Saya berharap perempuan-perempuan tidak berhenti untuk berjuang memperjuangkan dirinya, walaupun diterpa berbagai tuduhan. Omongan miring bisa kita jadikan kekuatan untuk menunjukkan kekuatan kita dalam membangun agensi dan otonomi perempuan.
Dea Safira, Inisiator Ruang Baca Saudari, Dokter Gigi dan Penulis Buku “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki” & “Sebelum Perempuan Bercinta”
Saya selalu ragu ketika saya membuka ruang diskusi yang mana semua orang bisa masuk tanpa terkecuali. Ya tentu saja setiap orang berhak mendapatkan kelompok dukungannya, namun sayangnya saya tidak mampu secara psikis dan emosional untuk menampung semua curahan hati perempuan.
Akhirnya saya memilih untuk menggunakan format ruang baca atau bedah buku untuk mengumpulkan perempuan yang gelisah dengan masalahnya. Tak disangka, format ruang baca ini adalah metode yang tepat untuk membangun kesadaran kritis perempuan.
Bermula dari Diskusi Ruang Baca Virtual
Saya dan Lusty memilih untuk membedah buku Mitos Inferioritas Perempuan karya Evelyn Reed yang diterbitkan oleh Penerbit Independen pada tanggal 15 Januari 2021 dan diselenggarakan oleh Indonesia Feminis dan Perempuan Hari Ini. Dengan modal sewa Zoom sebesar Rp. 45.000 saja, kami mengadakan Ruang Baca tersebut melalui aplikasi Zoom karena kondisi pandemi Covid-19 yang membuat kita harus tetap di rumah.

Untuk dapat mengantarkan buku ini ke audiens, kami menggunakan presentasi untuk memaparkan apa saja yang ada di buku ini dan dibawakan oleh Nolinia, salah satu penggerak literasi. Setelah presentasi oleh Nolinia, seperti biasa kami mengadakan sesi tanya jawab. Dari sinilah kekritisan para peserta yang tergabung mulai muncul dan terlihat. Buku ini membangun kesadaran mereka mengenai asal-usul penindasan perempuan dalam peradaban dan sejarah manusia. Mereka mulai menyadari dan mulai mempertanyakan, bagaimana peradaban manusia yang awalnya berupa klan matriarkal bergerak menuju keluarga inti patriarkal. Apa sih yang membuat kelompok masyarakat yang bentuknya klan berubah menjadi keluarga inti? Apa yang membuat tatanan yang adil dan setara berubah menjadi tatanan yang hirarkis dan penuh penindasan?
Membangun Kesadaran Kritis
Walaupun sebelumya sudah dijelaskan oleh presenter, namun seringkali diksi yang digunakan oleh presenter bisa tidak familiar di telinga para peserta. Namun ini tak seharusnya menjadi masalah karena di sinilah saya dan Lusty masuk untuk menjelaskan dengan bahasa yang awam. Adanya akumulasi kapital atau surplus value dari kekayaan yang ditimbun di masa pertanian, mengakibatkan klan-klan tersebut ingin mempertahankan kekayaan di dalam klannya. Maka tidak heran jika dalam masa ini, masyarakat mulai mengatur dengan membentuk keluarga melalui ikatan perkawinan serta mengatur seksualitas perempuan, untuk memastikan anak yang dilahirkan dari perempuan berasal dari lelaki yang dia nikahi. Dari sini juga lahirlah konsep keperawanan karena saat itu belum ada teknologi untuk memastikan keturunan seseorang.
Pertanyaan peserta datang dari kekritisian dan perhatian mereka dalam menyimak. Sedangkan ketika kita membuat artikel atau membuat infografis, orang akan kesulitan untuk bertanya langsung dengan yang membuat konten atau yang menulis artikel. Akan sulit untuk membuat diskusi dua arah jika hanya mengandalkan visual dan tulisan saja.
Ruang Baca yang membedah buku menjadi ajakan dan jendela pertama, bagi mereka yang belum memiliki kesadaran kritis atau belum memiliki kesempatan membaca buku tersebut.
Pertanyaan yang masuk dari peserta pun sangat beragam. Salah satunya adalah tentang bagaimana menyikapi orang-orang yang menuduh feminis dengan sebutan ateis dan melawan. Adapula yang menanyakan bagaimana menyikapi para perempuan yang mengakui dirinya feminis, tapi masih tidak memahami tentang keuntungan yang mereka dapatkan dari dibesarkan di keluarga kelas menengah dan masih memarjinalkan perempuan-perempuan yang menjadi buruh pabrik. Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan kekritisan mereka tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Ini sangat menarik bagi saya karena ini menunjukkan tentang bagaimana peserta mengimplementasikan pengetahuan yang dia dapatkan untuk memnciptakan perubahan di lingkungannya.
Ruang Berbagi Pembelajaran
Ragam pertanyaan peserta dalam diskusi Ruang Baca bisa menjadi ajang curhat atau sharing tentang apa yang dia alami dalam menciptakan gerakan baru dan berjuang melawan ketidakadilan. Ia membukakan diri kita tentang pengalaman perempuan. Seringkali perempuan mencari validasi dan afirmasi, di sesi inilah validasi dan afirmasi bisa didapatkan. Validasi bukanlah hal yang buruk, karena kita tahu seringkali orang menginvalidasi perempuan dengan berbagai tuduhan untuk membungkam perempuan daripada memilih untuk mendengarkan apa kata perempuan. Afirmasi adalah cara untuk meneguhkan hati seseorang bahwa apa yang dia perjuangkan tidak ada yang salah.
Di sini perempuan-perempuan yang sudah lebih dahulu merasakan penolakan dari keluarga dan lingkungannya karena berani bersuara bisa menjadi panutan dan pendorong bagi perempuan muda lainnya atau perempuan yang masih belajar untuk terus maju dan pantang mundur. Ia bisa memberikan contoh dengan membagikan pengalaman hidupnya serta pemikiran-pemikirannya.
Saya sendiri berkesempatan memberikan dukungan kepada peserta, bahwasannya kita sebagai perempuan akan menerima berbagai tuduhan ketika bersuara dan itulah konsekuensinya. Bukan karena apa yang dituduhkan kepada perempuan itu benar, namun itulah cara untuk membungkam dan memainkan psikologis perempuan untuk mengecilkan dirinya. Konsekuensi dari tuduhan yang dilontarkan harus bisa kita hadapi karena memang itu tantangannya, karena perubahan tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Agggap saja asam-garam dalam perjuangan. Tak perlu merasa berkecil hati, sebaiknya kita tertawakan saja orang-orang yang melontarkan tuduhan itu.
Kenapa tertawa? Karena orang yang melontarkan tuduhan tersebut terhadap pejuang kesetaraan dan keadialan perempuan justru adalah orang-orang yang krisis kepercayaan diri dan merasa terancam dengan eksistensi perempuan yang kuat dan tangguh melawan mereka. Sehingga untuk menjatuhkan lawannya, ia menggunakan permainan psikologis. Jadi buat apa ambil pusing? Ya, kan? Setelah tanya jawab, kita memberikan ruang untuk refleksi para peserta. Momen inilah yang membuat saya takjub.
Ruang Berbagi Kekuatan & Refleksi Diri
Saat membuka ruang refleksi, peserta yang ingin mengutarakan refleksinya dari pemaparan Nolin lebih banyak dari yang bertanya. Ada 9 orang yang mengungkapkan apa yang dia pikirkan dan rasakan setelah mendengar pemaparan dan tanya jawab.
Hal yang menarik adalah mereka mengaitkan apa yang dipaparkan dengan pengalaman hidupnya sebagai perempuan. Salah satu refleksi yang menarik adalah refleksi yang datang dari peserta seorang perempuan Batak yang menyesal dilahirkan di dunia ini lantaran ayahnya dan kakeknya yang menginginkan anak lelaki untuk mewariskan kekayaan dan tanah-tanah milik kakeknya. Walaupun demikian ia tak berkecil hati. Ia tetap semangat dengan dorongan ibunya. Ibunya yang tak pernah menyentuh apa itu ideologi feminisme, selalu mendorong agar anak-anak lelakinya ikut bekerjasama mengurus rumah tangga dan mengerjakan tugas domestik. Bagi peserta perempuan Batak ini, ibunya adalah seorang feminis. Ia akhirnya menyadari bagaimana keluarga besarnya menginternalisasi nilai-nilai patriarki karena ingin menurunkan dan mewariskan kekayaan, sedangkan ibunyalah yang menunjukkan bagaimana untuk bertahan dan berdaya sebagai perempuan dan manusia.
Salah satu peserta perempuan juga mengutarakan bagaimana mimpinya terhempas ketika ia ingin menjadi arsitek namun dihalangi oleh kakaknya yang mengatakan bawah profesi arsitek bukanlah ranah perempuan. Namun karena pemaparan buku ini, ia menyadari bahwa yang awalnya membangun peradaban dan menjadi arsitek dan penemu obat-obat pertama adalah perempuan.
Kini perempuan menjadi termarjinalisasi dan terpojokkan, hanya untuk melakukan kerja domestik yang dianggap tak memiliki nilai ekonomi. Walaupun tak bisa belajar untuk menjadi arsitek, ia belajar melanjutkan pendidikan dalam komunikasi karena dianggap bahwa ini pekerjaan perempuan. Di komunikasi pun ia sadar bahwa iklan-iklan kecantikan menggiring perempuan untuk merasa tidak percaya diri dengan tubuhnya, sehingga mereka membeli produk-produk kecantikan yang dijual di pasar. Ia pun merasa bahwa ia menjadi bagian dari kapitalisme karena ikut menjual standar-standar kecantikan.
Refleksi lainnya yang menurut saya penting adalah ketika salah satu dari peserta menyadari bagaimana masyarakat adat selama ini hidup dalam klan-klan matriarkal yang egaliter. Ia menyadari bahwa klan-klan tersebut lebih setara dalam memperlakukan anak-anaknya ketimbang peradaban yang hidup dalam kapitalisme. Masyarakat adat juga memiliki fungsi untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan dan lingkungan hidup lain disekitarnya. Ruang baca ini membuat dia menyadari bahwa kita bisa mengadopsi nilai-nilai dari klan matriarkal bahkan dalam keluarga inti sekalipun.
Ada pula yang merefleksikan tentang pengalamannya mempelajari teologi Kristen dengan temuan-temuan antropologi yang dipaparkan melalui bedah buku ini. Ia mengkaitkan bagaimana kita bisa membangun wacana dari narasi alkitab yang pro perempuan dengan temuan antropologi yang membongkar mitos inferioritas perempuan. Ia melihat bagaimanna antropologi teologi feminis yang melawan pandangan atau sistem yang membuat perempuan inferior, sebab dalam antropologi feminis ada upaya untuk melihat bahwa perempuan diciptakan segambar dan serupa Allah, dan dapat digunakan untuk melawan rasisme dan seksime. Antropologi teologi feminis juga digunakan untuk melawan pandangan yang mengatakan perempuan hanyalah objek properti semata serta melawan pandangan bahwa perempuan adalah mahluk temperamental dan emosional.
Pencerahan dari Beragam Perspektif dan Pengalaman Perempuan
Sebagian besar peserta yang mengutarakan pendapatnya selalu mengatakan bersyukur dan berterima kasih karena telah dipilih sebagai peserta Ruang Baca. Mereka bersyukur karena mendapatkan pencerahan dan pemahaman tentang bagaimana perempuan mengalami penindasan. Ruang ini membuka matanya untuk lebih paham tentang penindasan yang dialami dirinya sebagai perempuan.
Format ruang baca ini walaupun memang terbatas, namun menurut saya lebih efektif untuk melakukan penyadaran dan menciptakan daya kritis perempuan. Ia memberikan kesempatan untuk berefleksi dan membuka diri, dengan narasi yang menguatkan dirinya ketimbang hanya sekedar curhat saja. Adanya pemaparan melalui presentasi bedah buku, kemudian tanya jawab dan refleksi membuat perempuan menjadi lebih sadar.
