Lobi, Negosiasi, dan Pencatatan Kronologi Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Lobi, Negosiasi, dan Pencatatan Kronologi Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan berbasis gender sering dianggap sebagai tindakan suka sama suka dan sulit diproses dengan alasan tidak ada pasalnya atau tidak ada saksinya. Kerugian akibat kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual juga sering dianggap tidak seberapa dan aparat penegak hukum sering mengarahkan pada jalur mediasi.

(Nia Lishayati, LRC-KJHAM)

Sebagai salah satu Ruang Aman Berbasis Etika Feminis, Komunitas Perempuan Berkisah (PB) terus berupaya meningkatkan kapasitas anggotanya. Salah satunya dengan menguatkan kapasitas anggotanya dengan ragam pelatihan secara gratis. Dalam proses pemberdayaannya, PB bekerja sama dengan berbagai lembaga pengada layanan lainnya. Salah satu program tersebut adalah rangkaian pelatihan advokasi dasar yang diadakan sebanyak tiga kali sejak pertengahan Juni lalu.

Setelah sukses mengadakan dua pelatihan sebelumnya, pada 4 Juli 2021, kembali diadakan pelatihan ketiga yang menjadi penutup dari rangkaian pelatihan advokasi dasar ini. Pada pelatihan terakhir ini, Perempuan Berkisah bekerja sama dengan Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) yang diwakili oleh Nia Lishayati.

Sebelum sesi dimulai, Nia memperkenalkan profil LRC-KJHAM yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja bersama kelompok perempuan rentan dan marjinal untuk pemajuan, penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Perempuan di Jawa Tengah. LRC-KJHAM memberikan layanan bantuan hukum, konseling, serta mendorong perubahan hukum dan kebijakan, melakukan penelitian, pendidikan dan monitoring pelanggaran hak asasi perempuan.

Akses Perempuan Korban dalam Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Sebelum membahas mengenai teknik lobi, negosiasi, serta teknik penulisan kronologi kasus kekerasan berbasis gender, Nia membagikan pengalamannya dalam menangani kasus-kasus serupa bersama LRC-KJHAM. Menurut Nia, LRC-KJHAM akan membantu korban kekerasan berbasis gender untuk mendapatkan akses kepada beberapa layanan utama di antaranya layanan konseling, pemeriksaan medis terkait visum, layanan konseling bersama psikolog klinis, bantuan hukum, reintegrasi sosial, hingga rehabilitasi sosial. 

Nia pun membagikan pengalaman serta keresahannya yang masih mengalami kesulitan saat mendampingi proses hukum kasus kekerasan berbasis gender. Seringkali, korban mengalami kekerasan berulang. Di lapangan, masih ditemukan petugas yang menyalahkan korban. Nia mencontohkan pengalamannya menghadapi tenaga medis yang menyalahkan korban kekerasan seksual yang telah mengalami kekerasan berulang. Tanpa memahami kronologi kejadian, petugas mempertanyakan alasan yang membuat kasus tersebut baru dilaporkan atau diperiksakan. Selain itu, dalam menjalani proses laporan di kepolisian juga kerap ditemukan kejadian serupa.

Kekerasan berbasis gender sering dianggap sebagai tindakan suka sama suka dan sulit diproses dengan alasan tidak ada pasalnya atau tidak ada saksinya. Kerugian akibat kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual juga sering dianggap tidak seberapa dan aparat penegak hukum sering mengarahkan pada jalur mediasi. Nia memaparkan bahwa terkait kondisi semacam ini, kita membutuhkan campur tangan pemangku kebijakan untuk proses advokasi kebijakan layanan penanganan kasus kekerasan seksual.

Prinsip Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Berikutnya, Nia pun menjelaskan prinsip penanganan kasus yang selama ini dilakukan LRC-KJHAM yakni non diskriminasi, kerahasiaan, tidak mengadili, empati, egaliter, serta selalu menempatkan korban sebagai pengambil keputusan. LRC-KJHAM tidak membedakan korban berdasarkan suku, agama, ras, budaya, latar belakang, atau kemampuan ekonomi, bahkan orientasi seksual. Sebagai lembaga yang mendampingi korban, LRC-KJHAM juga memastikan tidak terjadi victim blaming kepada korban. Proses pendampingan pun bertujuan untuk mengembalikan korban kepada marwahnya sebagai manusia merdeka. Segala sesuatu atau dokumen terkait kasus selalu diperlakukan dengan sangat rahasia dan hanya diketahui oleh divisi bantuan hukum.

