BAGAIMANA MELAWAN STIGMA “PELAKOR”?

BAGAIMANA MELAWAN STIGMA “PELAKOR”?

Dalam kasus-kasus perselingkuhan, perempuan yang dikhianati memang mengalami luka-luka narsistik (blessure narcissique), harga dirinya terluka, sangat dalam, menyentuh aspek femininitas (keperempuanan) yang paling dalam. Karena perselingkuhan, meski pihak yang berselingkuh sendiri mungkin tidak bermaksud demikian, tetapi bagi pihak yang dikhianati ini adalah pembandingan antara dua perempuan.

Ester Lianawati

Jujur saja rasanya tidak nyaman menuliskan kata ini (“Pelakor”). Dan sepertinya saya malah jadi ikut memopulerkan istilah ini. Selanjutnya dalam artikel ini, saya akan menuliskan inisialnya saja P.

Terima kasih banyak saya haturkan kepada Komunitas Perempuan Berkisah yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan materi ini. Ketika saya menerima judul Melawan Stigma P, yang terlintas di pikiran saya adalah menjawab dua pertanyaan ini :

  1. Mengapa Perlu Melawan Stigma P?
  2. Bagaimana Melawan Stigma P?

Dalam upaya menjawab dua pertanyaan inilah, saya menyadari bahwa untuk dapat melawan stigma P ini, kita perlu terlebih dahulu memahami bagaimana Proses Penciptaan dan Penguatan Stigma P. Dengan perkataan lain : Mengapa Stigma P Ini Ada? Dan Bagaimana Bisa Populer.

Mengapa/Bagaimana Sampai Stigma P Ini Ada?

Stigma ada, pertama-tama adalah karena orangnya, objek yang di-stigma ini ada, nyata, dia eksis. Maksudnya di sini, kita tidak dapat menyangkal bahwa ada perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki beristri. Kita tidak dapat menyangkal bahwa ada hubungan suami istri yang memburuk setelah perselingkuhan terbongkar.

Tetapi mengapa yang digunakan adalah istilah perebut laki orang? Di sini saya kembali pada kapan istilah ini pertama kali muncul dan mengapa orang yang bersangkutan bisa memunculkan istilah ini. Berawal dari seorang anak yang mengidentifikasikan dirinya dengan ibu, maksudnya di sini menempatkan posisinya di pihak ibunya, berpapasan dengan perempuan yang menurutnya dari penghayatan si anak, perempuan ini telah merebut ayahnya, yang adalah suami ibunya.

Ada beberapa hal penting di sini = (a) empati dan solidaritas anak terhadap ibu (positif, tapi sebagai anak ia belum punya kapasitas intuitif untuk melihat persoalan dengan jernih dan objektif), (b) dampak perselingkuhan itu sendiri terhadap si anak, dan (c) pemahaman anak (yang masih terbatas) terhadap perselingkuhan.

Bagaimana Istilah P Ini Menjadi Populer?

Mengapa masyarakat kita begitu mudah menerima istilah ini? Bukan hanya karena istilah ini dari segi psikolinguistik menarik di telinga kita dan langsung menempel di kepala. Penjelasannya lebih kompleks dari itu.

Pertama, istilah ini memenuhi kolektif imajiner kita, yaitu semua hasil imajinasi individu/kelompok/masyarakat yang telah memproduksi image/representasi/gambaran tentang perempuan, laki-laki, seksualitas. Bahwa perempuan kedua adalah perempuan penggoda, laki-laki wajar saja berselingkuh, kucing dikasih ikan pasti dimakan, Hawa menjatuhkan Adam dalam dosa,  dan sebagainya.

Istilah P cocok dengan image/representasi yang sudah berakar ini, jadi sangat mudah diterima.

Kedua, media sekarang membuat orang terkenal dengan menayangkan sesuatu menjadi viral ketimbang karena pencapaian atau prestasi. Dan tayangan-tayangan seorang istri melabrak kekasih suaminya akan dengan mudah mengaktifkan semua representasi imajiner bangsa kita, seperti yang saya tuliskan pada nomor pertama. Jadi lah tayangan ini viral. Semakin viral, semakin aktif kolektif imajiner kita. Semakin aktif kolektif imajiner kita, akan semakin viral video-video semacam ini.

Ketiga, budaya kita adalah budaya kolektif. Dalam budaya kolektif, masyarakat mengatur tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Budaya kolektif menjunjung tinggi norma, aturan yang dibuat masyarakat. Budaya kolektif memandang perilaku manusia dari kacamata moral. Perselingkuhan dianggap perbuatan tidak bermoral, orang yang melakukannya dianggap tidak bermoral, sehingga layak dihukum. Karena salah satu yang menjadi norma kita adalah keutuhan rumah tangga.

