yang tidak lagi merasa takut dan sendiri.
Pengalaman Tidak Menyenangkan Akibat Stigma Negatif terhadap Janda
Berbagai pengalaman tidak menyenangkan pun pernah dialami Mutiara saat menyandang status janda selama 14 tahun lamanya. Setelah memutuskan untuk bercerai, Mutiara—yang juga seorang penyintas KDRT menyadari bahwa dirinya kerap diperlakukan berbeda dengan perempuan lainnya. Beberapa kali ia menerima label sebagai perempuan murahan serta dianggap tidak mampu mengurus dan mempertahankan rumah tangga sehingga terjadi perceraian, padahal faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian di dunia ini banyak sekali. Bahkan tidak jarang perceraian justru merupakan keputusan terbaik untuk menghindari timbulnya masalah yang jauh lebih buruk lagi. Namun entah mengapa, pihak perempuan lah yang lebih sering disalahkan dalam kasus ini.
Bahkan Setelah Menikah Lagi, Stigma Negatif Masih Melekat
Setelah memutuskan untuk menikah kembali pada tahun 2018, pandangan negatif masyarakat mengenai status mantan janda yang disandang Mutiara saat ini pun seakan-akan terus melekat di dalam dirinya. Suatu hari, seorang kawan pernah terkejut saat mendengar kabar bahwa Mutiara sudah menikah kembali, dengan nada tidak percaya, ia mengatakan bahwa saat ini Mutiara adalah perempuan yang sangat hebat dan beruntung karena sudah menikah kembali dengan seorang psikolog klinis. Miris sekali, seolah olah seorang janda tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan dan partner yang baik setelah mengalami perceraian.
Stereotip mengenai status janda yang berkembang di masyarakat ini tentunya tidak hanya mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi saja, namun juga dapat berimbas pada kondisi psikologis seseorang. Oleh karena itu, terbentuknya komunitas Save Janda ini diharapkan dapat membantu para perempuan untuk berani melawan stigma dan meningkatkan kembali rasa percaya diri di dalam dirinya. Karena faktanya, banyak sekali perempuan berstatus janda yang harus bekerja keras untuk menghidupi diri dan keluarganya namun merasa malu untuk mencari pekerjaan karena terhalang stigma yang ada.
Mutiara pun kembali menegaskan bahwa permasalahan mengenai status janda di Indonesia memang sangat kompleks dan tidak akan ada habisnya. Namun anehnya, diskriminasi dan pelabelan stigma ini jarang sekali berlaku bagi laki-laki berstatus duda. Mengapa stigma janda selalu memiliki tendensi yang negatif sedangkan para lelaki yang telah bercerai kerap diberi label duda keren, kaya, dan sukses? Hal tersebut cukup membuktikan bahwa stigmatisasi terhadap status janda merupakan suatu permasalahan sosial yang berkaitan dengan gender dan moral.
Menyejahterakan Anggota Komunitas Save Janda
Setelah membangun komunitas selama 5 tahun terakhir, Mutiara menjelaskan bahwa saat ini ia memiliki mimpi untuk terus menyejahterakan anggotanya dengan cara menjual berbagai merchandise dan bekerjasama dengan beberapa perusahaan. Mutiara menambahkan, untuk saat ini, komunitas Save Janda tidak hanya terdiri dari perempuan saja namun ada beberapa anggota laki-laki yang turut membantu mengembangkan komunitas ini. Hal tersebut merupakan suatu berita yang cukup baik mengingat masih banyak sekali orang memandang status janda dengan sebelah mata. Mutiara berharap, kedepannya akan semakin banyak orang yang mengetahui bahwa ada sebuah komunitas pemberdayaan terhadap para janda yang tidak hanya menjadikan janda sebagai bahan lelucon saja.
Dalam sesi diskusi yang berlangsung selama satu jam ini, Mutiara juga membagikan sedikit kiat-kiat yang perlu dilakukan sebelum membentuk sebuah komunitas. Mutiara mengatakan bahwa modal awal yang harus dimiliki seseorang untuk membentuk suatu komunitas adalah niat dan passion yang cukup tinggi terhadap isu yang ingin diangkat. Selain itu, memiliki keberanian serta pemikiran yang visioner juga merupakan salah satu hal yang harus diterapkan.
Langkah akhir adalah dengan mencari atau menggandeng orang lain yang tentunya telah memiliki visi dan misi yang sama untuk membantumu dalam membangun komunitas. Mengingat rata-rata para pekerja di sebuah komunitas adalah seorang relawan yang tidak digaji, maka diperlukan orang-orang yang memang memiliki niat dan tujuan yang sama agar komunitas yang akan dibangun dapat terus berjalan dengan baik.
Pentingnya Menjadi ‘Tangan’ dan ‘Telinga’ Sebagai Support System
Komunitas Save Janda memiliki tekad untuk terus bergerak dan menyuarakan visi misi komunitas ini ke khalayak ramai. Mutiara berharap, akan ada lebih banyak lagi masyarakat yang sadar betapa pentingnya menjadi ‘tangan’ dan ‘telinga’ yang siap untuk menangkap dan mendengarkan keluh kesah para janda yang mungkin pernah menjadi korban kekerasan maupun ditinggal meninggal suaminya.
Sebagai penutup diskusi panjang ini, dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang janda bukan berarti hidupmu tidak berarti lagi. Belajar untuk menjadi teman bagi sesama manusia merupakan tugas kita bersama. Yuk, bantu para perempuan berstatus janda untuk pulih dan bangkit dari banyaknya stigma agar mereka dapat melanjutkan hidupnya dengan baik. Sudah saatnya kita menghapus stereotip terhadap janda dan berhenti untuk memandang mereka dengan sangat rendah. Mari edukasi diri dan orang-orang di sekitar kita dan tanamkan mindset dalam diri bahwa semua perempuan di dunia ini tentunya sangat berharga, apapun status yang dijalani mereka saat ini.