“Ruang Belajar Bersama”: Gerakan Penulis Amatir Lawan Romantisasi Kekerasan Seksual

“Ruang Belajar Bersama”: Gerakan Penulis Amatir Lawan Romantisasi Kekerasan Seksual

Awalnya saya sempat terkejut, bagaimana ruang baca digital dipenuhi para penulis yang meromantisasi kekerasan seksual. Belum lagi penulisan yang serampangan tanpa memerhatikan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Dalam tulisannya, perempuan dan kelompok rentan lain dijadikan sebagai objek imajinasinya untuk memuaskan mereka yang mengglorifikasi budaya patriarki. Sebagai pendidik bahasa dan sastra, saya tak bisa abai pada fenomena maraknya karya sastra yang dipenuhi pornografi dan mengglorifikasi romantisasi kekerasan seksual.

ERLIN FADHILAH

Saat remaja, menjadi guru bukanlah cita-cita, tetapi ketika saya terjun di dunia pendidikan, saya tahu bahwa inilah panggilan jiwa. Karena itu, tak pernah terbayangkan hari itu akan datang, yakni hari saat diri ini harus berpamitan pada sekolah dan berhenti mengajar entah untuk berapa lama. Keputusan yang sangat berat karena saya begitu menikmati karir ini, tetapi saya tahu ini yang terbaik, demi diri ini, suami, dan kedua buah hati.

“Jalan hidup kerap membawa kita pada persimpangan. Arah tujuan tak melulu menjadi jalan pilihan. Meski terjal dan curam, aku yakin akan bertahan.”

Awal Mula Berkenalan dengan Komunitas Baca Tulis Digital

Kehidupan mengurus rumah tangga penuh waktu pun dimulai. Saya belajar menyesuaikan diri dengan ritme tugas sehari-hari, sejak mata terbuka hingga terpejam di malam hari. Saya bahagia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak dan membersamai pertumbuhan mereka. Namun, ada ruang kosong yang mengganggu di kepala dan hati, ruang kosong yang akhirnya kerap dipenuhi pikiran-pikiran buruk dan rasa rendah diri pada status baru ini–yang bukan siapa-siapa. Tidak, saya sama sekali tak memandang kecil pekerjaan mengurus rumah tangga. Ini semata hanya perasaan rendah diri yang saya alami setelah sebelumnya memiliki karir yang mapan dan tiba-tiba hanya bertugas mencuci wajan. Ternyata, hal tersebut berdampak buruk pada kestabilan emosi saya pribadi. Beberapa kali saya menangis atau meledak marah akibat hal sepele. Saya merasa tak berharga dan kehilangan identitas.

Setelah menjalani konseling, saya disarankan untuk menyalurkan energi pada kegiatan yang lebih positif. Saya pun memutuskan untuk kembali menekuni hobi membaca buku. Ya, membaca selalu menjadi hal terbaik. Entah sejak kapan, kenangan membaca majalah anak selalu lekat dalam ingatan. Toko buku adalah surga dan dunia fiksi adalah ruang aman yang saya punya. Sayangnya, sejak tak bekerja, saya otomatis tak memiliki banyak dana untuk belanja buku yang saya suka. Inilah yang menjadi awal mula perkenalan saya dengan komunitas literasi di media sosial. 

Melalui komunitas tersebut, saya memang mendapatkan banyak karya yang bisa dinikmati secara gratis. Sayangnya, tak semua sesuai ekspektasi. Kebanyakan karya ditulis oleh pemula yang mengharapkan kritik saran dari pembaca. Belum lagi bab yang tercerai-berai dan sulit dibaca kelanjutannya. Hingga suatu hari, saya mendapatkan informasi mengenai platform baca tulis digital. Platform baca tulis digital adalah tempat bagi penulis pemula untuk menyalurkan hobi menulis fiksi. Bagi karya yang terpilih atau disukai banyak pembaca akan mendapatkan kompensasi berupa royalti. Sesungguhnya, kehadiran platform digital merupakan bukti majunya literasi. Pembaca dapat dengan mudah menikmati buku hanya melalui ponsel dalam genggaman, kapan saja, di mana saja. Berbekal informasi inilah saya berkenalan dengan sastra digital dan dunia platform baca tulis yang tak pernah saya sentuh selama ini.