Kehadiran pihak ketiga dapat mengganggu keutuhan rumah tangga, dan mengganggu tatanan norma dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, perempuan kedua adalah bahaya yang mengancam. Memberikan stigma kepada perempuan yang mengancam tatanan norma, mengancam moralitas masyarakat, dianggap sebagai sesuatu yang sah, perlu, dan bahkan wajib sifatnya. Mengapa perempuan kedua yang dianggap mengancam? Karena ia berada di luar perkawinan itu sendiri. Karena ia tidak memenuhi kriteria perempuan baik-baik yang telah diatur oleh norma masyarakat.

Keempat, manusia adalah cognitive miser, maksudnya penghemat secara kognitif. Manusia enggan berpikir susah-susah. Salah satu contohnya supaya tidak susah-susah berpikir, manusia menggunakan dikotomi. Perselingkuhan selalu menyakitkan, bahkan meski dalam hubungan yang sudah kering sekalipun. Ada yang disakiti, ini tidak dapat disangkal. Disakiti, berarti kita menganggapnya ada korban. Ada korban, ada pelaku. Jika istri adalah korban, maka pelaku adalah suami, pihak yang mengkhianati. Tetapi suami tidak sendirian, ia mengkhianatinya dengan perempuan lain. Perempuan lain inipun juga menjadi pelaku, dan bahkan akhirnya malah dijadikan pelaku utama. Kita malah jadi lupa bahwa ada pihak suami yang mengkhianati istri.

Kelima, bahwa perselingkuhan itu menyakitkan bagi pihak yang dikhianati ini tidak dapat disangkal. Mari kita lihat bagaimana perselingkuhan dihayati dari pihak yang dikhianati.

Pengkhianatan sangat menyakitkan, melukai harga diri, bahkan dalam sebuah relasi yang memang sudah kacau, dalam rumah tangga yang sudah tidak ada kemesraannya sekalipun.

Perempuan mana yang mau kekasih atau suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain?

Suaminya, di sini ada arti kepemilikan, ini milik saya, ini suami saya. Kita bisa mengatakan bahwa laki-laki toh bukan barang, mengapa kata yang digunakan adalah “rebut”? Tetapi dari sisi istri, dia juga mengerti bahwa suaminya bukan barang. Tapi ini adalah suaminya, laki-laki dengannya dia berbagi keintiman fisik dan afektif.

Pada saat yang sama ada ketidakberdayaan. Kok bisa dia membuat suami saya berpaling? Ada rasa kalah dalam “persaingan” ini. Sekaligus ada ketakutan untuk ditinggalkan.

Dalam perselingkuhan, Diri kita, pihak yang dikhianati, dihadapkan dengan Orang Lain. Orang Lain-nya ini adalah Perempuan Lain. Dengan perkataan lain, Perempuan dibandingkan dengan Perempuan Lain.

Manusia secara alami dalam kondisi terancam, ia digerakkan oleh mekanisme untuk mempertahankan Diri, membela Diri, menyelamatkan Diri.

Dalam kasus-kasus perselingkuhan, perempuan yang dikhianati memang mengalami luka-luka narsistik (blessure narcissique), harga dirinya terluka, sangat dalam, menyentuh aspek femininitas (keperempuanan) yang paling dalam. Karena perselingkuhan, meski pihak yang berselingkuh sendiri mungkin tidak bermaksud demikian, tetapi bagi pihak yang dikhianati ini adalah pembandingan antara dua perempuan.

Luka-luka narsistik menghasilkan kemarahan narsistik, karena manusia butuh menguatkan kembali diri yang sudah dilemahkan, yang sudah diserang tadi. Kemarahan narsistik bisa mengambil dua bentuk:

1) Kemarahan yang ditujukan ke luar Diri

Pada siapa? Seharusnya pada suami, tetapi tidak sedikit yang menujukan/mengarahkan kemarahan ini pada Perempuan Lain karena dialah yang dianggap telah membuat suaminya berpaling, dia yang menjadikan dirinya dalam perbandingan tadi, dia yang telah menyerang harga dirinya sebagai perempuan. Bisa jadi ini juga merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri. Masih cinta pada suaminya, atau bergantung pada suaminya secara ekonomi, membuat perempuan tidak dapat menujukan kemarahan pada suaminya.  Kemarahan pun ditujukan kepada perempuan lain.

2) Kemarahan yang ditujukan ke dalam Diri = banyak perempuan menjadi depresi setelah mengetahui perselingkuhan suami

Hampir tidak ada istri yang mau suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain.  Di sini baik karena kita memang berstatus menikah, dan secara otomatis kita menempatkan diri di posisi istri sah, atau kita membayangkan diri sebagai istri sah sehingga kita mengidentikkan diri sebagai istri sah, pada akhirnya akan terbentuk Kelompok Pendukung Istri, Pihak yang Dikhianati.

Di sini ada solidaritas sesama istri atau sesama pihak yang mengidentifikasikan diri dengan kelompok istri. Sayangnya, kelompok yang solider ini berhadapan dengan Perempuan Lain, yang adalah sesama perempuan (lihat persaingan antar perempuan).

Oleh karena itu istilah pelakor pun gampang melekat dalam masyarakat kita, karena memang ada pihak yang dikhianati, pihak yang menderita, yang disakiti akibat si perempuan lain ini.

Faktor keenam yang bisa menjelaskan mengapa istilah P ini menancap kuat, adalah adanya kenyataan bahwa ada perempuan kedua yang juga berperilaku agresif kepada istri sah dan menampilkan sikap dan perilaku yang memperkuat penilaian bahwa ia tidak memenuhi kriteria perempuan baik-baik seperti berpakaian seksi dan lain-lain.

Kelompok perempuan kedua ini memperkuat mekanisme bias psikologis yang saling terkait satu sama lain : (a) stereotipe pencitraan perempuan kedua sebagai bukan perempuan baik-baik, memperkuat keyakinan yang memang sudah menetap untuk menjadi semakin berakar dan tidak bisa digoyahkan (belief perseverance) masyarakat, (b) availability bias, maksudnya ketersediaan data, karena yang kita lihat pada akhirnya memang perempuan-perempuan kedua  yang akhirnya kita anggap sebagai “layak” mendapatkan stigma itu. Kita jadi mentoleransi stigma, dengan mengatakan “memang ada juga sih perempuan keduanya yang kelewatan”, dll.

Ketujuh, mengapa dari tadi sepertinya laki-laki tidak tersentuh? Karena budaya kita adalah budaya yang patriarkis. Budaya patriarki yang menempatkan seksualitas laki laki sebagai selalu harus dipuaskan, wajar jika laki laki melakukan perselingkuhan. Tidak demikian dengan seksualitas perempuan yang ditekan. Sehingga jika perempuan yang berselingkuh, ia akan dikatakan kegatalan.

Budaya patriarkis diciptakan laki-laki, dilanggengkan laki-laki dan perempuan. Mengapa perempuan juga ikut melanggengkan? Karena perempuan telah menginternalisasi nilai-nilai patriarkis ini, menganggapnya sebagai normal, kodrat, alami, dari sananya. Dan karena budaya patriarkis punya satu cara yang efektif sekali untuk membuat perempuan justru ikut melanggengkan kekuasaannya, cara yang sangat ampuh dan berbahaya karena dilakukan secara halus dan tidak kentara :  Persaingan Antar Perempuan, dengan Esensialisasi Perempuan dalam Trinitas Peran : Perawan-Ibu-Pelacur.

Persaingan Antar Perempuan, dengan Esensialisasi Perempuan dalam Trinitas Perawan-Ibu-Pelacur.

Perempuan dididik dengan ambiguitas antara solidaritas dan rivalitas.

Perempuan harus lemah lembut, melayani, menolong, tapi nilai-nilai kebaikan ini nantinya akan berguna untuk laki-laki (pelayanan suami)  dan masyarakat dalam arti yang luas.

Tetapi dengan sesama perempuan, kita dididik untuk bersaing, untuk menjadikannya sebagai rival. Untuk mendapatkan tempat pertama, diakui secara legal, sosial, fisik, afektif, oleh si laki-laki.

Budaya patriarki menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Tetapi bukan hanya laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek tatapan, tetapi juga perempuan. Untuk dibandingkan dengan dirinya.

Persaingan antara perempuan bukan hanya dalam kasus-kasus perselingkuhan antara istri dan perempuan lain. Tetapi juga mengapa kalau atasan perempuan, pekerja perempuan justru lebih susah naik jabatan? Mengapa sering ada masalah antara atasan dan bawahan perempuan? Siapa yang lebih menjadi penjaga/pengawas sejauh mana perempuan sudah memenuhi kriteria baik-baik? Perempuan. Ketika ada kasus pemerkosaan, siapa yang lebih kejam melakukan victim blaming? Perempuan. Lihat dia pakai bajunya begini, lihat dandanannya terlalu menor, lihat ininya itunya.

Sedari kecil, perempuan sudah diajarkan untuk bersaing. Bukan dalam hal kompetensi/pencapaian, tetapi dalam hal tubuh dan kecantikan. Persoalannya adalah dua hal ini yang paling terlihat. Media memperkuat persaingan ini dengan iklan-iklan yang mengkonstruksi tubuh dan kecantikan perempuan.

“Prestasi” perempuan yang membuat sesama perempuan paling iri adalah punya daya pikat. Bukan hanya kecantikan wajah, tapi juga keindahan tubuh.

Persaingan di antara rekan kantor menjadi lebih berat untuk perempuan karena ada dinamika antara prestasi real dan “prestasi” dalam hal tubuh/kecantikan.

Perselingkuhan laki-laki adalah bentuk paling kongkrit dan ultime, puncak dari persaingan antar perempuan. Istri dihadapkan dengan perempuan lain yang memiliki karakteristik yang tidak dimiliki istri, yang memenuhi kebutuhan laki-laki (suami), yang tidak bisa dipenuhi istri.

Karena suami umumnya mencari perempuan lain yang dapat melengkapi apa yang tidak diberikan istri, apa yang tidak ia temui pada istri.

Ketika perempuan lain itu lebih muda dan cantik = lebih menyakitkan, karena menyentuh persaingan yang paling dasar tadi (tubuh dan kecantikan), yang sudah sedari kecil ditanamkan pada perempuan.

Sementara itu, kepada si perempuan lain, suami mengatakan :

  • Kamulah yang pertama meruntuhkan hati saya.
  • Dia kurang perhatian, berbeda dengan kamu.
  • Kamu sabar, dia mudah marah.
  • Rumah tangga kami sudah kering, tidak ada kemesraan lagi.
  • Kami sudah tidak bercinta lagi.

Perempuan lain ini, yang kebanyakan adalah gadis-gadis muda yang naif tanpa pengalaman rumah tangga, berpikir :  Saya lebih menarik dari istrinya, saya memenuhi kebutuhannya yang tidak dipenuhi istrinya, saya berhasil membuatnya bahagia dalam perkawinannya yang kering.

Padahal dia tidak (akan) pernah “memiliki” si laki-laki secara resmi.

Di sini laki-laki menciptakan persaingan : Istri mendapatkan status sah, perempuan lain mendapatkan gairah dan (janji-janji) cinta.

Perselingkuhan laki-laki dalam masyarakat patriarkis seperti Indonesia adalah dampak dari esensialisasi Perempuan Dalam Trinitas  PERAWAN -IBU- PELACUR.

Perempuan dikonstruksi untuk menjalankan tiga peran ini, ketiganya untuk pemenuhan kebutuhan laki-laki :   kemurnian/kenaifan-keturunan-kenikmatan.

Perempuan harus menjadi gadis baik-baik yang menjamin kemurnian dan kenaifannya (perawan), harus memberi keturunan penerus laki-laki (menjadi ibu), dan memberi kenikmatan (pelacur).

Di sinilah budaya patriarkis sengaja memecah belah perempuan, karena trinitas ini berkonflik. Contohnya saja tidak mungkin pelacur bisa menampilkan kenaifan seorang perawan.

Esensialisasi perempuan dalam trinitas ini dapat pula dibaca dalam buku Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan : Psikologi Feminis Untuk Meretas Patriarki.

Laki-laki (suami) mencari perempuan muda yang masih naif, atau perempuan yang sudah berpengalaman secara seksual dan memang bangga menaklukkan suami orang (kategori pelacur), karena tidak dapat lagi melihat istrinya yang sudah menjadi ibu bagi anak-anaknya sebagai perempuan. Bukankah banyak istri kehilangan femininitasnya ketika sudah menjadi ibu? Dan laki-laki sendiri terjebak dalam trinitas peran yang mereka ciptakan ini.  

Perempuan kedua sendiri pun terpecah antara mereka yang naif (perawan) dan mereka yang penampilannya dipersepsikan sebagai perempuan nakal (pelacur).

Perselingkuhan laki-laki tidak selalu melibatkan kekerasan tetapi dari segi dampak  terhadap istri dan perempuan lain, dan dari segi mekanisme manipulasi yang ia lakukan terhadap perempuan kedua, baik ia sadari maupun tidak disadari, ia telah melakukan “kekerasan”. Karena laki-laki “brengsek” ataupun “baik-baik” yang memelihara hubungan jangka panjang dengan perempuan lain, ia  sebenarnya :

  • Paham dan sadar tidak akan bercerai
  • Paham dan sadar di hadapannya adalah perempuan naif hampir tanpa pengalaman
  • Paham dan sadar telah menyakiti istri

Pada akhirnya, disadari ataupun tidak disadari, laki-laki yang memiliki perempuan kedua, telah melakukan tiga kejahatan. Pertama, terhadap perempuan kedua yang umumnya naif, ia memanipulasi harapan, membantu penciptaan dan pemeliharaan ilusi, mengikat perempuan dalam relasi tidak sehat, menghancurkan masa depan, merusak gambaran dan harga diri. Kedua, terhadap istri, ia menghancurkan harga diri istri dengan menciptakan persaingan antar perempuan. Kejahatan ketiga adalah laki-laki cuci tangan. Yang berhadapan adalah mereka yang dipersaingkan: ISTRI vs PEREMPUAN LAIN.

Laki-laki sendiri yang sampai menjalani kehidupan ganda (dengan istri dan perempuan lain), sebenarnya telah terjebak dalam tuntutan budaya patriarki akan virilitas (kejantanan)nya. Banyak di antara mereka mencari perempuan lain karena merasa rendah diri ketika istrinya berpenghasilan lebih besar, karena istrinya lebih populer, punya banyak kelebihan, dsb. Harga diri mereka sebagai laki-laki bermasalah, dan memiliki dua perempuan merupakan salah satu upaya peningkatan harga diri mereka.  

Memahami perselingkuhan dari perspektif ini menuntut kita untuk membongkar budaya patriarki dan jebakan-jebakannya terhadap laki-laki.

Mengapa Perlu Melawan Stigma Pelakor?

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa memang stigma ini perlu dilawan karena beberapa alasan. 

Pertama, stigma ini memperkuat persaingan antar perempuan dan melanggengkan budaya patriarki.

Dengan ikut menyetujui, memberikan, dan memopulerkan stigma, kita melanggengkan budaya yang merugikan perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki merugikan kesehatan mental, mendorong terjadinya kekerasan, dan menghambat proses pemikiran kritis yang bisa membuat bangsa ini lebih maju.

Mengapa filsuf lebih banyak dari Eropa? Dan mengapa lebih banyak laki-laki daripada perempuan? Karena alih-alih meluangkan waktu untuk berpikir kritis, perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk jadi pengkritik perempuan lain, memperhatikan penampilannya sambil membandingkan dengan perempuan lain, senang bergosip, melihat dan menertawakan ketidakbahagiaan orang lain untuk membuat dirinya bahagia. Perempuan jadi terhambat proses pertumbuhan dirinya karena sibuk mengurusi hal-hal yang menguras emosi seperti terlibat dalam hubungan-hubungan tidak sehat seperti relasi kekerasan dan hubungan dengan laki-laki beristri.

Kedua, stigma pelakor mereduksi kompleksitas problem perselingkuhan, yang akan membuat penanganan pihak-pihak yang terkait menjadi tidak efektif.

Dengan menyalahkan perempuan/orang ketiga, kita tidak akan dapat memahami persoalan perselingkuhan secara utuh. Perselingkuhan adalah persoalan yang kompleks. Perselingkuhan bukan persoalan hitam putih, moral dan tak bermoral, bahwa pihak-pihak yang melakukan selalu sebagai pihak yang buruk/tak bermoral. Perselingkuhan tidak hanya satu kasus antara laki-laki yang kita juluki hidung belang dengan perempuan kedua yang hanya ingin uang. Dalam kasus-kasus perselingkuhan, semua kasus ada, tidak hanya ada satu jenis kasus di mana laki-lakinya yang memang (maaf) brengsek. Kasus-kasus perselingkuhan bisa terjadi pada pasangan manapun, pada laki-laki yang punya integritas, yang berpikir bahwa ia tidak akan pernah mengkhianati istrinya, dsb.

Dalam sebagian kasus, perselingkuhan menjadi salah satu bagian dari kekerasan. Tetapi dalam sebagian kasus, perselingkuhan tidak bisa dipandang dari perspektif kekerasan. Dalam sebagian kasus, ketika kita memandang perselingkuhan dari perspektif KDRT malah akan menghambat penanganan. Karena dari puluhan kasus perselingkuhan yang berdampak pada kekerasan lebih lanjut, ada puluhan kasus lainnya yang justru terbongkarnya perselingkuhan menjadi kesempatan bagi suami istri untuk menjalin hubungan yang lebih sehat, mesra, dan indah. Perselingkuhan sebagai konflik atau kekerasan? Persoalannya adalah dua hal ini dalam masyarakat kita bercampur aduk. Ini melibatkan paradigma representasi sosial, melibatkan kepercayaan-kepercayaan kita, adat istiadat, nilai-nilai, dsb, yang sudah tertanam kuat sekali, dan membongkarnya saya kira butuh waktu.

Ketiga, stigma ini tidak menjangkau perempuan-perempuan yang perlu diselamatkan dari hubungan tidak sehat :

  1. Perempuan kedua yang “terperangkap” dalam hubungan penuh ilusi akibat kenaifannya ditambah dengan manipulasi afektif, manipulasi perasaan dan emosi yang terjadi dari laki-laki beristri (baik disadari maupun tidak). Perempuan tidak begitu saja “terperangkap”, ada konflik diri yang perlu digali, perempuan-perempuan ini perlu dibantu untuk keluar dari relasi yang menguras emosi ini. Stigma akan membuatnya semakin menarik diri.
  2. Istri yang tidak berani keluar dari relasi perselingkuhan repetitif, yang sudah masuk dalam wilayah kekerasan psikis.

Keduanya biasanya adalah perempuan-perempuan dengan ketergantungan afektif (dependance affective) = merasa tidak aman, tidak dapat hidup tanpa orang lain (laki-laki), dan terjebak dalam kompleks harga diri rendah (lihat tulisan dalam buku Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan).

Bagaimana dengan perempuan yang sadar dan justru ingin menjadi perempuan kedua? Permasalahannya di sini tampak berbeda tetapi sebenarnya sama-sama dampak dari budaya patriarki = ketergantungan ekonomi, keinginan “menaklukkan” laki-laki, kekejaman terhadap perempuan lain (dalam hal ini perlu dipertanyakan ada masalah apa dengan figur signifikan perempuan dalam hidupnya)? Ini lagi-lagi adalah dampak dari esensialisasi Perempuan dalam Trinitas peran : Perawan-Ibu-Pelacur.

Keempat, stigma ini tidak memungkinkan pula untuk menjangkau laki-laki yang terjebak dalam kompleks virilitas, yang adalah penyebab dalam kebanyakan kasus perselingkuhan maskulin.

Bagaimana Melawan Stigma Ini?

Sebelum sampai pada bagian akhir mengenai bagaimana melawan stigma ini, saya ingin menguraikan terlebih dahulu reaksi masyarakat terhadap stigma ini. Dalam masyarakat kita telah terbentuk tiga kelompok sejak stigma pelakor diciptakan dan menjadi populer.

Mereka yang mengidentifikasikan diri dengan kelompok istri, menjadi kelompok pendukung istri, dan kemudian menyetujui stigma ini serta turut menggunakan istilah dan melakukan stigmatisasi kepada perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki beristri. Kelompok pengguna istilah ini kemudian menimbulkan reaksi dari kelompok yang “objektif”.

Kelompok ini (P) paham bahwa stigma ini sama saja membebaskan laki-laki dari tanggung jawabnya, dan lagi-lagi perempuan yang disalahkan. Dengan “gemas”, kelompok ini meminta masyarakat menghentikan penggunaan stigma ini. Tetapi kelompok pendukung stigma semakin ditentang justru semakin senang melakukan stigmatisasi dan menggunakan istilah ini. Di sini tanpa disadari oleh kelompok yang berusaha “objektif” tadi, telah terjadi yang dinamakan dalam psikologi sosial sebagai polarisasi kelompok. Pendapat yang ekstrim dari masing-masing kelompok justru akan menjadi semakin ekstrim.

Contoh polarisasi kelompok adalah ketika orang religius berdiskusi dengan orang ateis. Orang religius mencoba meyakinkan orang ateis untuk kembali ke jalan yang “benar”, orang ateis berusaha membuat orang religius berpikir sedikit saja rasional untuk melihat bahwa keyakinannya tidak masuk akal. Masing-masing tidak akan berhasil meyakinkan satu sama lain. Orang religius akan semakin religius, orang ateis akan semakin ateis. Ini hanya salah satu contoh. Dalam banyak kasus, ketika ada perbedaan pendapat antara dua kelompok, masing-masing justru memang akan menjadi lebih ekstrim setelah berdiskusi (yang berlanjut menjadi debat).

Mekanisme yang sama terjadi antara kelompok istri atau pendukung istri yang setuju dengan penggunaan istilah pelakor, dengan kelompok “objektif” yang berusaha membuka pemikiran kelompok pendukung stigma ini untuk berhenti menyalahkan sesama perempuan. Menariknya, ada satu kelompok lagi, yang kehadirannya tidak diduga : kelompok perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki beristri.

Sementara kelompok “objektif” berusaha agar mereka yang menjalin relasi dengan laki-laki yang sudah menikah tidak lagi dikenai stigma, kelompok ini justru bangga dengan hubungan mereka. Mereka menamakan diri sebagai grup/komunitas pelakor. Mereka sendiri mendukung stigma yang dilekatkan kepada mereka. Lantas bagaimana kita semua dapat menyikapi “kekacauan” ini?

Melawan stigma pelakor (selanjutnya saya sebut P) pada akhirnya memang bukan dengan “gemas” mengingatkan pengguna untuk berhenti men-stigma. Seringkali upaya kita untuk mengingatkan mereka agar tidak lagi justru menjadi semacam penguat untuk mereka melanjutkan.

Melawan stigma ini adalah dengan memberantas akarnya, yang adalah budaya patriarki yang telah (a) menciptakan, menanamkan, dan memelihara persaingan antar perempuan, dengan (b) melakukan esensialisasi perempuan dalam trinitas peran perawan-ibu-pelacur

Selama dua hal ini masih berlangsung, satu stigma mungkin saja hilang tetapi akan berganti dengan stigma lain yang tetap merendahkan atau menyudutkan perempuan.

Di sisi lain, kita juga perlu mengatasi akibat budaya patriarki ini yang sudah ada di depan mata kita terkait dengan istilah P  :  

  1. Ada perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah menikah
  2. Ada perempuan yang bertahan dalam relasi KDRT, sudah disakiti berkali-kali oleh suami tetapi tetap tidak bisa meninggalkannya karena berbagai pertimbangan.
  3. Istilah pelakor itu sendiri yang sudah populer
  4. Laki-laki terjebak dalam tuntutan virilitas

Oleh sebab itu, secara garis besar, ada tiga upaya yang perlu kita lakukan untuk melawan stigma pelakor.  

