‘Not All Men’: Tanggapan “Tak Penting” saat Merespon Kekerasan Berbasis Gender

‘Not All Men’: Tanggapan “Tak Penting” saat Merespon Kekerasan Berbasis Gender

Not all man” atau “tidak semua laki-laki” itu seakan-akan ingin menjaga citra laki-laki. Yang orang harus tahu adalah ketika perempuan membicarakan tentang pengalamannya mendapatkan perlakuan tidak enak dari laki-laki, dia berbicara berdasarkan pengalaman pribadinya bahwa dari awal dia tidak pernah bermaksud untuk menyamakan semua laki-laki mempunyai tingkah laku yang sama. 

Argumen “not all men” ini seperti ingin memberikan pengumuman yang sebenarnya tuh semua orang tahu. Bahwa tidak semua laki-laki itu patriarkis, seksis, brengsek, suka mengobjektifikasi perempuan. Bahwa, tidak semua laki-laki suka melecehkan atau melakukan kekerasan terhadap perempuan. Ungkapan seperti ini tidak sinkron dengan topik  pembicaraan dan pastinya tidak memberikan solusi apapun terhadap permasalahan perempuan. Narasi ini sudah lama ada, bahkan di Indonesia sendiri. Sekarang kenapa argumen tidak semua laki-laki ini menjadi problematik? 

Pertama, argumen ini sudah termasuk interupsi. Perempuan di kehidupan sehari-hari sudah sering mengalami interupsi, mengalami mens planning, tidak bisa mengutarakan argumen karena dianggap omongannya tidak penting. Lalu ketika mereka curhat atau berkeluh kesah tentang problem mereka tentang laki-laki perempuan diinterupsi juga. Argumen not all men ini menggeser pembicaraan. Yang seharusnya kita fokus kepada fakta bahwa perempuan sampai sekarang masih menjadi korban pelecehan, korban kekerasan oleh laki-laki dan fakta bahwa banyak laki-laki di luar sana yang masih tidak sadar akan budaya toksik ini. 

Not all man atau tidak semua laki-laki itu seakan-akan ingin menjaga citra laki-laki. Yang orang harus tahu adalah ketika perempuan membicarakan tentang pengalamannya mendapatkan perlakuan tidak enak dari laki-laki, dia berbicara berdasarkan pengalaman pribadinya bahwa dari awal dia tidak pernah bermaksud untuk menyamakan semua laki-laki mempunyai tingkah laku yang sama. 

Seharusnya Validasi Apa yang Dirasakan Korban, Bukan Sibuk Membela Diri

Jika kita merespon isu serius ini dengan argumen not all men, kita malah melakukan yang seharusnya tidak kita lakukan. Ketika ada korban kekerasan berbasis gender terutama perempuan di sini, seharusnya kita validasi apa yang terjadi dengan dia dan apa yang dia rasakan atas kejadian itu. Jika kita menggunakan argumen not all men, kita seperti memojokkan korban dengan argumen itu. 

Memang iya tidak melakukan hal itu, tapi bukan berarti pelecehan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap perempuan itu tidak terjadi. Sayangnya kekerasan dan pelecehan terhadap wanita itu sangat nyata sekali. Di era sekarang ini hampir setiap hari pasti ada saja kasus mengenai pelecehan, kekerasan bahkan pembunuhan terhadap perempuan.

Respon tidak semua laki-laki bisa dibilang lumayan egois. Mungkin yang berargumen demikian merasa dituduh untuk hal yang tidak dilakukan, dia tidak mau disamakan dengan laki-laki brengsek, tidak mau disamakan dengan laki-laki yang karakternya toxic. Padahal ketika seorang perempuan ketika membagikan pengalamannya, dia tidak ada maksud untuk menuduhmu. Daripada laki-laki mencoba untuk menjaga imej mereka, kenapa mereka tidak mencoba mendengarkan cerita perempuan. Setelah itu coba untuk meresapi, pahami agar mereka itu lebih sadar bahwa isu yang bener-bener serius terjadi pada opposite gender.

