Tak Akan Ada “Equality” Tanpa Adanya Kesadaran Akan “Equity”

Tak Akan Ada “Equality” Tanpa Adanya Kesadaran Akan “Equity”

Untuk menuju kesetaraan (equality), maka pastikan dulu apakah kita sudah adil (equity) memetakan kondisi awal mereka yang akan kita perkuat kapasitasnya? Sehingga pijakan dasarnya adalah dengan dimulai menyadari equity terlebih dahulu, lalu setelah itu equality, lalu empowerment. 

Daya, Riset dan Avokasi (DROUPADI Foundation)

Pernah tidak menemukan sejumlah alat bantuan untuk warga, mangkrak di sebuah kantor pemerintahan desa. Alat tersebut berdebu dan fungsinya beralih, bahkan ada juga yang tak berfungsi. Lalu tak jarang warga yang mendapat bantuan pembangunan jamban (WC) dari pemerintah melalui program jambanisasi. Namun, yang terjadi adalah warga tetap saja BAB di sungai, pekarangan atau kolam ikannya. 

Belum lagi para perempuan yang di luar rumah mendapatkan penguatan kapasitas tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan, tapi ketika kembali ke rumahnya, dia tak mampu berkata tidak atas perlakuan tidak adil dari suaminya. Perempuan janda atau perempuan kepala keluarga, yang sudah diperkuat kapasitas dan daya tawarnya, ketika dia telah menikah kembali menjadi istri seseorang, tiba-tiba menjadi sosok yang tak berdaya dan menarik diri dari lingkungan sosialnya. 

Begitu pun remaja, khususnya anak muda perempuan di Indonesia, banyak yang aktif dan peduli pada isu kekerasan terhadap pacaran, namun gagap ketika dihadapkan para relasi toksik dan tak mampu menolong dirinya sendiri, ketika menghadapi pacarnya yang toksik. Sementara anak muda laki-laki (pemuda) yang mengaku lelaki aktivis, gencar bersuara tentang keberpihakannya pada kelompok rentan dan peduli isu perempuan dan HAM, namun di luar itu semua tak jarang mereka sebagai pelaku kekerasan. 

Sering menemukan fakta yang saya sebutkan di atas? Ini baru menggambarkan kelompok marginal tertentu, yaitu laki-laki dan perempuan atau kita sebut dengan binary gender. Belum membahas spesifik tentang non-binary gender, yaitu kebalikan dari binary gender yang hanya ada dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.

Faktanya, di dunia ini ada lebih banyak keragaman dalam hal gender. Manusia tidak hanya terbentuk dari kromosom XX dan XY saja, tetapi ada juga yang XXY atau XO. Orang disebut non-binary kalau identitas gendernya bukan laki-laki ataupun perempuan. Mereka mungkin menganggap dirinya gender fluid (bisa menjadi laki-laki ataupun perempuan), agender (tanpa jender), off the binary (identitas gendernya tidak cocok untuk dikategorikan laki-laki maupun perempuan), atau apapun yang lain. Kadang-kadang, orang-orang non-binary digolongkan dalam kelompok transgender yang lebih luas. 

Mereka yang masuk kategori non-binary, sama-sama mengalami opresi yang bahkan lebih berat, bukan hanya stigma dari masyarakat, namun juga diskriminasi struktural. Opresi merupakan tindakan pemaksaan atau merampas kehendak seseorang untuk melakukan sesuatu dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga dapat membuat seseorang yang berada di bawah opresi merasakan kesengsaraan dan penderitaan. Apalagi, ketika kita melihat kondisi kelompok marginal yang lebih luas, yaitu kelompok transpuan/transwaria, buruh perempuan, difabel, lansia, masyarakat adat, dan sekian kelompok marginal lainnya. 

Menyoal Ketimpangan Gender dan Inklusi Sosial di Indonesia

Kembali lagi pada sekian ketimpangan gender dan inklusi sosial yang masih terjadi di Indonesia. Pertanyaannya adalah apa yang kurang dan atau ada yang kurang tepat dari pendekatan pengarusutamaan gender kita selama ini? Dan sekian ragam pertanyaan lainnya. Menurut Ni Loh Gusti Madewanti, Direktur Eksekutif DROUPADI Foundation, bahkan dalam Laporan UNDP 2020 soal Gender Inequality Index Indonesia hanya berbeda 10 rangking di bawah Etiopia (Afrika).

Laporan The Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis oleh World Economic Forum, mengungkapkan bahwa Indonesia berada di peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0.70. Angka tersebut tidak mengalami perubahan sejak 2018. Kesenjangan yang masih besar adalah dalam partisipasi dan kesempatan ekonomi serta pemberdayaan politik, juga masih menjadi faktor utama yang menghambat kemajuan Indonesia dalam mencapai kesetaraan gender.