Pada sesi ini, Nia menjelaskan langkah penanganan kasus yang dilakukan oleh LRC-KJHAM. Proses penanganan kasus tersebut adalah:

  1. Identifikasi kasus berdasarkan kronologi awal untuk memetakan kasus, kekerasan berbasis gender atau bukan.
  2. Setelah memastikan bahwa kasusnya memang kekerasan berbasis gender, LRC-KJHAM akan memulai proses pendampingan. Jika bukan kasus kekerasan berbasis gender, LRC-KJHAM akan merujuk ke layanan hukum lainya.
  3. Selanjutnya, LRC-KJHAM akan mulai melakukan konseling. LRC-KJHAM akan menyampaikan informasi mengenai hak perempuan korban, menginformasikan layanan yang dapat diakses korban, menjalankan prinsip penanganan kasus di LRC-KJHAM, serta mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi dalam proses pendampingan kasus. Risiko tersebut terkait keamanan korban, kerahasiaan kasus, serta upaya kriminalisasi yang mungkin terjadi.
  4. Dalam proses pendampingan kasus, LRC-KJHAM dapat melakukannya secara mandiri maupun berjejaring dengan lembaga lain sesuai dengan persetujuan korban. 

Strategi Litigasi dan Non Litigasi

Nia juga membahas strategi penanganan kasus yang terbagi menjadi dua yakni strategi litigasi dan nonlitigasi. Litigasi merupakan proses pelaporan di kepolisian, mengajukan gugatan ke pengadilan, serta laporan disiplin atau kode etik kepada lembaga terkait jika orang-orang di sekitar kasus terkait dengan lembaga negara. Non Litigasi merupakan strategi yang dijalankan lembaga seperti aksi bersama, audiensi dengan pihak terkait, investigasi, melaksanakan press release, urgent action, serta pengaduan ke lembaga terkait. 

Dalam proses penanganan kasus, akan kerap dilakukan proses lobi atau negosiasi. Begitu pun proses penanganan yang dilakukan oleh LRC-KJHAM. Proses lobi bertujuan untuk memperkuat perspektif kepada berbagai pihak terkait untuk memberikan keadilan kepada korban kekerasan. Selain lobi, ada pula proses negosiasi.

Negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan dua pihak untuk mencapai kesepakatan. Tindakan ini sebetulnya jarang dilakukan kecuali korban memang sangat menginginkannya. Karena keputusan terkait kasus ada di tangan korban, pendamping akan membantu proses ini. Teknik lobi dan negosiasi ini diterapkan dalam strategi litigasi dan nonlitigasi atas persetujuan korban. 

Sejalan dengan materi pelatihan advokasi kedua mengenai pencatatan kasus, Nia melengkapi pengetahuan anggota Perempuan Berkisah, terutama tim advokasi, dengan metode penulisan kronologi kasus. Dalam menulis peristiwa yang dialami korban, kita mesti pastikan memenuhi 5W + 1H dengan detail sebagai berikut:

  • Siapa (who): korban, pelaku, saksi
  • Apa (what): alat bukti
  • Kapan
  • Di mana
  • Modus
  • Relasi
  • Dampak

Data untuk melengkapi pencatatan kasus didapatkan melalui proses konseling berkali-kali, bukan tanya jawab yang kaku mengingat kondisi psikologis korban. Teknik konseling tiap korban pun akan berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan korban. Nia mencontohkan jika korbannya anak-anak, ia akan meminta korban untuk menggambar, didahului dulu dengan konseling pada orang tuanya untuk mendapat gambaran umum kasus.

Sementara itu, korban dewasa biasanya akan cenderung bercerita tanpa jeda. Untuk situasi semacam ini, kita tidak dapat menyela demi kebutuhan pencatatan. Solusinya, kita dapat menggunakan alat bantu rekam atas persetujuan korban. Jika tidak memungkinkan, kita dapat meminta korban untuk menuliskan kembali kisahnya. Setelah kronologi siap, pendamping akan memastikan kembali kronologi yang telah disusun kepada korban.

Di akhir sesi, Nia merespons pertanyaan dari beberapa anggota Perempuan Berkisah terkait proses pendekatan pada korban dan mengatasi kondisi korban yang kesulitan untuk berbagi kisahnya. Nia menekankan perlunya proses pendekatan pada korban seperti teman, jangan langsung datang dan nyatakan kita ingin membantu proses advokasinya.

Jika proses pencatatan kasus dirasa masih sulit karena pernyataan korban yang berbelit atau belum stabil kondisi psikologisnya, penting bekerja sama dengan psikolog dalam proses ini agar korban dapat mencapai pemulihan psikologis dan memberi pernyataan dengan sadar tanpa ada yang ditutupi. 

Dengan selesainya pelatihan bertema lobi, negosiasi, dan pencatatan kronologi kasus yang bekerja sama dengan  LRC-KJHAM, tuntas pula rangkaian pelatihan advokasi dasar yang diadakan oleh Perempuan Berkisah dalam rangka memperkuat kapasitas para anggotanya. Diharapkan, Perempuan Berkisah, terutama tim advokasi, yang telah menjalani rangkaian pelatihan ini dapat menjalankan proses advokasi dengan lebih baik dengan menerapkan advokasi berbasis etika feminisme sesuai dengan nilai yang dianut Perempuan Berkisah. 

Silakan menyimak proses Pelatihan Advokasi Kekerasan Berbasis Gender ini melalui video berikut ini: