Kita Tidak Bisa Memberi Apa Yang Tidak Kita Miliki

Kita Tidak Bisa Memberi Apa Yang Tidak Kita Miliki

If you want to give light to others, you have to glow yourself. Bila kita ingin membantu untuk menerangi orang lain, maka kita sendiri harus sudah bersinar. Kita tidak bisa membantu orang lain untuk tenang, ketika kita sendiri tidak tenang. Kita tidak bisa membentuk orang lain untuk lebih menata hidup, ketika hidup kita sendiri belum tertata.

Layaknya saat kita sedang naik pesawat, selalu disampaikan ketika turbulence dan kantong oksigen diturunkan, kita harus mamasang masker oksigen ke diri sendiri terlebih dulu sebelum kita membantu orang lain. Bahkan sebelum kita memberikan ke anak kita yang lebih kecil. Saat kita membawa anak kecil, kita biasanya refleks ingin membantu mereka dulu, bahkan kita berpikir “saya rela mati untuk dia” tapi aturannya tetap kita harus bantu kita dulu.

Kenapa begitu? Karena jika kita kehabisan oksigen, bagaimana kita bisa bantu anak kita? Demikian juga ketika kita melakukan pendampingan. Bagaimana bisa menguatkan yang lain, jika kita sendiri sudah terlalu lelah dengan segala persoalan yang ada? baik dihadapi diri kita maupun akibat melakukan pendampingan dan bagaimana kita bisa meneruskan kerja-kerja advokasi pada orang lain?

Demikian sebuah self reminder yang disampaikan oleh Nirmala Ika, M.Psi, Fasilitator dari Enlightmind, ketika membuka sesi pemaparan materi tentang Kerentanan Diri pada kegiatan Pelatihan Pendamping Ruang Aman di Wilayah Kerja FAMM Indonesia 2020/2021, Rabu (27/11).

Kegiatan Pelatihan Pendamping Ruang Aman di Wilayah Kerja FAMM Indonesia 2020/2021 diselenggarakan oleh FAMM Indonesia. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya meningkatkan kapasitas anggota FAMM Indonesia, untuk menjadi pendamping ruang aman bagi anggota lain di wilayah masing-masing dan mendorong anggota mengembangkan ruang aman yang diperoleh dan dipelajari ke komunitas dan/atau lembaga masing-masing.

Stres dan Trauma Sebagai Bagian dari Kerentanan Diri

Dalam pemaparannya mengenai Kerentanan Diri, perempuan yang akrab dipanggi Ika menyampaikan beberapa hal, diantaranya perbedaan stress dan trauma serta bagaimana pekerja kemanusiaan memiliki kerentanan dan keharusan merawat dirinya sendiri. Merawat diri bagi para pendamping ruang aman sangatlah penting, agar dapat meningkatkan kapasitasnya untuk menjadi pendamping ruang aman khususnya terkait kesehatan mental.

Menurut Ika, stres dan trauma perlu dipahami karena stres adalah bagian dari kehidupan  sehari-hari, dan ketika tidak dikelola dengan baik ia akan menjadi masalah yang lebih besar bahkan mungkin menjadi trauma. Belum lagi ditambah, sudah banyak trauma-trauma yang belum terkelola dengan baik dan itu masih terbawa. Hal itu akan berpengaruh pada akhirnya bagaimana kita memandang kehidupan ini, memandang, menyikapi dan merespon terhadap segala hal di dalam hidup.

Secara umum, stres tidak didahului oleh peristiwa traumatis, dalam arti tidak perlu ada suatu peristiwa yang besar sangat mungkin kita mengalami stress, karena stress itu hal yang sehari-hari kita alami. Stres bisa terjadi bertahap, bisa sedikit demi sedikit. Dampaknya hilang bila stersnya hilang. Reaksi stres bisa berbeda untuk setiap orang.

“Salah satu contoh stres sehari-hari misalnya, untuk teman-teman di Jakarta, adalah karena kemacetan di Jakarta. Kemacetan di Jakarta bisa jadi stres sehari-hari, dalam arti walaupun sudah tahu Jakarta macet bukan berarti jadi sudah biasa, belum tentu juga tapi bisa tetap saja stres. Atau stress sehari-hari misalnya hari ini teman-teman tahu ada kegiatan, ada webinar jam 3 ini, tiba-tiba di jam 2 ada tugas yang harus juga diselesaikan,” papar Ika.

Jadi misalnya, lanjutnya, kita ingin sekali datang ke webinar, tapi tugas ini juga harus didahulukan. Jadi kita merasa cukup tertekan, mungkin sebel dan jadi panik bagaimana menyelesaikan pekerjaan baru ini dalam waktu satu jam. Hal-hal seperti itu stress yang bisa muncul, kita bisa bilang itu stress. Jadi stress bukan sesuatu yang besar yang seperti dibilang “wah kamu lagi stres”. Jadi stres bisa terjadi hal-hal yang ringan sampai hal-hal yang besar. Hal-hal yang besar contohnya kita menghadapi pandemi juga jadi stress tersendiri. Atau misalnya, dulu ketika ulangan dan dapat nilai yang jelek itu jadi stress tersendiri.