Sayangnya, Banyak Cerita yang Mengeksploitasi Perempuan dan Kelompok Rentan Lainnya

Sungguh bahagia tak terperi membayangkan akan mendapatkan akses baca berbagai novel semudah menjentikan jari. Sayang beribu sayang, firasat tak enak mulai menyergap ketika membaca deretan judul populer di platform tersebut. Judul-judul yang mengeksploitasi perempuan dengan gambar sampul yang menantang terpampang di halaman depan. Saat itu, saya masih berbaik sangka. Saya bahkan sempat berpikir bahwa mungkin saya yang ketinggalan zaman dan ini adalah jenis populer novel masa kini. Namun, lagi-lagi saya tertampar ketika mencoba membaca salah satu novel yang telah dibaca ratusan juta kali. 

Saat melihat jumlah pembaca yang fantastis, sejujurnya saya memiliki ekspektasi tinggi meski judulnya cukup mengherankan. Namun, ternyata saya menghadapi realita baru. 

Novel Asal Jadi dan Ditulis Serampangan

Novel tersebut adalah novel yang boleh dibilang asal jadi. Ditulis serampangan tanpa memperhatikan isi apalagi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Belum lagi bumbu cerita pornografi dalam narasi. Saya terkejut bukan main, seketika pandangan saya tentang bagus tidaknya sebuah karya runtuh saat itu. Karena di luar pendapat saya pribadi, novel tersebut laris manis dan dipuja oleh pembaca. 

Sejak itu, pengembaraan saya di platform baca tulis pun dimulai. Saya mencoba membuka mata pada literasi digital yang selama ini sayup terdengar. Ternyata begini dan seperti ini. Saya teringat hasil tes PISA negara kita yang menyebutkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia hanya bisa membaca aksara tanpa membaca makna. Semua itu bersatu seperti keping teka-teki dan ya, kenyataannya, negara kita darurat literasi. 

“Semua itu bersatu seperti keping teka-teki dan ya, kenyataannya, negara kita darurat literasi.”

Saya pribadi sebetulnya tak suka menulis. Saya benci membaca tulisan saya sendiri. Saya memang punya masalah pada kepercayaan diri. Bukan berarti tak pernah mencoba menulis, saya mencoba beberapa kali, apalagi saya memang berlatar belakang pendidikan Sastra Indonesia. Namun, menurut saya pribadi, hasil tulisan saya selalu menggelikan. Entah karena standar yang saya buat terlalu tinggi tanpa dibarengi kemampuan memadai yang membuat saya berpikir demikian. Intinya, menurut saya, menulis bukan untuk saya. 

Meski kondisi saya dalam menulis kurang menggembirakan, hal sebaliknya justru terjadi saat saya membaca. Saya cinta buku, sejauh yang saya ingat, saya selalu suka membaca dan tenggelam dalam aksara. Saya suka menelaah karya, saya begitu menikmati mengajar sastra, bahkan menafsirkannya. Namun, pengalaman membaca saya di platform digital telah mengubah pandangan saya.  

Akhirnya, Saya Coba Menulis di Platform Digital

Saya pun membulatkan tekad untuk mulai menulis. Tak lagi peduli jika hasilnya menjijikan bagi saya pribadi. Saya menulis karena saya ingin mewarnai platform digital dengan karya yang setidaknya cukup berterima dari sisi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Iya, saya mungkin bukan penulis berbakat yang punya premis cemerlang dan eksekusi cerita yang mengesankan, saya tak memiliki semua itu. Namun, saya mesti ada. Saya mesti meluruskan meski hanya satu hal kecil dari seluruh cerita-cerita bertema seksual atau romantisisasi kekerasan yang bertebaran di platform digital. Saya ingin menunjukkan hal sesederhana posisi meletakkan koma yang tepat. Itu sebabnya, seburuk apa pun karya saya, saya mesti ada. Saya mesti menancapkan peran saya di bidang ini. Sekecil apa pun. 

“Itu sebabnya, seburuk apa pun karya saya, saya mesti ada. Saya mesti menancapkan peran saya di bidang ini. Sekecil apa pun.”

Saya Perkuat Kapasitas Menulis dengan Mengikuti Beragam Pelatihan Menulis

Saya pun mulai mengikuti berbagai kelas menulis. Mulai dari kelas bersama penulis terkenal yang karyanya telah difilmkan, belajar dari editor ternama yang sering bekerja sama dengan penulis hebat di negeri ini, sampai diskusi dengan banyak penulis hebat yang saya temui di platform berbayar lewat kurasi. Semua saya lakukan demi meningkatkan kemampuan menulis saya. 

Saya pun bertemu dengan dua kawan seperjuangan, kawan baik yang akhirnya membentuk grup penulis amatir bersama saya sejak Juli 2020. Di grup tersebut, kami sering berdiskusi tentang ide cerita, teknis menulis, saling memberi masukan pada tulisan, atau sekadar berbagi pengalaman sehari-hari yang membahagiakan. Tak seperti saya, dua kawan baik ini lebih produktif menulis fiksi. Pada mereka, saya sering berbagi ilmu yang saya dapatkan dari kelas berbagai kelas menulis karena saya pribadi masih lebih banyak menulis nonfiksi di media.

Tren Literasi Digital Semakin Diminati, tapi Tidak Mengikuti Kaidah dan Norma

Kedekatan saya dengan dua teman baik di grup penulis amatir ini membuka mata saya lebih lebar tentang dunia baca tulis digital. Melalui cerita-cerita mereka, saya memahami bahwa banyak penulis di platform digital adalah perempuan. Mereka umumnya mengurus rumah tangga dan ingin memiliki penghasilan tambahan meski di rumah saja. Platform baca tulis yang memberikan kesempatan dan penghasilan ini pun menjadi ladang subur. Selama memenuhi syarat jumlah kata yang ditentukan atau menulis sesuai tren yang disukai pembaca, mereka bisa menghasilkan uang. Tak tanggung-tanggung, pendapatan yang dihasilkan bisa sampai jutaan. 

Di satu sisi, hal ini menggembirakan. Namun, di sisi lain, tren literasi digital dengan tulisan yang tak mengikuti kaidah dan norma semakin marak dan diminati. Bahkan, tak jarang bacaan dengan nuansa pornografi dapat dengan mudah diakses anak di bawah umur. Tentu hal ini meresahkan. Tanpa kondisi ini pun tingkat literasi bangsa kita sudah mengkhawatirkan. Apa jadinya jika kondisi ini dibiarkan berkembang?

Kebanyakan penulis perempuan pemula ini tidak melakukannya–menulis konten berbau pornografi atau tak mengindahkan EBI–dengan sengaja. Tak banyak dari mereka yang mendapatkan akses untuk belajar menulis. Apalagi, ilmu kepenulisan adalah barang langka di Indonesia.

Tak banyak pembahasan murah dan mudah diakses. Bahkan sebelum hadirnya platform baca tulis, membaca dan menulis hanya diasosiasikan bagi orang pintar. Selama ini, para penulis pemula tersebut hanya menulis berdasarkan tren yang mereka lihat dan baca. Meski begitu, tak sedikit dari mereka yang ingin berkembang dalam karyanya, tetapi tak tahu harus memulai dari mana.

Inisiasi Membentuk “Ruang Belajar Bersama” bagi Mereka yang Mau Belajar Menulis

Berdasarkan pengamatan tersebut, forum diskusi penulis amatir yang hanya diisi oleh tiga orang pun saya kembangkan. Saya mengajak dua kawan saya dalam grup itu untuk membentuk “Ruang Belajar Bersama” pada akhir Januari 2021. Ruang ini diadakan secara daring lewat aplikasi pesan instan. Berbekal pengalaman saya belajar menulis melalui berbagai kelas, seminar, serta buku-buku juga pengalaman mengajar Bahasa Indonesia selama belasan tahun, saya memberanikan diri untuk berbagi secuil ilmu yang saya miliki. Saya akan membahas topik mengenai teknik menulis dan membagikan rangkuman dari berbagai sumber yang pernah saya pelajari. Tak jarang kami praktik menulis bersama dan mendiskusikan hasilnya. Semua gratis. Saya hanya meminta kawan-kawan yang mengikuti kelas saya untuk memiliki kemauan berkembang dengan menulis cerita-cerita baik.

Biasanya, saya akan mengabari dua kawan saya jadwal kelas dan topik pembahasan tiga hari sebelumnya. Dua kawan penulis amatir saya akan membantu menjadi bagian pendaftaran peserta dan moderator diskusi. Kami membatasi jumlah peserta per sesi maksimal lima belas peserta. Hal ini dikarenakan kami pernah memiliki grup diskusi literasi semacam ini pada September 2020 dengan jumlah anggota cukup banyak, tetapi hal tersebut kurang efektif. Beberapa penulis pemula cenderung malu untuk bertanya karena takut ditertawakan jika pertanyaannya terkesan sepele bagi penulis lainnya. Itu sebabnya dalam setiap sesi, “Ruang Belajar Bersama” ini saya memutuskan hanya diisi oleh sedikit peserta. Dengan metode ini, saya berharap diskusi tersebut bisa menjadi ruang aman untuk berpendapat dan bertanya bagi kawan-kawan penulis pemula. 

Hingga kini, “Ruang Belajar Bersama” masih rutin mengadakan kelas gratis. Terkadang kelas dilakukan seminggu sekali, kadang per dua minggu. Kami pun menambah seorang anggota keluarga dalam ruang belajar ini. Tentu karena kami semua adalah ibu rumah tangga, kami mesti meluangkan waktu khusus dan hanya dapat melakukan diskusi di malam hari setelah kondisi rumah telah memungkinkan. Setidaknya, telah ada kurang lebih 25 penulis alumni kegiatan belajar bersama kami.

Secara pribadi, saya pun sering diminta untuk mengisi pelatihan menulis di beberapa komunitas penulis pemula maupun lembaga, misalnya mengisi pelatihan menulis bersama kawan-kawan Perempuan Berkisah Jabodetabek, seminar mengenai profesi di bidang penerbitan bersama divisi Bahasa Indonesia Mentari Intercultural School, bersama komunitas Let’s Gendong Indonesia, komunitas Famous Writer Club, dan masih banyak lagi.

Dari Ruang Webinar-webinar ke Medsos

Selain ruang belajar yang rutin diadakan di grup berbagi pesan, salah satu rekan saya di ruang belajar turut bergerak mengembangkan komunitas terbuka untuk penulis dan pembaca. Kami, kawan-kawan di “Ruang Belajar Bersama” turut menjadi admin pada grup Facebook tersebut. Diharapkan melalui komunitas yang dibangun di Facebook, semangat yang lahir dari ruang belajar kecil kami dapat terus nyala dan membara dalam skala yang lebih besar lagi. Anggota komunitas di grup Facebook pun terus bertambah dan mencapai jumlah ratusan hanya dalam beberapa hari. 

Tak ada rencana muluk ke depannya, tetapi ruang belajar ini akan tetap berjalan selama sehat masih di badan. Melalui ruang belajar sederhana ini rasanya tak berlebihan jika kami, serta saya pribadi, berharap ada perbaikan yang dimulai dari cerita yang ditulis kawan-kawan yang telah mengikuti sesi belajar bersama. Kelas tanpa biaya juga dimaksudkan agar kawan-kawan alumni ruang belajar dapat kembali berbagi ilmu pada komunitas mereka tanpa merasa sayang. 

Sebagai Pendidik Bahasa dan Sastra, Saya Tak Bisa Abai pada Fenomena Maraknya Pornografi nan Penuh Romantisasi

Ke depannya, saya berharap tiga kawan penulis amatir saya dapat berkembang menjadi penulis cerita baik yang populer dan berpengaruh. Saya pun berharap mereka percaya diri untuk menjadi pemateri berikutnya di ruang belajar ini. Sesungguhnya, mengajar memang membutuhkan ilmu, tetapi yang lebih penting dari ilmu adalah kepedulian untuk berbagi. Seperti Hadis Riwayat Bukhari yang menyebutkan, sampaikanlah walau hanya satu ayat, itulah yang menguatkan dan menjadi pegangan saya untuk tetap berbagi. 

Saya tahu ada banyak cemooh datang pada saya yang bukan siapa-siapa ini, bukan penulis juara tetapi mengajar menulis pada mereka yang produktif berkarya. Sering saya merasa kecil, tapi perasaan itu tak akan pernah habis dan perubahan tak akan pernah ada jika saya hanya berpangku tangan. Padahal saya punya latar belakang pendidik bahasa dan sastra, sungguh saya akan merasa berdosa jika saya abai pada fenomena literasi yang marak pornografi dan penuh romantisasi. Apalagi, di dalamnya cenderung memosisikan perempuan dan kelompok rentan seperti anak sebagai objek kekerasan seksual.  

Selain keterbatasan ilmu menulis, kawan-kawan penulis digital juga mengalami keterbatasan dalam mengakses bahan bacaan berkualitas. Padahal untuk menghasilkan tulisan yang berbobot harus diiringi dengan membaca banyak karya yang luar biasa. Sehingga, salah satu rencana ruang belajar ini ke depannya adalah diskusi karya. Hal ini penting untuk menumbuhkan kreativitas mereka dalam mengasah imaji dan mencari ide cerita. 

Ya, itulah sekelumit kisah tentang “Ruang Belajar Bersama”, sebuah ruang dari penulis amatir untuk amatir yang berharap memberi dampak pada literasi bangsa. Ke depannya, saya yakin literasi digital akan makin marak digunakan. Semoga, dengan gerakan sederhana ini, literasi digital dapat melunturkan cap buruk yang melekat padanya. Saya pun akan terus membantu sebisa saya, semampu saya, demi lahirnya cerita-cerita baik dari tangan penulis-penulis digital masa kini.

‘Ruang Belajar Bersama’, sebuah ruang dari penulis amatir untuk amatir yang berharap memberi dampak pada literasi bangsa.”