Proses FGD DROUPADI Foundation bersama 12 Perwakilan CSO di Yogyakarta yang concern pada isu Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial , di antaranya adalah Komunitas Perempuan Berkisah Yogyakarta, Mitra Wacana, Sapda, Rifka Annisa, Kampung Halaman, IWAYO, P3SY, Srili Jogja, PKBI DIY, Unala, SP Kinasih, dan Yasanti.

Sebuah studi menunjukan bahwa perempuan terhalang oleh berbagai hal, mulai dari keluarga hingga norma budaya. Padahal, studi menunjukan bahwa apabila perekonomian memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki, maka perekonomian itu akan mendapatkan keuntungan dalam produktivitas yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik. 

Kita tahu bahwa Gender Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2000.  Pada tahun 2000, pemerintah telah menetapkan pengarusutamaan gender (PUG) yang tertuang dalam INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Perjuangan untuk mempertahankan kesetaraan gender di Indonesia adalah suatu perjuangan yang masih panjang. 

Menyadari Ketimpangan Sebelum Menuju Kesetaraan

Setiap tahun data indeks kesetaraan gender bisa dijadikan sebagai bukti, juga sekian data versi beragam lembaga dari sisi yang berbeda, baik pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pembelajaran ini saya tulis berdasarkan data wawancara dan focus group discussion (FGD) selama bulan Mei 2021. Dalam mengusung isu kesetaraan gender, Lembaga Daya, Riset, Advokasi untuk Perempuan dan Anak di Indonesia (DROUPADI Foundation) memiliki misi berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk saling menguatkan.

DROUPADI juga mendorong keberagaman, toleransi literasi kritis serta menerapkan prinsip Social Solidarity Economy. Dalam pelaksanaan program-programnya, DROUPADI Foundation bekerjasama dengan Komunitas Perempuan Berkisah (PB), salah satu ruang aman berbasis komunitas untuk program Support Her Empowerment-Girls’ Resilience, Enterprise, and Technology Initiative (SHE’s Great) yang diinisiasi oleh IREX, sebuah organisasi nirlaba internasional yang mengambil peran dalam pendidikan dan pengembangan global untuk tujuan dunia yang lebih adil, makmur, dan inklusif. 

Dalam mempersiapkan pelaksanaan program SHE’s GREAT, PB dan DROUPADI Foundation terlibat dalam menghimpun data suara atau argumen beragam pemangku kepentingan baik dari jurnalis, organisasi masyarakat sipil, maupun pemerintah untuk memberikan argumennya melalui proses wawancara  dan focus group discussion (FGD) dengan ragam civil society organization (CSO) di daerah.

Hasil temuan DROUPADI Foundation tentang ketimpangan gender dan inklusi sosial di Indonesia, di satu sisi memberikan kabar baik dan optimisme tersendiri dalam kerja-kerja sosial di bidang pemberdayaan. Namun, di sisi lain menyadari bahwa masih ada tantangan yang cukup berat untuk melangkah ke depan. Bahkan dalam perjuangan kesetaraan gender dan inklusi sosial, kita kembali mempertanyakan sekian strategi dan pendekatan selama ini. Bahkan dari sekian strategi yang dilakukan, terlintas pertanyaan “Apakah selama ini strategi kita keliru? Tidak tepat?” Meskipun terlintas bahwa apa yang kita lakukan sia-sia, tidak, karena walau bagaimana pun kita sudah melakukan sesuatu dan sadar ada perubahan. 

Dalam wawancara kami dengan salah satu narasumber (identitas sengaja kami rahasiakan demi kepentingan penelitian) yang merupakan seorang peneliti, akademisi sekaligus aktivis yang juga bergerak dalam riset maupun advokasi isu kesetaraan gender dan inklusi sosial, mengatakan bahwa selama ini program untuk mewujudkan kesetaraan gender belum sepenuhnya mempertimbangkan equity, tidak memikirkan pra-kondisi sebelum program tersebut dilakukan. Jika program kesetaraan gender dimulai tanpa mempertimbangkan equity, dan pra-kondisi tidak tercapai, maka sulit untuk mencapai kesetaraan, tetapi ada pra-kondisi yang harus dicapai terlebih dahulu untuk kita bisa mencapai equality

Kita tidak bisa menyamaratakan semua  orang dalam satu fase atau kondisi yang semua orang setara. Misalnya pemberdayaan untuk perempuan di desa pastinya berbeda dengan perempuan di kota. Bahkan meskipun sama-sama desa, kondisi satu desa dengan desa yang lain, termasuk desa tetangga, tidak bisa disamaratakan. Ada kompleksitas yang perlu dipahami. Kesetaraan adalah sebagai goals, namun untuk mewujudkannya kita penting untuk memetakan kebutuhan dasar (basic needs), sebagai pra-kondisinya sehingga kita tidak menyamaratakan segala sesuatu. 

