Aku merasa semua akan normal kembali saat aku bangun tidur, tapi ketika aku bangun, tidak ada yang berubah.
So-Won, Penyintas Kekerasan Seksual, dalam film “Hope” (2013)
Di suatu pagi yang tenang usai shalat subuh, saya menyempatkan waktu untuk menonton film Korea berjudul “Hope” yang direkomendasikan temanku. Mungkin bagi kamu yang membaca artikel ini ada yang sudah menonton, karena film ini memang ditayangkan pertama kali di tahun 2013. Dalam artikel wikipedia yang secara khusus menuliskan profil film ini, Hope memenangi penghargaan untuk kategori Film Terbaik dan sembilan kategori lainnya, dalam 34th Blue Dragon Film Awards.
Hope diangkat dari kisah nyata dalam Kasus Mayoung yang terjadi pada tahun 2008, di mana seorang gadis berusia delapan tahun bernama Na-young di Korea Selatan telah diperkosa dan disiksa oleh seorang laki-laki berusia 57 tahun di sebuah toilet umum. Namun sayangnya, pengadilan justru hanya menghukum dengan 12 tahun kurungan penjara yang berujung kepada kemarahan publik karena ini tergolong peristiwa kejahatan dan kekerasan seksual yang tak terampuni.
TRIGGER WARNING!!!
Sebelum kamu lanjut untuk membaca artikel ini, saya perlu menuliskan soal trigger warning ini. Ini demi kebaikanmu, karena bagi kamu yang belum pulih sepenuhnya, artikel ini mungkin akan berpotensi membangkitkan kembali traumamu dan rasa sakit lainnya. Karena artikel ini akan menuliskan beberapa bagian cerita tentang kekerasan seksual yang dialami oleh seorang anak perempuan.
Oke, jika menurutmu kamu cukup kuat untuk membaca artikel ini, maka silakan lanjut karena di artikel ini juga banyak pembelajaran penting bagaimana kita menangani dan mendampingi korban kekerasan seksual.
Anak Perempuan Korban Kekerasan Seksual
“Hope” dirilis pada 2 Oktober 2013 yang disutradarai oleh Joon Ik Lee dan naskahnya ditulis oleh Ji Hye Kim. Berdasarkan informasi yang dikutip tirto.id, Hope menceritakan tentang kisah seorang anak perempuan berusia 8 tahun bernama So-won (yang dalam literatur berarti harapan) menerima pelecehan seksual oleh seorang asing. So-Won diperankan oleh Lee Re. So-won digambarkan sebagai anak perempuan yang ceria dan pintar. Ia merupakan siswi sekolah dasar yang sangat antusias dalam belajar. So-won memiliki teman kecil bernama Han Young Soek yang merupakan tetangga rumahnya. Young Soek dan Sowon sering kali bertengkar laiknya anak-anak pada usia mereka.
Pada suatu pagi, hujan turun dan So-won terlambat masuk ke sekolah karena beberapa kendala. Ibunya sibuk membuka toko dan ayahnya bersiap bekerja. Dalam perjalanan menuju sekolah, ibunya menawarkan So-won untuk diantarkan ke sekolah. Tetapi So-won menolak, dan lebih memilih berangkat sendirian.
Dalam perjalanan menuju sekolah, ia bertemu dengan lelaki dewasa yang terbilang sudah cukup tua, lalu lelaki tersebut mengajak Sowon ke sebuah gedung pembangunan dekat sekolahnya.
Singkat cerita, ternyata lelaki tersebut melakukan pelecehan seksual kepada So-won. Tidak berhenti di pelecehan seksual, lelaki tua bejat itu juga mencekik dan merusak tubuh So-won hingga nyaris tewas. Namun, Tuhan masih menolong So-won dan berhasil diselamatkan setelah dirawat di rumah sakit (RS) Bernama Changwon.
Kekerasan seksual yang dialami So-won dalam Hope, bisa kita sebut dengan pemerkosaan, ini adalah salah satu bentuk kekerasan seksual seperti yang dipetakan oleh Komnas Perempuan. Namun di artikel ini saya akan konsisten menggunakan istilah “kekerasan seksual”.
Penderitaan Fisik dan Mental Akibat Kekerasan Seksual
Seperti halnya korban kekerasan seksual, apalagi kelompok rentan seperti anak perempuan yang masih di bawah umur, tentu penderitaan bukan dialami saat terjadinya kekerasan seksual. Lebih dari itu adalah penderitaan atas luka fisik dan mentalnya. Begitupun yang dialami So-won, nyawanya memang terselamatkan, tetapi ia harus melalui proses pengobatan yang cukup berat dan panjang. Dia harus melalui operasi pengangkatan usus besar dan halus. Usai operasi, Sowon juga harus memakai kantong kolostomi sepanjang hidupnya.
Sejak peristiwa tragis yang dialami So-won, dia bukan hanya hidup dengan kantong kolostomi, namun juga hidup dengan trauma berat yang disebut dengan post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah atau gangguan stres pasca trauma adalah kondisi jiwa akibat peristiwa traumatis yang dilihat atau dialami seseorang.
Menurut keterangan yang saya baca dari Psikolog di beragam ruang konsultasi online tentang kesehatan mental, PTSD merupakan gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens. Gejalanya dapat mencakup mimpi buruk atau kilas balik, menghindari situasi yang mengingatkan trauma, meningkatkan reaktivitas terhadap rangsangan, kegelisahan, atau suasana hati yang tertekan. Penanganannya berupa berbagai jenis psikoterapi serta obat untuk mengatasi gejala.
