Terbatasnya penelitian dan laporan analisis kasus yang membahas tentang kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja di Indonesia, berdampak pada sulitnya mendapatkan gambaran tentang kasus-kasus tersebut.
Menurut Alvin Nicola dari Never Okay Project (NOP), dalam kurun waktu dua tahun terakhir, tidak ada data yang empirik yang kompatibel dan cukup relevan untuk membahas soal fenomena tersebut di dunia kerja. Hal ini pun akhirnya menjadi kesulitan kolektif yang tim NOP hadapi dalam upaya mendorong komitmen anti pelecehan seksual di dunia kerja.
Padahal, upaya memahami kekerasan dan pelecehan seksual melalui data adalah hal yang sangat krusial, karena fenomena kekerasan dan pelecehan seksual telah menjadi masalah struktural. Selain itu berbicara soal kekerasan pelecehan seksual di dunia kerja, juga terkait dengan konsep pencarian keadilan dan penegakan hukum yang masih belum berpihak kepada korban.
Untuk memberikan gambaran tentang kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja selama 3 tahun terakhir ini, NOP merilis Data kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja tahun 2018-2020 secara resmi , jumat pekan lalu (12/12/20) secara daring.
Dengan Tajuk Pelecehan Seksual Bukan Bercanda (PSBB), data yang dibagikan dapat menjadi masukan strategi juga bagi para pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan, dan upaya mendukung ratifikasi konvensi ILO 190 dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kegiatan peluncuran data tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di dunia kerja di Indonesia turut dihadiri sejumlah tokoh, yaitu Lusiani Julia selaku Senior Program Officer Jakarta, Bahrul Fuad selaku Komisioner Komnas Perempuan, Ketua Law Gender and Society Fakultas Hukum UGM Sri Wiyanti Eddyono K, dan Advokat Untuk Keadilan Gender Mona Ervita.
Imelda Riris sebagai salah satu tim penyusun data melaporkan, timnya berhasil mengumpulkan sebanyak 117 kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja untuk tahun 2018-2020. Data-data tersebut didapatkan dari lembaga penyedia layanan yang menerima laporan dari penyintas kekerasan seksual di tempat kerja seperti Komnas Perempuan, LBH jakarta, SAFEnet, Women Crisis Center Jombang, dan AJI. Selain itu, data juga didapatkan melalui pemantauan media dengan menggunakan keyword yang dirancang untuk pencarian daring.
117 kasus yang dikumpulkan terdiri dari 36 kasus yang terjadi pada tahun 2018, 41 kasus terjadi di tahun 2019 dan 40 kasus terjadi di 2020. Dari survei yang dilakukan, DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi provinsi yang paling banyak terjadinya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Kemudian, jika dilihat dari jumlah kasus berdasarkan sektor kerja, sektor pemerintah, pariwisata dan perhotelan serta pendidikan dan penelitian menempati 3 besar dimana kasus tersebut terjadi.
Ada 5 temuan penting terkait kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja dalam rentang waktu 2018-2020, temuan-temuan tersebut antara lain:
Kekerasan Terjadi dari Tahap Awal Perekrutan sampai Mantan Rekan Kerja
Berbicara tentang relasi kerja pelaku terhadap korban, atasan atau rekan kerja senior menempati posisi pertama sebagai pelaku yang banyak melakukan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja, yakni 62,39%. Hal ini mengkonfirmasi adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, bukan hanya ada ketimpangan relasi gender tetapi juga didasari oleh posisi jabatan dan kekuasaan.
Selain itu pelecehan seksual juga terjadi sejak awal hubungan kerja terjalin dan sebelum seseorang pekerja resmi diterima di sebuah organisasi atau perusahaan. Terbukti dengan adanya kasus dimana perekrut kerja menjadi pelakunya sebesar 5,98%. Mantan rekan kerja juga ditemukan menjadi pelaku, yang berarti kekerasan dan pelecehan seksual masih bisa terus berlangsung ketika hubungan profesional sudah berakhir 1,71%.
Bentuk pelecehan Quid-pro-quo menjadi salah satu bentuk pelecehan seksual yang kerap dilakukan oleh pelaku. Quid-pro-quo merupakan kondisi dimana seseorang yang memiliki power atau rekan kerja senior memberikan ancaman di balik permintaan seksual tertentu. Sehingga korban tidak mempunyai pilihan selain melakukan yang diminta pelaku.
