Sering Dicurhatin? Kamu Perlu Belajar Pertolongan Pertama Luka Batin

Sering Dicurhatin? Kamu Perlu Belajar Pertolongan Pertama Luka Batin

Saat kita terluka fisik, umumnya pertolongan pertama yang dilakukan adalah menghentikan darah yang keluar dari luka kita terlebih dahulu. Kemudian setelah itu, kita menentukan apakah luka itu perlu dijahit atau tidak. Hal ini ternyata juga berlaku untuk menangani luka psikis.

Seseorang yang terluka secara psikologis perlu diberikan pertolongan pertama agar bisa memiliki kontrol diri terlebih dahulu. Setelah itu, barulah dapat digali lebih lanjut tentang persoalan apa yang sebenarnya tengah ia alami, dan apakah perlu sampai mendapat penanganan khusus. 

Untuk memahami pertolongan pertama psikologi tersebut,  Nirmala Ika, M.Psi dari Enlightmind membahas materi tentang Psychological First Aid pada pertemuan ke-3 Pelatihan Pendampingan Ruang Aman di Wilayah Kerja FAMM Indonesia 2020/2021, Kamis (1/12/20).

Materi terkait Psychological First Aid , atau yang lebih dikenal dengan PFA, dibahas sebagai salah satu cara yang bisa dilakukan pada saat akan melakukan pertolongan pertama kepada seseorang yang menghubungi para anggota FAMM Family untuk curhat-bercerita secara tiba-tiba.

Ika, yang merupakan lulusan S1 Psikologi dan S2 Magister Profesi Klinis Dewasa di UI menjelaskan, konsep PFA adalah melakukan penguatan dan dukungan psikologis yang awalnya dikembangkan untuk membantu korban-korban bencana atau kekerasan. Pada prinsipnya, PFA diberikan segera setelah sebuah peristiwa terjadi, namun seiring dengan perkembangan, PFA kini bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan kepada siapapun yang membutuhkan.

“Misalnya jika orang yang kita damping tiba-tiba datang dalam kondisi emosi yang sangat tinggi, PFA bisa kita lakukan. Atau pun kepada teman-teman kita sesama jaringan yang tiba-tiba curhat atau teman kantor atau siapapun itu bisa dilakukan. Bahkan kepada keluarga atau orang terdekat kita, kepada siapapun akhirnya bisa dilakukan,” ungkap Ika. 

Prinsip PFA, antara lain merupakan tanggapan pertama segera setelah kejadian. Tanggapan pertama yang dimaksud adalah respon yang kita berikan ketika seseorang datang atau bertemu dengan kita. Kemudian, PFA dilakukan dalam durasi singkat, makanya PFA berbeda dengan Konseling yang penanganan dilakukan dalam jangka panjang. Yang terakhir, PFA bisa terus diberikan kepada orang yang berbeda latar belakang persoalan, misal saat peristiwa sulit atau krisis seperti ketika mengalami kekerasan, kecelakan,  peristiwa darurat atau traumatis, dan berbagai peristiwa lainnya. 

Tujuan FPA

PFA dilakukan untuk melindungi seseorang dari kemungkinan mengalami kondisi tekanan yang lebih buruk lagi atas suatu hal yang sedang terjadi. Perlindungan dilakukan dengan memberikan respon yang tidak menyulitkan kondisi mental dia. Selain itu, PFA memiliki tujuan untuk membuat seseorang sadar, sehingga ia bertanggung jawab menjaga dirinya baik fisik maupun mental pada saat dalam kondisi yang tidak stabil, serta membantu membangkitkan kepercayaan dirinya dan memiliki kemampuan mengendalikan dirinya.

“Itu satu kebutuhan dasar. Jadi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan hidupnya, mengendalikan dirinya, biasanya orang itu menjadi agak panik, maka tujuan PFA ini untuk menekankan bahwa kamu punya kontrol terhadap hidup kamu. Walaupun kontrolnya minim,” ujarnya. 