Pertama,  untuk mengatasi “akibat-akibat” yang nyata di hadapan kita saat ini, yang perlu segera ditangani, saya hendak menawarkan beberapa hal berikut :

  1. Hindari penggunaan istilah pelakor, tidak ikutan mempopulerkan. Semakin sedikit orang-orang yang menggunakan, yang menyebutkan, menuliskan, dsb, popularitas label ini akan berkurang karena tidak ada lagi yang membicarakannya.
  2. Gunakan istilah netral seperti relasi eksternal untuk menyebut perselingkuhan, kekasih/pasangan lain untuk menyebut mitra selingkuh atau perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri.
  3. Jangan jadi penguat terhadap pengguna istilah : beri respon netral dan informatif, jangan beri respons jika berlanjut, abaikan, jangan tertawa. Respons informatif di sini misalnya langsung memberikan informasi objektif yang sudah ditulis/disampaikan orang-orang mengenai hal-hal yang terkait dengan ini seperti psikologi perempuan kedua dari sudut pandang pakar atau dari mereka yang sedang terjebak atau syukur-syukur sudah keluar, agar dapat memahami mengapa ada perempuan-perempuan yang terjebak dalam hubungan semacam ini.
  4. Bila Anda tertawa ketika mendengar teman menggunakan istilah ini, tanyakan pada diri sendiri, mengapa tertawa? Mengapa ikut tertawa? Apakah karena merasa tidak enak jika punya pendapat berbeda, jika tidak setuju dengan dia? Jadilah pribadi yang otentik, namun tentu saja tidak agresif. Jangan ikut tertawa karena justru memberi penguatan pada pihak ybs untuk terus menggunakan istilah ini. Tetapi juga tidak “ngotot” dan jadi marah ketika pihak lain menolak pandangan kita. Karena justru akan menguatkan lagi pendapat mereka untuk menggunakan istilah.
  5. Memahami psikologi perempuan kedua, dampingi, kuatkan, bantu teman/saudara Anda yang terjebak dalam relasi ini. Termasuk di sini adalah membantunya untuk kelak tidak masuk dalam relasi sejenis (tidak sehat). Membantu teman untuk keluar dari relasinya dengan laki-laki beristri memang bukan hal mudah. Bukan dengan mengingatkannya bahwa perbuatannya itu dosa, tidak baik, bahwa si laki-laki sudah beristri, pikirkan anak dan istrinya, dst. Tanpa kita ingatkan, ia sudah paham akan hal itu semua. Tetapi persoalannya pada perempuan yang terjebak dalam relasinya dengan laki-laki beristri, bukan karena ia tidak memahami itu semua. Ada persoalan lain, yang kompleks, yang lebih dalam. Perlu diketahui bahwa tidak semua perempuan terjebak dalam relasi ini. Sebagian bisa dengan segera angkat kaki ketika tahu bahwa ternyata pria idamannya sudah beristri. Jadi ketika perempuan ini malah tetap memilih untuk berada dalam relasi itu, ada sesuatu yang perlu digali dari dirinya yang terdalam. Jika memang diperlukan, hendaknya meminta bantuan konselor/terapis.  
  6. Berikan pendampingan/penguatan pada istri yang telah dikhianati untuk: mengelola kemarahan narsistik dan mengatasi luka-luka narsistiknya; dan, untuk keluar dari relasi KDRT jika perselingkuhan suami sudah berulang dan menjadi bagian dari relasi kekerasan.
  7. Edukasi masyarakat dengan strategi, contoh dengan menampilkan penyintas KDRT, yang posisinya pernah menjadi istri yang dikhianati tetapi justru menentang stigma pelakor.
  8. Kembangkan kerja sama antara perempuan dan laki-laki untuk dapat saling memahami dan menghormati.

Upaya kedua, kita harus memberantas akar permasalahan ini terkait dengan persaingan antar perempuan. Saya meyakini ada serigala betina dalam diri setiap perempuan. Salah satunya adalah kekuatan intuitif. Setiap perempuan punya kekuatan ini, untuk melatih mengenali dirinya. Dalam hal persaingan antar perempuan, hendaknya kita tidak membohongi diri, tetapi melatih kesadaran diri dengan beberapa cara berikut :