Pelecehan Seksual Berbentuk Fisik Mendominasi
Berdasarkan data yang terkumpul mengenai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual yang banyak terjadi, pelecehan seksual berbentuk fisik menempati posisi teratas dengan 56 kasus. Kemudian, fakta menunjukkan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja kerap terjadi secara berulang sehingga 1 kasus bisa mencakup beberapa bentuk kekerasan dan pelecehan seksual.
Selain itu pada beberapa kasus ditemukan bahwa kekerasan dan pelecehan seksual dilakukan secara bertahap. Pelaku mulai dengan tindakan pelecehan yang sudah dianggap normal, seperti contoh pelecehan seksual secara verbal maupun isyarat, lalu meningkat ke tindakan dengan spektrum yang lebih berbahaya, contohnya pelecehan seksual fisik, pemerkosaan, dan lain-lain.
Poin penting juga yang disoroti adalah perkosaan yang terdata 25 kasus dan pemaksaan pemaksaan borsi sebanyak 5 kasus. Pada survei-survei yang sebelumnya dilakukan oleh NOP, kedua kasus ini tidak banyak ditemukan.
Berbagai Upaya dilakukan Untuk Melawan
Dari survei ditemukan hanya 20, 88% memilih untuk melakukan pelaporan di internal organisasi atau perusahaan. Keadaan ini menggambarkan, kepercayaan pekerja masih minim untuk menyelesaikan kasusnya terlebih dahulu di lingkungan internal
Dari pengamatan lebih lanjut berdasarkan kronologi kasus tidak jarang penyintas mengaku takut untuk melapor ke pihak perusahaan bagaimanapun mekanismenya karena beberapa konsiderasi, di antaranya takut atas upaya serangan balik dari pelaku, dampak negatif terhadap karir penyintas.
Belum Tentu Sepadan dengan Upaya
Dari sekian jenis upaya yang diambil untuk melawan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, hasil negatif (36,31%) lebih sering dijumpai dibandingkan hasil positif (22,29%).
Penyintas kekerasan dan pelecehan seksual menghadapi berbagai konsekuensi yang dihadapi dalam melakukan pelaporan dengan berbagai macam jenis pelaporan, mulai dari ke internal perusahaan sampai ke lembaga penyedia layanan sampai ke kepolisian. Tetapi hal ini malah berimbas ke dampak negatif ke dirinya sendiri termasuk kepada karir. Ada yang akhirnya dipecat, mengundurkan diri, disalahkan dan mendapatkan sanksi dari perusahaan bahkan dikriminalisasi seperti kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat.
Sulitnya Mendapatkan Keadilan
Dari 52 kasus yang dilaporkan ke kepolisian hanya ada 1 kasus dimana pelaku akhirnya divonis penjara. Sementara ada 1 kasus dimana pelaku divonis bebas, dan 1 kasus lain di mana korban divonis penjara akibat laporan dari pelaku.
Selain itu ada 1 dari 9 kasus diberhentikan karena kurangnya barang bukti, dan ada 7 kasus yang tidak teridentifikasi kelanjutannya. Berdasarkan pengamatan, media hanya tanggap dalam memberitakan kasus yang sedang hangat diperbincangkan, tapi baik publik maupun media kurang mengawal proses hukum yang berjalan dalam kasus tersebut. Media dan publik punya kecenderungan hanya menyoroti kasus yang sedang viral, tapi tidak terus mengawal prosesnya sampai selesai. Sehingga sulit untuk mencari tahu bagaimana kelanjutan kasus tersebut.
Dengan hasil temuan ini maka tim Never Okay Project merekomendasikan beberapa hal, yaitu:
- Ratifikasi Konvensi ILO No. 190 yang memuat tentang ketentuan pengakuan hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender (perempuan)
- Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
- Perusahaan harus mempunyai peraturan dan mekanisme pelaporan yang berpihak kepada korban dan juga netral.
- Serikat Pekerja untuk bisa mengambil peranan yang lebih dan menjadi wadah pelaporan dan untuk pekerja.
- Pekerja hendaknya proaktif, menuntut ke perusahaan ketika perusahaan kita tidak mempunyai peraturan khusus terkait pelecehan seksual dan aseksual.
- Media hendaknya berperan memberitakan kasus-kasus dengan berperspektif gender dan korban, kemudian mengawal kelanjutan proses hukum sampai selesai.
- Penegak hukum hendaknya membangun akses badan hukum yang mudah diakses dan memahami kebutuhan korban.