Memang benar, berempati terhadap sesuatu yang berbeda dengan kita itu susah banget (kali ini dalam hal gender). Menurut saya, sebagai perempuan keresahan laki-laki terhadap kasus ini sangat valid susah dimengerti. Karena dari dulu sampai sekarang perempuan memang diajarkan untuk hati-hati dengan laki-laki. Dari kita kecil seperti

  1. Jangan keluar rumah keluar sendirian nanti digangguin sama laki-laki
  2. Jangan pulang malem-malem nanti digangguin sama laki-laki
  3. Jangan pake baju seksi nanti diapa-apain sama laki-laki

Selama ini narasi yang sering perempuan dengar adalah perempuan harus mawas diri terhadap laki-laki. Perempuan harus bisa melindungi diri dari laki-laki, karena kita tidak tahu bisa jadi kita dipertemukan dengan laki-laki yang brengsek di luar sana. Kadang tidak hanya dari laki-laki luar yang melakukan itu bisa suami, paman, ayah tiri,  ayah kandung kita sendiri.

Dengan diamnya laki-laki mereka mengizinkan laki-laki brengsek ini untuk bertindak semena-mena terhadap perempuan,

Selama hidup seorang perempuan diharuskan bisa mengatur sikap dan sifat. Perempuan juga dituntut tidak boleh terlalu agresif dan tidak boleh terlalu mendominasi. Kita bahkan diajarkan untuk selalu memberi ruang sebanyak-banyaknya untuk laki-laki. Lebih menyedihkan lagi, ketika kita diperintahkan untuk tidak mempermasalahkan soal fakta bahwa budaya ini  sebenarnya sangat merugikan perempuan.

Budaya patriarki menganggap seakan wajar bagi cewek setakut itu, seresah dan semarah itu, karena memang kita terbebani dengan stereotip yang ada. Kita tak luput dari objektifikasi, dipolisikan macam-macam, dituduh macam-macam, didiskriminasi dan jadi korban toxic masculinity. Laki-laki seharusnya lebih mencoba untuk memahami hal ini, mencoba lebih ngerti dan peka. Hal yang penting juga membantu kita nih para perempuan, memberi ruang untuk bersuara. Karena melakukan sesuatu untuk perubahan lebih memberi kontribusi dibandingkan dengan mengatakan not all man.

Karena orang-orang not all men ini, kita seakan harus terus menegaskan menegaskan bahwa gerakan feminis bukan untuk membenci laki-laki, bukan untuk mendominasi laki-laki, bukan untuk di atas laki-laki. Maskulinitas atau ego mereka ini terlalu tinggi untuk mengakui bahwa memang secara sistem perempuan lebih sering dinomorduakan. Sedih tidak sih? Bahkan di saat kita sedang bergerak untuk mendapatkan hak, untuk mendapatkan kesetaraan kita, perempuan masih disuruh be have agar laki-laki merasa nyaman dengan pergerakan kita, agar mereka tidak merasa diserang. Karena di saat kita terlalu agresif terlalu galak, kita dianggap feminazi.

Secara tidak sadar kita semua punya tanggung jawab terhadap hal ini. Budaya toksik terhadap perempuan masih eksis sampai saat ini di masyarakat, karena laki-laki juga membantu itu untuk tetap ada, laki-laki tidak proses jika terjadi diskriminasi gender, laki-laki tidak protes jika temannya melakukan kekerasan terhadap pacarnya atau ke istrinya mereka diem aja selagi mereka tidak dirugikan. Mungkin mereka tidak mau cari ribut, mereka tidak mau ikut campur terhadap urusan orang lain. Dengan diamnya laki-laki mereka mengizinkan laki-laki brengsek ini untuk bertindak semena-mena terhadap perempuan, ditambah jika laki-laki ini dengan beralasan dengan kata not all men. Mereka malah memberikan alasan kepada laki-laki brengsek untuk terus melakukan hal tersebut.