  1.  Akui kecemburuan terhadap rekan perempuan, dan gali, mengapa?  Tanyakan pada diri sendiri apakah kita akan bereaksi sama jika ia laki-laki?
  2. Ketika ada rekan perempuan yang lebih dari kita, ketimbang iri hati, mari pikirkan apa yang bisa kita jadikan inspirasi darinya?
  3. Fokuskan hidup kita untuk berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan positif
  4. Kembangkan keterampilan, olah bakat, perluas minat. Hal ini sangat penting untuk mengembangkan harga diri. Perempuan yang memandang rendah dirinya akan masuk dalam jebakan harga diri rendah, yang berisiko mengantarkannya pada hubungan-hubungan tidak sehat dengan laki-laki termasuk dengan laki-laki beristri.
  5. Tanyakan pada diri kita apakah kita puas dengan hidup kita, dengan diri kita? Mengapa kita tidak suka ketika perempuan lain bahagia? Karena hanya perempuan yang sudah tidak merasa terancam yang bisa mendukung dan mengembangkan perempuan lain.
  6. Hindari relasi jika memang rekan perempuan itu membuat tidak nyaman, tidak membuat kita bertumbuh. Tapi di sinilah kemampuan intuitif kita harus terus diselidiki. Apakah memang rekan perempuan itu yang membuat kita tidak nyaman, atau kita yang tidak nyaman dengannya, dan apakah kita yang  selalu bermasalah dengan rekan perempuan?
  7. Masih terkait dengan penyelidikan diri untuk melatih kemampuan intuitif kita, tanyakan pada diri sendiri apakah diri kita membawa kebaikan? Apakah perilaku saya bisa menginspirasi orang lain untuk kebaikan atau malah menimbulkan kecemburuan? Bagaimana saya dapat menginspirasi teman-teman perempuan saya ketimbang menimbulkan iri hati dan kecemburuan?
  8. Kembangkan persaudaraan sesama perempuan; dukung sesama perempuan, dan fokus pada kekuatannya. Kelompok feminis perlu saling bekerja sama, bekerja berjejaring, dan berhenti saling mengeritik. Jika ada ketidaksukaan satu sama lain, ingat kembali pada tujuan awal. Jika kita sendiri terpecah, bagaimana menunjukkan pada perempuan-perempuan lain akan arti “sisterhood”? Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan persaudaraan di antara perempuan  dapat dilakukan : pelatihan empati, pelatihan komunikasi agar dapat meminimalisir kesalahpahaman dan berkomunikasi tanpa menyakiti.  Kita yang termasuk dalam kelompok feminis kiranya dapat melakukan penyelidikan diri sebagai kelompok : apakah sudah tepat cara-cara kita dalam menyampaikan ide-ide kita? Apakah dengan cara-cara ini, banyak perempuan sudah dan akan terbantu?

Ketiga,  membongkar esensialisasi perempuan dalam trinitas peran Perawan-Ibu-Pelacur.

Upaya ketiga ini sama sekali tidak mudah, karena sejak budaya patriarki tercipta, perempuan sudah dididik untuk memenuhi tiga peran ini. Namun saya optimis melihat evolusi dalam masyarakat kita yang mulai menerima bahwa kehidupan perempuan lajang bisa bahagia, karena yang membuatnya tidak bahagia justru sebenarnya adalah tekanan masyarakat atas kelajangannya. Menerima bahwa fungsi perempuan di dunia bukan hanya untuk mengandung, melahirkan, dan mengurus anak. Bahwa perempuan juga boleh memilih peran lain, tidak selalu harus menjadi istri dan ibu.

Terkait dengan peran “pelacur”. Ini adalah konstruksi bahwa seksualitas perempuan hanyalah dalam rangka atau tujuan memuaskan laki-laki. Perempuan dan laki-laki kiranya dapat belajar untuk memahami tubuh dan seksualitas perempuan. Kita juga harus mulai berhenti menjadikan perempuan sebagai objek seksual, objek hasrat, objek tatapan. Sebagai orangtua, kita dapat mulai mengarahkan anak-anak perempuan kita untuk berfokus pada pengembangan minat dan bakatnya, bukan pada tubuh dan kecantikannya.

Mereka yang mengadakan kontes Putri Indonesia Cilik dan sejenisnya, sudah saatnya mungkin berpikir ulang, nilai-nilai apa yang sedang mereka perjuangkan? Karena sekalipun “bersembunyi” di balik “bakat” putri-putri cilik ini, bukankah kriteria yang juga mutlak adalah berpenampilan menarik? Saya kira saatnya kita perlu jujur pada diri sendiri apakah kita sedang mencerdaskan kehidupan bangsa atau sedang membodohi anak-anak kita?

Dalam upaya ini, perlu pula dipikirkan bagaimana kelompok laki-laki sebagai kelompok yang diistimewakan dalam masyarakat patriarkis justru dapat ikut melawan budaya patriarkis ini? Karena sebenarnya bukan hanya perempuan yang dirugikan, tetapi juga laki-laki. Perselingkuhan laki-laki memperlihatkan kepada kita bagaimana sebenarnya laki-laki terjebak dalam mitos virilitas yang dibangun budaya patriarkis itu sendiri.

Pemikiran Ester Lianawati juga selengkapnya dapat disimak di Kanal Youtube “PEREMPUAN BERKISAH”