Prinsip-Prinsip FPA

Pada kesempatan ini Ika juga menekankan prinsip-prinsip yang ada pada FPA. Yang pertama, yaitu pada dasarnya setiap orang memiliki keunikan. Maka, melakukan pendekatan yang terbuka dan menghargai perbedaan sangatlah penting. Menghidari terlalu banyak memasukkan nilai-nilai yang para pendamping miliki kepada orang yang didampingi juga penting, karena pendamping belum tidak tahu kondisi yang sebenarnya terjadi. Ika juga meminta kepada para peserta untuk fokus pada potensi yang dimiliki orang yang mendapat pendampingan agar ia tetap bertahan, bukan pada masalah apa yang dia hadapi, tapi dengan meningkatkan resiliensi.  

Selanjutnya adalah bagaimana menjadi menjadi pendengar yang baik, menerima apa adanya terhadap apapun yang diungkapkan orang yang mendapat pendampingan dan tidak memberikan penilaian, tidak menghakimi ataupun menyalahkan orang tersebut. 

“Bahkan misalnya dia mengungkapkan suatu pandangan yang mungkin bertentangan dengan pandangan kita atau pandangan gerakan, prinsipnya itu diterima dulu bukan dikoreksi. Bahkan mungkin kalau kita merasa ini mengkhianati gerakan misalnya, itu diterima dulu ketika dalam situasi itu,” ujar Ika, yang bekerja di pemulihan trauma psikologis terutama pada korban kekerasan di masa lalu atau dalam keluarga sejak 2003.

Kemudian para anggota FAMM hendaknya berempati, mencoba fokus pada orang tersebut, bukan pada menyampaikan kebenaran. Dengarkan masalahnya dan mencoba menempatkan diri kita pada posisinya. Memahami apa yang dirasakan dan apa yang dibutuhkan dia. Selanjutnya adalah memegang teguh kerahasiaan yang menjadi salah satu kunci kepercayaan antara pendamping dengan yang mendapat pendampinga. Sedekat apapun kita, kerahasiaan harus tetap dipegang dan dijaga.

Poin selanjutnya yang disampaikan adalah bagaimana memandirikan penyintas atau orang yang telah bercerita kepada kita. Hal ini, ungkap Ika, terkadang masih sering dilupakan. Para penyintas harus diberikan kesempatan untuk mengatasi masalah, mencari jalan keluar, merencanakan atau memutuskan langkah apa yang dilakukan sendiri. Hindari menciptakan ketergantungan dan sikap tidak menghargai kemampuan orang lain dengan tidak memberikan nasihat, mengarahkan atau mengatur hidup mereka. 

Memandirikan Penyintas

Pendamping dapat memfasilitasi pemecahan masalah agar orang yang kita bantu merasa berdaya atau pengakuan atas hidupnya sendiri serta tidak menciptakan ketergantungan terhadap pendamping. Diskusikan berbagai sisi positif dan berbagai jalan keluar. Dukung untuk membuat pertimbangan sendiri terhadap jalan keluar yang menurutnya paling sesuai dan yang paling penting dan paling berani dia lakukan.

Memberikan janji-janji, yang membuat orang yang mendapat pendampingan menjadi kecewa termasuk hal yang harus dihindari oleh Pendamping. Jangan janjikan harapan yang tidak realistis atau sulit dicapai termasuk oleh penyintas atau keluarga. Pendamping harus bersikap jujur dan realistis.

“Contoh harapan tidak realistis untuk penyintas kita bilang: oke gak papa, percaya deh minggu depan pasti kamu akan merasa lebih baik. Itu harapan-harapan yang kita tidak tahu bisa atau tidak, itu harus dihindari,” tutur Ika mengingatkan para peserta. 