Setiap orang, masyarakat, maupun komunitas di setiap wilayah memiliki lapisan-lapisan masalah yang berbeda. Kesetaraan adalah goals-nya, maka sejak awal perlu memikirkan pra-kondisinya dengan menyadari bahwa kondisi setiap orang itu tidak setara. Oleh sebab itu, untuk menuju kesetaraan (equality), maka pastikan dulu apakah kita sudah adil (equity) memetakan kondisi awal mereka yang akan kita perkuat kapasitasnya? Sehingga pijakan dasarnya adalah dengan dimulai menyadari equity terlebih dahulu, lalu setelah itu equality, lalu empowerment. 

Kata ‘equity‘ (keadilan) memiliki makna ‘sifat adil dan tidak berat sebelah’, sementara ‘gender equality’ (kesetaraan gender) adalah keadaan dimana akses terhadap hak dan peluang tidak terbatas pada perbedaan gender. Menurut ILO (International Labour Organization) konsep gender equity mengacu kepada ‘perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki’. Keadilan ini mencakup perlakuan setara atau perlakuan berbeda tetapi mempertimbangkan hak-hak, manfaat, kewajiban dan peluang. Dengan kata lain, gender equity adalah proses pengalokasian sumberdaya, program, peluang dan pengambilan keputusan secara adil bagi perempuan dan laki-laki. 

Dalam konteks mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi sosial, narasumber tersebut menegaskan bahwa equity di sini adalah basisnya subjek, maka boleh jadi bahkan pada subjek perempuan terdapat pendekatan dan model yang berbeda. Equity itu bukan adil 50/50, karena equity itu means (rata-rata), maka bisa saja dibuat 70/30. Apa yang kita sebut sebagai tindakan afirmatif misalnya, kuota 30% itu bukan diskriminasi, melainkan membuka peluang yang lebih besar. Equity itu basis utamanya ada pada subjek penerima. 

Dari sini, coba kita merefleksikan kembali apa yang kurang dari pendekatan kita dalam upaya mendorong kesetaraan gender  dan inklusi sosial. Misalnya dalam kegiatan pemberdayaan yang saya sebutkan di atas, kita pikir warga yang tidak memiliki jamban dan memilih ‘buang hajat’ di sungai itu tak mampu membeli jamban. Tidak, nyatanya, ketika ada bantuan melalui program jambanisasi, mereka yang sudah dibangun jamban (WC) di rumahnya, tetap saja pergi ke sungai. Jadi problemnya di mana? pahami sudut pandang mereka dan kondisi mereka, bagaimana pemahaman mereka tentang pola hidup sehat, bagaimana dampaknya bagi lingkungan mereka? Dan sebagainya. Begitu pun dalam contoh di bidang lain, misalnya, kondisi di Papua berbeda dengan di Jawa, 70% mereka meningkat kapasitasnya akan beda dengan 70%-nya mereka yang di Jawa. Standar kebahagiaan dan berdaya mereka yang di Jawa akan berbeda dengan mereka di Papua.

Jika sudah mulai dari proses memahami kondisi mereka, kita akan paham bagaimana strateginya dan pendekatannya. Karena kalau start menuju setara itu saja sudah berbeda, maka sampai kapanpun tidak akan bisa setara dengan mereka yang sejak awal atau bahkan sejak lahir sudah memiliki privilese dan berdaya. Sehingga, kita paham apa yang kita ingin capai setelah melihat kondisi kita sendiri. Karena cara memulainya berbeda, maka yang ingin dicapai pun bukan berarti harus sama dengan yang lain. Karena setiap orang, komunitas maupun masyarakat memiliki kondisi sosial, modal sosial dan kebutuhan yang berbeda. Pembahasan ini juga penting menjadi evaluasi dalam kerja-kerja sosial, khususnya dalam upaya mendorong kesetaraan dan keadilan gender dan inklusi sosial. Kadang, kita tanpa sadar menuntut sebuah kesetaraan (equality) tanpa memahami terlebih dahulu equity (keadilan) atas kondisi latar belakang dan beban orang yang kita dorong untuk bergerak menuju setara. Jadi pahami dulu equity, equality, lalu empowerment.