Sedangkan trauma, didahului oleh peristiwa traumatis terjadi secara mendadak dan umumnya berdampak secara jangka panjang. Secara diagnosa, trauma tidak bisa ditegakkan jika kejadiannya baru terjadi kemarin. Trauma baru bisa ditegakkan ketika minimal setelah 6 bulan dari peristiwanya. Pengaruh trauma umumnya sama setiap orang yaitu menakutkan. Dalam arti, dampaknya cukup besar pada semua orang.

Pada trauma,  biasanya reaksinya sama walaupun bentuk respon traumanya berbeda. Tapi umumnya berpengaruh sama, yaitu buat kita itu sesuatu yang sangat menakutkan, sangat menggetkan. Jadi sesuatu yang di luar ambang kita untuk menerimanya.

“Kalau trauma sendiri pada awalnya istilah yang digunakan di bidang kedoktrean, ada benturan, karena ada benturan, misalnya kalian mengalami kecelakanan biasanya mereka juga akan bilang adanya trauma. Sederhanya, trauma adalah sesuatu luka yang menyakitkan, sebagian sesuatu yang membuat shock yang mengagetkan. Dalam bidang psikologi trauma itu dikaitkan dengan pengalaman mental kita yang luar biasa, yang meyakitkan, di luar batas kita untuk menanganinya. Jadi di luar batas kita untuk menanggungnya,” ungkapnya.

Setelah menjelaskan definisi serta perbedaan dari stress dan trauma, peserta diajak  membahas tentang hasil kuisioner kualitas kehidupan selama tiga bulan terakhir yang diisi sehari sebelumnya. Hasil yang keluar terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu Tingkat Kelelahan, Trauma Sekunder dan Burn Out. Nilai kualitas hidup yang didapat bisa berubah jika diukur kembali satu bulan  berikutnya, serta bisa terus digunakan untuk mengukur kualitas hidup terkait dengan pekerjaan dan kerentanan sebagai pendamping.

Resiliensi

Menjadi pendamping memang  sangat rentan mengalami 3 kondisi diatas. Meski demikian, Ika mengingatkan bahwa sebagai manusia, para peserta yang merupakan Anggota FAMM Indonesia, juga memiliki kemampuan untuk resiliensi, kemampuan menghadapi trauma, tragedi, ancaman yang signifikan. Resiliensi bukanlah merupakan karakter yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang, melainkan bagaimana perilaku, pikiran dan perasaan yang menyertai terus dilakukan dan terus menerus dipelajari.

Secara terperinci, ia menjelaskan, resiliensi adalah kemampuan untuk:

  1. Bangkit kembali dan dapat mengatasi kesulitan secara efektif;
  2. Lentur tetapi tidak patah di bawah tekanan ekstrim;
  3. Menangani kesulitan, bertahan dan beradaptasi bahkan ketika ada yang salah/tidak berjalan sebagaimana mestinya;
  4. Menjaga keseimbangan ketika terjadi peristiwa yang sangat tidak menyenangkan  Merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan waktu dan usaha;
  5. Melibatkan perilaku, pikiran, dan tindakan yang dapat dipelajari dan  dikembangkan oleh siapapun; dan
  6. Membuat individu menjadi tidak terlalu rentan terhadap stres dan mempersiapkan diri untuk tantangan masa depan.

Tapi, bukan berarti yang tidak bangkit tidak memiliki kemampuan Resiliensi. Tiap individu tetap memiliki kemampuan tersebut dan yang paling utama, ia harus belajar untuk lebih menguatkan, karena kemampuan Resiliensi bisa dilatih.

Merawat Diri Untuk Tingkatkan Resiliensi

Meningkatkan Resiliensi sudah menjadi keharusan, khususnya sebagai Pendamping ruang aman. Selama masih hidup, di depan banyak sekali yang harus dihadapi. Jadi Resiliensi adalah strategi mengatasi diri terhadap lingkungan bisa berubah-ubah. Meningkatkan resiliensi bisa dilakukan sebagai bagian dari merawat diri.

“Satu yang mau kita ingatkan. Kebetulan mbak Niken ada kegiatan menulis. Itu bisa menjadi cara kita untuk merawat diri. Atau bahkan menulis jurnal. Rutin menulis itu sangat membantu. Misalnya mbak Niken ada acara, lomba menulis, itu coba manfaatkan, ekspresikan saja apa yang ada dalam diri. Untuk kita lebih mengenali dan membantu kita, dengan, dengan itu resiliensi kita meningkat,” tutur Ika.

Di akhir sesi, Ika mengajak para peserta untuk merefleksikan kembali materi yang sudah disampaikan ke diri sendiri dan kasus yang sedang didampingi.

“Harapanku teman-teman akan tetap bertahan. Mudah-mudahan, karena sekali lagi dan pengalaman yang dibagikan di lembaga masing itu jadi penguatan kita sendiri untuk diberikan lagi ke lembaga dan dampingan,” ucapnya menutup sesi.

Kegiatan awal Pelatihan Pendamping Ruang Aman di Wilayah Kerja FAMM Indonesia 2020/2021 dilakukan 2 kali dalam seminggu, selama 2 minggu secara daring melalui ZOOM. Pelatihan ini dibagi dalam 4 sesi di bulan November dan Desember 2020 dengan durasi 100 menit per sesi.