So-won berubah menjadi anak yang diam, tidak mau berbicara dan bertemu dengan laki-laki. Sekalipun itu adalah ayahnya sendiri. Dia tidak bisa tidur tenang, karena terus teringat dengan kejadian mengerikan yang dialaminya.
Betapa Pentingnya Bersikap Empatik Menghadapi Penyintas Kekerasan Seksual
Melihat kondisi So-won, pihak rumah sakit menyarankan agar So-won menjalani terapis melalui yayasan Sunflower. Sebuah yayasan yang fokus pada penanganan dan pendampingan para penyintas kekerasan seksual. Sejujurnya saya tak henti menangis sepanjang tayangan. Menyaksikan kisah So-won, dada saya ikut sakit dan sesak. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara penyintas bisa tetap bertahan hidup dalam bayang-bayang yang mengerikan tersebut.
Tetapi sobat, saya bersyukur dalam Hope tidak hanya mengisahkan kisah pilunya saja. Hope memberikan pelajaran penting kepada penonton untuk belajar berempati. Sungguh betapa pentingnya bersikap empatik dan tak henti memberikan dukungan kepada para penyintas untuk tetap bertahan hidup, serta pelahan-lahan belajar bangkit dan pulih dari luka-luka yang dialaminya.
Sistem Dukungan untuk Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Dari Hope, saya juga memahami betapa pentingnya sistem dukungan (support system) apalagi di lingkaran pertama penyintas, yaitu keluarga. Di sini, kita juga diajak menyaksikan betapa sikap ayah dan ibu So-won patut mendapatkan apresiasi. Mereka bekerjasama dalam mendampingi putri kecilnya agar tetap hidup dan tidak merasa malu, apalagi menyalahkan dirinya sendiri (self blaming). Mereka saling bahu membahu menemani So-won untuk secara perlahan-lahan mulai hidup kembali sebagaimana sebelumnya.
Begitu pun dengan pemilik Yayasan Sunflower, ia juga tidak lelah untuk mendampingi So-won untuk pulih. Hingga pada akhirnya So-won berhasil menaklukan ketakutannya dan berani untuk berkomunikasi kembali dengan orang lain, memaafkan diri serta tidak lagi membenci laki-laki.
Selain itu, dia juga berani untuk memberikan kesaksiannya pada polisi terkait pelaku yang telah melakukan kejahatan padanya. Dengan begitu, pelaku berhasil ditangkap dan dihukum selama 12 Tahun. Sebuah hukuman yang tidak seimbang, tetapi setidaknya pelaku dapat mempertanggung jawabkan perbuatan buruknya pada So-won.
Selain keluarga di lingkaran pertamanya, saya juga kagum dengan penggambaran bagaimana teman-teman ibu dan bapak Sowon yang turut memberikan perhatian serta dukungan, baik berupa materi maupun dukungan sosial lainnya. Mereka menganggap bahwa apa yang dialami oleh So-won dan keluarganya adalah masalah yang harus diselesaikan bersama-sama. Karena kasus kekerasan seksual bukan hanya masalah perempuan, tetapi masalah kemanusiaan.
Tidak cukup dengan itu, saya juga bangga dengan lembaga pendidikan tempat So-won sekolah. Para guru-guru So-won berusaha untuk memahami ketika So-won masih mengalami trauma berat, dan belum siap bertemu dengan guru laki-laki. Mereka dengan sengaja tidak menghadirkan guru laki-laki di kelas So-won. Supaya So-won bisa belajar dengan tenang, seperti hari-hari biasanya.
Dukung dan Kuatkan Mental Penyintas hingga Pulih dan Berdaya
Proses penanganan dan pendampingan korban kekerasan yang digambarkan Hope merupakan gambaran yang tepat bagaimana seharusnya masyarakat berperan aktif dan empatik memberi dukungan. Tentu saja, kita sebagai penonton tidak hanya selesai pada rasa ngeri dari kisah tragisnya. Lebih dari itu, kisah So-won dan sistem dukungan di sekitarnya menjadi inspirasi bagi kita untuk bergerak melakukan hal yang sama. Hope juga diangkat dari kisah nyata yang bukan hanya berhasil membuat kemarahan publik, karena ini tergolong peristiwa kejahatan dan kekerasan seksual yang tak terampuni.
Kita yang umumnya mudah menyalahkan perempuan korban kekerasan atau melakukan victim blaming, sudah saatnya menyadarkan diri bahwa apa yang kita lakukan justru memperparah kondisi korban untuk pulih dan berdaya menuntut pelaku. Pasalnya, sampai saat ini masih banyak para penyintas kekerasan seksual yang masih tidak berani untuk speak up, karena merasa takut suaranya tidak didengar, malu dan takut mengalami victim blaming, penghakiman dan pengabaian.
Yuk! saatnya kita bersama-sama membangun harapan bagi para penyintas kekerasan, siapapun dan bagaimanapun status korbannya. Cara berempati itu tidak harus dengan memberikan dukungan berupa materi maupun mendampingi mereka secara langsung, kita juga menjadi pendengar empatik bagi mereka, mempercayai atau memvalidasi bahwa apa yang disampaikan oleh mereka, memberi akses pada lembaga atau orang yang bisa membantunya, dan tidak menghakimi atau menyalahkan korban.
Terakhir, saya sangat menyarankan kepada teman-teman untuk menonton film Hope ini dan merefleksikannya dalam sebuah tulisan sederhana. Supaya media sosial kita bisa menyediakan lebih banyak tulisan-tulisan yang mencatat pengalaman perempuan. Tentu tujuannya agar masyarakat umum dapat memahami bahwa pengalaman perempuan itu beragam dan valid untuk didengarkan.[]