PFA merupakan pertolongan pertama pada kondisi psikologis yang terluka, maka yang terakhir yang harus  dihindari adalah  memaksakan cara kita sendiri kepada orang yang bercerita pada kita. Meskipun bisa saja kita pernah mengalami masalah yang sama seperti yang dia ceritakan dan berhasil mengatasi itu,  kita tetap tidak bisa maksa bahwa cara kita akan efektif di dia atau cara kita akan membantu dia.

PFA bukanlah bentuk penanganan professional, jadi penting untuk melihat apakah yang kita lakukan sudah cukup membantu dia atau sebenarnya perlu merujuk lebih lanjut misalnya menawarkan, mengantarkan dia atau merekomendasikan bisa pergi kemana,bisa bermacam-macam bentuknya.

Tugas Pendamping

Terkait pengambilan keputusan, tugas pendamping yang pertama adalah memberikan perasaan nyaman kepada orang yang didampingi. Kemudian, tugas menguatkan bahwa klien kita mampu memutuskan pilihannya sendiri dan memperoleh gambaran masalah secara jelas supaya kita juga tidak cepat-cepat memberikan alternatifnya. Tugas kedua dan ketiga dapat dilakukan ketika sudah di fase konseling, saat kita sudah menggali cukup banyak info.

Tugas selanjutnya membantu mengungkapkan sebanyak-banyaknya berbagai pilihan atau kemungkinan jalan keluar, berdiskusi bersama dengan penyintas dengan konsekuensi yang ada untuk melihat kita lihat positif-negatifnya, dan mendukung penyintas untuk memilih alternatif baginya. 

Sebagai pendamping, sudah merupakan tugasnya pula meyakinkan bahwa pilihan yang diambil sudah oke dan masuk akal untuk kondisnya saat itu. Prinsipnya adalah keputusan diambil oleh dampingan nya sendiri bukan oleh pendamping. Walaupun dampingannya bingung menentukan pilihannya, pendamping hanya memfasilitasi dan mengajak diskusi. Bila ada perkembangan lebih lanjut, dampingan harus mengevaluasi pilihannya tersebut.

“Pendamping hanya bisa mengambil keputusan jika keputusannya darurat, misalnya kasus mau bunuh diri atau kasus kekerasannya sudah rentan. Misalnya kita sangat tahu dari cerita dia bahwa pasangannya sangat mungkin melakukan kekerasan lagi. Ketika keukeuh pilihannya: oke mala mini saya pulang lagi, itu kita bisa intervensi ketika situasinya sudah sangat darurat,” jelas Ika.

Ika kemudian melanjutkan pemaparan materinya terkait langkah-langkah apa saja harus dilakukan dalam memberikan PFA. Ada 5 langkah yang harus dilakukan ketika seseorang ingin memberikan pertolongan psikologis kepada seseorang yang membutuhkan, langkah-langkah tersebut antara lain:


1.  Berikan kebutuhan segera; 

2. Dengar, dengar, dengar;

3. Terima luapan perasaannya;

4. Bantu dengan langkah selanjutnya; dan

5.  Rujuk-tindaklanjuti. 

Secara garis besar dijelaskan, memberikan kebutuhan segera artinya memenuhi kebutuhan dasar penyintas yang sedang ada dalam situasi yang sangat krisis. Misalnya, membawa penyintas kekerasan ke tempat yang benar-benar aman dan perlu segera menyembunyikan dia dulu atau dalam situasi bencana,  bawa penyintas ke tempat yang aman. Setelah itu, tanyakan kepada mereka apakah mereka membutuhkan sesuatu. 

Kemudian, dengarkan, fokus dengan  apa yang dibicarakan orang dampingan kita. Jangan menyela pembicaraan atau coba meyakinkan mereka bahwa semua baik-baik saja. Kalau tatap muka, lakukan kontak maka. Kalau tidak tatap muka atau lewat aplikasi pesan, coba usahakan kita memang memberikan waktu untuk berkomunikasi. Dengarkan cerita dia, kadang seseorang hanya butuh didengarkan, mereka tidak ingin solusi.

