“Waktu jaman sekolah selalu disuruh belajar, tetapi saya agak bandel karena suka nulis dan itu pakai nama pena supaya tidak ketahuan,”
ungkap Iffah Hannah, Founder Komunitas Perempuan Membaca.
Pembuka yang menarik dari Hanifah, nama asli dari nama pena Iffah Hannah pada obrolan bersama Alimah Fauzan, Founder Komunitas Perempuan Berkisah di Instagram live @perempuanberkisah pada Kamis (30/7/20).
Sepenggal kalimat yang cukup menggelitik menurutku pribadi, bahwa di lingkungan pendidikan yang mapan, belajar jadi punya ukuran tertentu. Sama seperti pengalaman sekolahku dulu, ketika membaca novel, menulis puisi dan cerpen, bahkan bermusik tak dianggap lebih penting dari belajar matematika, fisika, ekonomi, dan mata pelajaran lain pada umumnya. Padahal yang namanya belajar itu harusnya apapun; apapun yang kita suka, apapun yang kita ingini. Begitu cerita menarik beliau yang cukup menginspirasi. Kesukaannya dalam menulis itulah yang membuatnya begitu dekat dengan dunia literasi.
Berawal dari keinginan mempertahankan gairah membaca pasca menikah
Setelah menikah pada 2016, Iffah Hannah merasa banyak aktivitas yang membutuhkan penyesuaian. Sebagai perempuan, aktivitas yang dilakukan sebelum dan setelah menikah jelas sangat berbeda. Hanifah merasa kalau waktunya cukup tersita untuk berjibaku pada urusan domestik. Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh teman-temannya yang lain.
Iffah kemudian mencurahkan keinginannya di facebook, mengajak sepuluh orang ibu yang mau meluangkan waktunya untuk membaca dan berbagi bacaan. Setelah terkumpul, dibuatlah grup whatsapp dan diputuskan program membaca satu buku setiap bulan bersama rekan-rekannya yang lain. Hasil bacaannya kemudian didiskusikan bersama dengan menyetorkan tulisan berupa resensi buku. Sesederhana itu awalnya.
Hal yang menurut Hanifah sederhana ternyata menarik banyak orang. Anggota terus bertambah seiring berjalannya waktu. Perempuan membaca tak hanya untuk ibu yang sudah menikah saja, tetapi siapapun yang ingin berbagi literasi bersama.
Tak hanya setor bacaan, tetapi saling menguatkan
Dunia ibu ternyata tak kalah menyenangkan. Berbagi resep makanan, sharing soal perkembangan anak, MPASI, hingga kabar politik dan hal-hal lainnya menjadi satu pengikat lain anggota komunitas perempuan membaca selain soal membicarakan bacaan buku.
Satu sama lain juga berbagi soal bagaimana menghadapi problematika sebagai orang ibu. Konsep ibu ideal yang kerap bikin beberapa anggota komunitas perempuan membaca resah, membangkitkan kesadaran bahwa tidak ada alasan lain untuk tidak saling menguatkan sebagai sesama ibu dan sesama perempuan. Bahwa menjadi ibu yang baik dan sempurna tak sekedar diukur dari ia lahir normal atau caesar, terkena atau terbebas dari baby blues, sedikit atau banyaknya menghabiskan waktu di ruang domestik dan publik, serta ukuran-ukuran lainnya yang membuat mereka sebagai seorang ibu merasa gagal menjadi ibu yang baik.
Mereka sepakat bahwa tak ada satu konsep ibu ideal yang mutlak untuk mengukur layak atau hina, sempurna atau cacat, baik atau buruknya seorang ibu. Menjadi ibu yang baik adalah berbahagia menyandang status sebagai seorang ibu.
Murni karena cinta kasih terhadap literasi, ilmu pengetahuan, dan persahabatan
Iffah Hannah tidak percaya bahwa komunitas perempuan membaca akan berjalan sejauh ini. Ia berterimakasih kepada siapapun yang membuat komunitas perempuan membaca tetap bertahan. Kesyukurannya bertemu dan dibersamai orang-orang yang tetap loyal di dalam komunitas meski tak mendapat imbalan materiil apapun menjadi energi terbesar baginya.
Barangkali tak hanya terjadi pada komunitas perempuan membaca saja, tetapi juga pada beberapa komunitas lainnya yang punya semangat serupa. Tak perlu kuasa, modal, dan kekuatan yang besar, siapapun bisa melakukan kerja-kerja yang sama pada apapun. Semangat itu murni hadir dari kecintaan dan kasih sayangnya banyak orang terhadap literasi, buku, ilmu pengetahuan, dan persahabatan.
Bermodalkan puluhan ribu saja per orang untuk membeli domain website, kini komunitas perempuan membaca telah memiliki tim yang bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Ada yang bertugas mendokumentasikan semua resensi anggota agar tidak hilang, mengedit tulisan yang masuk, menjadi admin media, dan mengerjakan tugas-tugas lainnya yang bisa dilakukan secara gotong royong.
Tak hanya itu, perempuan membaca mempunyai program membuat perpustakaan atau ruang baca. Perpustakaan tersebut diwujudkan untuk memberikan kemudahan akses bacaan kepada masyarakat terdekat, tak terbatas sedikit atau banyaknya koleksi buku anggotanya. Hanifah berharap semoga teman-teman perempuan membaca tetap konsisten dan istiqomah untuk membaca, meresensi, berdiskusi bersama, saling mengingatkan satu sama lain di tengah sibuknya aktivitas.
Informasi selengkapnya tentang Komunitas Perempuan Membaca dan Tim Pengurusnya dapat dibaca di website perempuanmembaca.com