Teror menghasilkan ketakutan, tapi juga kemiskinan. Dalam konteks pandemi Covid-19 , lapangan pekerjaan terbatas , sumber makanan berkurang , lahan pertanian menjadi sumber utama keberlanjutan hidup warga.
Pembunuhan satu keluarga di dusun 5 Tokolemo desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, pada 27 November 2020 telah menewaskan empat orang dan membakar 6 rumah warga, serta satu rumah tempat pelayanan ibadah. Pembunuhan ini sekaligus menambah daftar panjang korban warga di Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur), pimpinan Ali Kalora.
Institut Mosintuwu, organisasi masyarakat akar rumput yang bekerja untuk upaya perdamaian dan keadilan pada saat konflik dan pasca konflik di wilayah Kabupaten Poso dan sekitarnya, mengecam keras aksi keji ini. Melalui rilis “SIARAN PERS : Provokasi Kekerasan dan Ujian Solidaritas Kita” yang disampaikan Lian Gogali, Pendiri Institut Mosintuwu, pada Senin (30/11/2020) melalui akun resmi facebooknya juga menyampaikan belasungkawa terdalam pada semua keluarga korban.
Lian mengajak semua pihak untuk berempati pada keluarga korban dengan tidak menyebarkan foto korban dan peristiwa. Institut Mosintuwu juga secara khusus meneliti sejarah kekerasan di Poso dan di Sulawesi Tengah. Terdapat dua catatan penting tentang pola kekerasan terjadi.
Pertama, pembunuhan keji yang dilakukan kelompok MIT berpola acak, tanpa memandang agama atau suku.
Data yang dihimpun tim media Mosintuwu menunjukkan di periode Januari-November tahun 2020 kelompok MIT membunuh 3 warga di Kabupaten Poso. Pada 8 April 2020, kelompok MIT melakukan pembunuhan keji pada Daeng Tapo dan pada 19 April 2020 membunuh Ajeng, keduanya muslim. Selanjutnya, pada 8 Agustus 2020 mereka membunuh Agus Balumba yang beragama Kristen.
Jauh sebelumnya, pada 3 September 2019 mereka juga membunuh Wayan Astika yang beragama Hindu. Terakhir, 27 November 2020 kemarin, MIT secara keji membunuh Naka, Pedi, Yasa, Pinu yang keempatnya beragama Kristen.
Kedua, seluruh korban pembunuhan MIT sepanjang 2020 adalah para petani.
Pada rentang waktu yang sama, beberapa pembunuhan warga juga terjadi akibat salah tembak oleh aparat keamanan. Tim media Mosintuwu, mencatat 3 warga menjadi korban salah tembak aparat keamanan sepanjang 2020, antara lain: Qidam (9 April 2020), Firman dan Syarifudin (2 Juni 2020).
Ketiga korban adalah petani. Sampai tulisan ini dibuat, belum terdengar informasi proses pengadilan bagi aparat keamanan yang melakukan.
Pada pola pertama, aksi keji MIT tidak memandang agama. Mereka martir teroris yang aksi kejinya dibenci oleh semua agama. Warga Sulawesi Tengah, terutama Poso telah belajar bagaimana agama dipermainkan sebagai isu untuk membelah solidaritas masyarakat.
Kejadian ini tidak boleh melengahkan kita kembali ke masa kelam itu lagi.Pada pola kedua, petani sebagai sasaran aksi keji MIT dan aparat keamanan membuat rasa tidak aman bagi para petani, terutama mereka yang tinggal di kebun-kebun di pinggir hutan.
Peristiwa pembunuhan pada satu petani saja menjadi teror bagi para petani dan warga. Akibatnya, ratusan hektar kebun di wilayah Kabupaten Poso ditinggalkan. Para petani bukan hanya takut dicap banpol ( bantuan polisi ) oleh kelompok MIT, tetapi juga bisa saja dicurigai oleh Polisi menjadi bagian dari MIT.
Posisi petani menjadi serba sulit. Padahal mereka adalah tumpuan dan garda pertama ketahanan pangan masyarakat Sulawesi Tengah. Apalagi di tengah pandemic Covid-19 ini pangan adalah sumber utama bertahan di masa sulit.
Teror menghasilkan ketakutan, tapi juga kemiskinan.
Dalam konteks pandemi Covid-19 , lapangan pekerjaan terbatas , sumber makanan berkurang , lahan pertanian menjadi sumber utama keberlanjutan hidup warga.
Peristiwa pembunuhan baik yang dilakukan oleh kelompok MIT maupun salah tembak oleh aparat keamanan memutus harapan ini. Institut Mosintuwu mempercayai peristiwa keji yang dilakukan kelompok MIT tidak akan memecah perdamaian yang telah diciptakan oleh masyarakat akar rumput di Poso. Meskipun demikian, selain dapat memelihara rasa takut pada masyarakat, peristiwa keji ini bisa digunakan untuk kepentingan politik dan kelompok tertentu.
Belajar dari pengalaman sejarah kekerasan di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah, Institut Mosintuwu menyatakan sikap:
1. Meminta semua pihak untuk menghentikan penyebaran isu penyerangan agama dalam kasus di Kabupaten Sigi dan lebih mendorong penegakan hukum atas kejahatan keji kelompok MIT.
2. Mengajak semua pihak terlibat dalam aksi memperkuat solidaritas sosial tanpa batas. Masyarakat Poso di wilayah Pesisir telah membenri contoh bagaimana solidaritas kuat saat peristiwa pembunuhan keji serupa dilakukan kelompok MIT sejak tahun 2015. Saat warga ketakutan tidak bisa berkebun, solidaritas ditunjukkan dengan saling berbagi bahan makanan dari halaman rumah selama berbulan-bulan tanpa memandang suku atau agama.
3. Mengevaluasi atas operasi keamanan di Kabupaten Poso dan Sulawesi , dengan mempertimbangkan keselamatan dan rasa aman masyarakat yang menjamin para petani bisa bekerja di kebun.
Poso, 28 November 2020
Institut Mosintuwu