Mereka hanya ingin didengarkan karena isi kepala mereka yang terlalu penuh, sehingga ingin itu dikeluarkan dan perasaan mereka ingin divalidasi. Mengeluarkan isi kepala kita dengan bercerita baik ke orang lain ataupun menulis dapat membantu mengurai sedikit demi sedikit benang kusut yang ada di kepala. 

“Makanya, yang penting adalah kehadiran kita sebagai orang yang mendengarkan atau kehadiran penuh di hadapan dia, atau by phone, atau by ZOOM. Penuh dan fokus hanya merhatiin dia tidak sambil mengerjakan yang lain,” katanya.

Kemudian, tugas pendamping yang berikutnya adalah menerima semua rasa yang ditumpahkan dengan berikan respon yang wajar, baik perasaan senang, sedih dan gelisah. Usahakan kita tetap tenang, jangan terbawa suasana panik terutama  jika cerita yang disampaikan itu bersentuhan atau dekat dengan persoalan kita sendiri atau sedang kita hadapi. Atur dan pastikan nafas terasa keluar masuk secara pelan-pelan keluar masuk lebih tenang. 

Setelah memberikannya kesempatan untuk meluapkan emosi, bantu orang yang kita dampingi dengan langkah selanjutnya. Bantu ia dengan bertanya tentang apa yang mengganggu pikiran dan perasaannya. Jika ia bercerita lebih lanjut, gali apa permasalahanya dan apa yang bisa dilakukan, berikan pandangan-pandangan dan informasi yang benar yang bisa ia lakukan agar bisa menjadi lebih baik. 

Setelah keempat langkah tersebut, pendamping harus memahami situasi yang ada dan mengetahui siapa yang paling membutuhkan penanganan lebih lanjut. Jika tidak tahu informasi yang butuhkan oleh orang yang mendapat pendampungan, kita bisa memberikan rujukan kepada yang kita anggap lebih tahu. Jika memang diperlukan butuh penanganan lebih lanjut, bawa ke professional yang lebih memahami kondisinya.

Cara Yang Menolong dan Tidak Menolong Proses Pemulihan

Ada beberapa cara yang dapat kita sarankan kepada penyintas dalam hal mengelola kantong emosinya. Sarankan untuk melakukan hal-hal tersebut sesuatu secara rutin agar kantong emosi tidak menumpuk dan penyintas dapat melakukan proses pemulihan . Beberapa cara yang bisa menolong antara lain:

  • Berbagi cerita dengan orang lain.
  • Ikut kegiatan positif dan menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiran.
  • Istirahat cukup dan makan makanan yang sehat.
  • Melakukan rutinitas sehari-hari.
  • Beristirahat sejenak dari pekerjaan.
  • Mengenang hal-hal yang hilang dari hidup kita orang yang paling dikasihi harta berharga.
  • Fokus pada hal-hal yang dilakukan sekarang untuk mengendalikan situasi.
  • Berolahraga secukupnya.
  • Menuliskan cerita dalam buku harian.
  • Melatih cara-cara sederhana untuk menenangkan diri, seperti latihan bernafas dan mendengarkan musik lembut.
  • Melakukan konseling.

Selain itu, perlu juga disampaikan bahwa ada cara-cara berlebihan yang harus dihindari karena justru akan memperparah kondisi emosi mereka. Cara-cara tersebut antara lain:

  • Menggunakan alkohol obat-obatan untuk menekan perasaan dan pemikiran yang mengganggu.
  • Menghindar secara berlebihan untuk memikirkan atau membicarakan mengenai peristiwa bencana dan kehilangan yang dialami.
  • Melakukan kekerasan dan konflik dengan orang lain.
  • Tidak mau makan atau makan berlebihan.
  • Menonton berita tentang bencana terus-menerus. 
  • Menyalahkan orang lain.
  • Bekerja terlalu keras.
  • Menarik diri berlebihan dari keluarga dan teman.
  • Lupa merawat dan memperhatikan kesejahteraan diri.
  • Tidak mau melakukan kegiatan reaktif karena merasa bersalah. 
  • Melakukan hal berbahaya melukai diri dan orang lain.