Walaupun tak bisa menjaring banyak peserta, namun bagi saya lebih penting untuk meningkatkan kualitas pemikirannya agar ia bisa lebih sadar. Selain itu ucapan mereka adalah pemicu saya dan teman-teman lainnya yang menyelenggarakan acara ini untuk membuat ruang baca berikutnya. Kalau kata Lusty, Ruang Baca ini membuat kami “nagih”. Kami pun tak merasa terbebani, karena kami begitu senang mendengar refleksi-refleksi perempuan karena itu tandanya ia paham dengan apa yang terjadi pada dirinya dan di sekitarnya, serta penindasan struktural yang terjadi secara sistemik dan terstruktur menggunakan berbagai macam perangkat hukum.
Refleksi yang juga mereka paparkan menunjukan bahwa cara ini efektif dan kita sebagai penggerak literasi dan pendidikan telah berhasil. Tentunya saya juga harus memilih orang yang tepat untuk diajak kerjasama dalam menyelenggarakan ruang baca. Orang yang saya ajak kerjasama haruslah perempuan yang telah memiliki daya kritis dan mampu membangun agensi sesama perempuan. Ia juga harus memiliki kemampuan memberdayakan diri mengorganisir dirinya.
Lusty dari Perempuan Hari Ini adalah orang yang saya gandeng untuk menyelenggarakan Ruang Baca walau dalam bentuk zoom sekalipun. Kami belum pernah bertemu namun saya bisa melihat kemampuan kritisnya. Kami bekerjasama untuk melakukan publikasi, pendataan peserta dan mengoperasi ruang zoom. Tentu sebelum menyelenggarakan ruang baca ini kami berdiskusi mengenai konsep ruang baca yang kita inginkan. Kita menyadari bahwa ada baiknya menyeleksi peserta ruang baca dan membatasi WhatsApp Group yang hanya akan digunakan untuk komunikasi dan pengumuman. Seleksi peserta ini juga diperlukan untuk menjaring perempuan yang sungguh berniat mengikuti bedah buku tersebut serta melihat sejauh mana kesadaran mereka tentang penindasan perempuan berada.
Mengapa Khusus Bagi Perempuan?
Peserta kami khususkan untuk perempuan saja karena seringkali ketika ada peserta lelaki mereka cenderung berbicara terlalu banyak, sehingga merebut ruang bicara perempuan dan membuat perempuan lainnya tidak nyaman untuk mengeluarkan pendapat. Selain itu, pengalaman perempuan seringkali dianggap remeh oleh lelaki dan diinvalidasi dengan berbagai pernyataan. Ada ketakutan dari diri saya sendiri bahwa lelaki yang mendominasi ruang diskusi akan membuat trauma dan mengecilkan psikologis perempuan. Untuk menghindari insiden serupa kami memutuskan untuk membatasi ruang baca kepada peserta perempuan saja.
Tentunya lelaki juga butuh penyadaran dan pendidikan akan hal ini. Namun pengaturan ruang diskusi yang berbeda, yang juga melibatkan lelaki yang sudah paham perspektif gender dan bisa menunjukkan cara berefleksi yang lebih baik agar terjadi perubahan dalam bersikap.
Ruang Baca yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom memang tidak sepenuhnya bisa efektif, namun setidaknya ini memberikan dan menciptakan ruang aman dan berdaya baru di saat pandemi. Model pemberdayaan ini bisa direplikasi dan ditiru agar dapat menciptakan daya kritis lainnya. Tentunya kerjasama dengan penerbit yang fokus dalam menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh perempuan yang kritis sangatlah penting. Tanpa adanya bantuan dari Penerbit Independen saya akan kesulitan menyelenggarakan ini, karena dari jaringan merekalah saya berkenalan dengan penggerak literasi seperti Nolin. Dari mereka juga, peserta bedah buku juga mendapatkan buku gratis karena sudah berani memaparka refleksikan. Kerjasama ini penting baik untuk memicu pengetahuan mereka juga untuk memicu keinginan mereka untuk bersuara.
Saya berharap teman-teman yang lain juga bisa mengikuti cara sederhana ini untuk membangun kesadaran perempuan dan membangun jejaring perempuan-perempuan yang perduli terhadap hak dan suara perempuan-perempuan yang tertindas. Saya berharap perempuan-perempuan tidak berhenti untuk berjuang memperjuangkan dirinya walaupun diterpa berbagai tuduhan. Omongan miring bisa kita jadikan kekuatan untuk menunjukkan kekuatan kita dalam membangun agensi dan otonomi perempuan.