Berhenti Mengukur “Baju” Kita dengan Badan Orang Lain

Kemiskinan itu bukan soal kita kekurangan uang, tetapi ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan potensi diri kita sepenuhnya. Demikian kata Amartya Sen (Peraih Nobel Prize 1998 dan Bharat Ratna, 1999). Berbicara soal kemiskinan itu bukan soal kita mau makan tidak ada uang, karena menurut Amarya Sen, kemiskinan itu bukan soal ada uang atau tidak, tapi soal keberdayaan kita terenggut. 

Dalam program-program pemberdayaan untuk mewujudkan kesetaraan gender, kadang kita begitu mengagungkan pemberdayaan ekonomi. Misalnya bagaimana agar perempuan diperkuat keterampilan dalam bidang ekonomi, tapi lupa bagaimana membangun kesadaran pada diri perempuan bahwa mereka memiliki hak setara dengan lelaki dalam pengambilan keputusan. Sehingga, meskipun secara ekonomi sudah berdaya, namun secara hak dan akses dalam pengambilan keputusan masih dijajah lelaki atau pun sistem patriarki di lingkungannya. DI luar rumah dia terlihat berdaya, tapi di dalam rumah, dia tidak berdaya. 

Pandangan yang menyamaratakan bahwa kelompok marginal itu hanya butuh diberdayakan dari sisi ekonomi, ini adalah pemikiran yang keliru. Apalagi jika sampai menyamaratakan kebutuhan mereka semata soal ekonomi, sehingga tak jarang proses pemberdayaan dimulai dari penguatan ekonomi. Padahal, belum tentu kebutuhan utama mereka saat itu juga adalah ekonomi. Bisa jadi, yang mereka butuhkan adalah penguatan kapasitas bagaimana dia memiliki akses menyuarakan kepentingannya dan hak-hak lainnya. Bukan semata program praktis gender, namun juga strategis. 

Argumen ini bukan hanya berbasis teori, karena faktanya sudah banyak kita rasakan di kehidupan sehari-hari. Begitu pun temuan lapangan dari pembelajaran program-program pemberdayaan. Seperti pengalaman dan pembelajaran salah satu narasumber dari Komnas Perempuan, yang juga salah satu narasumber dalam wawancara kami. 

Kadang kita merasa paling memahami kebutuhan mereka. Kita kurang mau berupaya menggali kebutuhan hakiki mereka itu sebenarnya apa? ekonomi? akses yang setara? support system? penguatan kapasitas atau apa? meskipun sudah banyak pihak yang coba menggali kebutuhan hakiki kelompok rentan, kadang tidak jarang masih ada kesadaran bahwa kelompok rentan itu tidak berdaya. Padahal kelompok rentan bukan berarti mereka tidak berdaya. Mereka sebenarnya berdaya dan telah memiliki suara mereka sendiri. Masalahnya kita siap tidak membuka akses dan peluang yang setara, siap tidak mendengarnya? Termasuk keberdayaan perempuan maupun kelompok rentan lainnya, seharusnya munculnya dari mereka itu sendiri. Bukan memaksakan pikiran dan kebutuhan kita kepada kondisi mereka.

Pentingnya Support System dan Kolaborasi 

Di luar pengaruh budaya patriarki di balik ketimpangan gender dan inklusi sosial, terkadang salah satu tantangan yang sering kita sadari adalah kuatnya persaingan di antara sesama aktivis atau pun penyelenggara program. Sehingga bukan hanya tantangan pada pendekatan pelaksanaan program, namun juga strategi menyebarluaskan pengaruh dan keberlanjutan program. Berdasarkan hasil wawancara dan FGD kami bersama beragam narasumber baik dari aktivis CSO, akademisi (pendidik dan peneliti), perwakilan pemerintah, dan jurnalis, ada beberapa faktor pendukung yang penting menjadi perhatian untuk mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi sosial. Begitupun ketika kita mau memulainya dari anak muda (khususnya perempuan) yang akan diperkuat kapasitasnya dan kembali lagi ke lingkungan sosialnya. 

Beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan adalah pentingnya sistem dukungan (support system) di lingkungan sekitar anak muda perempuan sebagai subjek. Sistem dukungan ini misalnya dari keluarga, komunitas (online maupun offline), stakeholder di lingkungannya dan tentunya dari pemerintah. Di luar soal sistem dukungan, pemahaman pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak untuk sama-sama mendorong kesetaraan gender dan inklusi sosial, juga penting ditegaskan sejak awal. Jangan sampai dalam upaya mendorong kesetaraan gender dan inklusi sosial ini justru terjadi saling sikut dan bersaing antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, antara satu aktivis dengan aktivis lainya. Sehingga sejak awal, pemahaman seperti ini seharusnya sudah selesai. Kita bergerak, bekerjasama dan berkolaborasi, bukan untuk berkompetisi mana yang lebih baik.