Diskusi dan Sharing

Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, para peserta pelatihan diberikan pula kesempatan untuk bertanya dan bercerita tentang pengalaman yang mereka alami. Dimoderatori oleh Niken Lestari, para peserta mendapat kesempatan untuk bertanya dan berbagi pengalaman selama pendampingan serta mendapatkan masukan dari Pemateri.

Salah satu peserta yang bercerita adalah Ani Rufaida. Dalam sesi sharing, Ani Rufaida menyampaikan bahwa dirinya menyadari proses pulih yang dilalui masing-masing orang itu berbeda.  Hal ini dia temukan pada saat ia menemani seorang teman yang membutuhkan pendampingan.

“Dulu saya berpikir ketika orang punya persoalan itu bisa sharing sama orang lain dan konseling. Ternyata cerita memang membantu. Jadi proses pulih itu ternyata masing-masing orang itu berbeda dan ketika saya menemani teman saya karena saya pikir saya bukan konselor, saat itu yang saya pikirkan ya sudah kamu ke konselor saja. Ternyata saya amati proses pulih dia itu yang tadi Mbak Ika sampaikan lewat tulisan. Saat dia menulis pengalaman-pengalaman yang dialami ternyata lewat tulisan itu. Kemudian saya jadi berpikir ternyata setiap orang memang tidak bisa disamakan proses pulihnya karena mungkin ini terkait pengalaman hidup seseorang dan orang punya cara masing-masing terhadap proses pemulihan dirinya.” Kata Ani. 

Menanggapi hal tersebut, Ika kemudian menjelaskan lebih lanjut soal proses pemulihan. Ika menuturkan, setiap orang memang memiliki caranya sendiri untuk pulih, dan tugas pendamping adalah mendorong orang yang membutuhkan pertolongan menemukan caranya memulihkan diri. Semua orang, sebenarnya sudah memiliki caranya masing-masing, hanya saja terkadang mereka ragu untuk melakukannya dengan berbagai macam pertimbangan. Pendamping akan mendorong orang tersebut untuk lebih berani konsisten melakukan pemulihan.  Selain menerapkan kepada orang yang mendapat pendampingan, proses pemulihan juga dapat dilakukan oleh pendamping untuk melatih dirinya mengelola emosi.

Menggunakan Empati Selama Melakukan PFA

Sebelum menutup sesi pertemuan ke-3, Ika memberikan sekilas penjelasan  tentang empati, yaitu bagaimana memahami yang dipikirkan orang lain, memahami pengalaman dan perasaan yang dipikirkan orang lain, dan melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Empati diperlukan selama melakukan PFA, karena membantu orang menumbuhkan nilai positif tentang dirinya dan kemampuan memahami dirinya. Menggunakan empati juga menimbulkan rasa aman dan nyaman pada orang untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya.

Berempati dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus pada hal-hal positif dari ucapan dan perilaku yang dimiliki orang lain, memberikan pernyataan-pernyataan positif dan mendukung orang tersebut untuk lebih terbuka, bersikap apa adanya, wajar ketika berhadapan dengan orang lain.

Ika kembali menekankan agar para pendamping menahan diri untuk memberikan nasehat, meskipun tahu plus dan minus dari keputusan yang ambil oleh orang yang mendapatkan dampingan. Biarkan orang tersebut menjalani pilihannya sendiri. Di akhir pembicaraan, pendamping bisa menyampaikan bahwa pertemuan masih bisa dilakukan untuk follow up atau mengevaluasi pilihan yang diambil.