Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual

Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual

Jakarta, 26 Oktober 2020 – Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es. Data yang dirilis Komnas Perempuan pada tahun 2019 dan diluncurkan pada tahun ini bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional bulan Maret lalu menunjukkan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan sebanyak 431.471 kasus, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus. Data ini menunjukkan bahwa di ranah pribadi dilaporkan kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%) sedangkan di ranah publik atau komunitas ada 64% kekerasan terhadap perempuan adalah Kekerasan Seksual.

Sementara total kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 354 kasus sepanjang Januari-Mei 2020 di semua ranah. Jumlah ini sudah lebih banyak dari total laporan pada 2019, yaitu sebanyak 281 kasus. Jenis kekerasan seksual terbanyak di ranah ini adalah ancaman penyebaran foto/video porno atau revenge porn (81 laporan) sejak maraknya kegiatan online di masa pandemik ini.

Kekerasan berbasis gender di sini dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan, merupakan konsekuensi dari relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan, dimana perempuan ditempatkan sebagai subordinat dari laki-laki.

Sementara menurut Rutgers WPF Indonesia, KBG mencakup serangkaian kekerasan yang lebih luas, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki, minoritas seksual, yang identitasnya gender-nonconforming, yang kerap berakar pada ketidaksetaraan gender & norma gender yang berbahaya yang mendorong kekerasan. Sederhananya, tindakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu

Di Indonesia yang masih kental dengan kultur patriarki, lelaki umumnya memiliki kontrol dan kuasa terhadap anggota keluarga yang lain. Konstruksi sosial yang lekat dengan budaya patriarki pula yang melanggengkan kekerasan berbasis gender. Minimnya keterlibatan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender merupakan salah satu faktor yang membutuhkan perhatian lebih, dimana sebagian besar program-program yang berkembang selama ini masih berfokus pada pemberdayaan perempuan dan belum cukup menyasar akar persoalannya, yaitu norma dan relasi gender laki-laki dan perempuan.

Untuk itu Rutgers WPF Indonesia melalui program Prevention+ yang merupakan kelanjutan dari program MenCare+ ingin mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual sebagai suatu kondisi yang ideal bagi pemenuhan hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi dan membongkar norma-norma gender yang ada.

Prevention+ bertujuan mengurangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan dengan pendekatan pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan dan mempromosikan nilai maskulinitas yang positif berdasarkan nilai kesetaraan dan non kekerasan.

Dengan menggandeng mitra lokal di antaranya Yabima, Sahabat Kapas, Rifka Annisa, Damar, dan Rahima, program Prevention+ sudah berjalan sejak tahun 2016 menyasar 4 wilayah besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandar Lampung, Solo dan Yogyakarta. Program Prevention+ bersifat mencegah atau mengurangi potensi bahaya terabaikannya prinsip kesetaraan gender dan bahaya yang mengancam hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Beberapa kegiatan yang dilakukan Prevention+ selama 5 tahun ini, diantaranya yaitu:

  1. Diskusi komunitas reguler untuk empat kelompok (perempuan dewasa, laki-laki dewasa, perempuan remaja, dan laki-laki remaja) menggunakan modul-modul yang mengangkat tema kesetaraan gender dan pelibatan laki-laki;
  2. Konseling Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) termasuk pendampingan psikososial dan hukum;
  3. Kampanye melalui berbagai media, termasuk media sosial;
  4. Advokasi dari tingkat desa hingga ke tingkat nasional, termasuk menghasilkan beberapa Satgas Penanganan Kekerasan Perempuan dan Anak di wilayah Lampung.

Membuka acara diskusi, Sam August sebagai moderator mengutarakan, diskusi bertajuk Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan tema yang menarik dan memiliki implikasi yang cukup signifikan bagi masyarakat. Karena ternyata, fenomena kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es. Data yang dirilis pemerintah pastinya adalah hanya sebagian kecil dari realita yang ada di lapangan.

Sofiyan Hd dari Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR Lampung menjelaskan, pelibatan laki-laki dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di provinsi Lampung dilakukan dengan latar belakang pertama seperti ungkapan dalam lagu Basofi Sudirman jaman dulu bahwa tidak semua  laki-laki itu merupakan pelaku kekerasan walaupun faktanya di lapangan laki-laki memang mendominasi sebagai pelaku.

Selama ini, upaya pemenuhan hak dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan masih hanya  menggandeng kelompok perempuan. Maka dari itu, bagaimana caranya kemudian melibatkan laki-laki sebagai bagian yang penting dalam melakukan penghapusan dan pencegahan kekerasan.  Saat ini, sudah banyak beberapa kelompok yang melakukan pelibatan laki-laki dalam proses penghapusan dan kekerasan terhadap perempuan. 

Secara garis besar di Indonesia, ia menuturkan konstruksi ketidakadilan gender dan konsep maskulinitas juga berdampak pada kelompok laki-laki.

“Ternyata, konstruksi-konstruksi ketidakadilan gender dan konsep maskulinitas dalam dunia patriarki itu bukan hanya berdampak pada perempuan, tapi juga pada laki-laki,” tuturnya.

Berdasarkan data, angka kekerasan di provinsi Lampung antara 2017 hingga 2018 mencapai  922 kasus kekerasan.  577 kasus terjadi di ranah publik dan 345 kasus di ranah privat.  Jika dirinci dari bentuk kekerasan, kekerasan seksual masih menjadi kasus yang tertinggi yaitu sebanyak  540 kasus, terdiri dari pelecehan seksual, perkosaan dan pencabulan.  KDRT merupakan kasus tertinggi kedua pada tahun  2019. Tahun 2019-2020 dari Januari hingga September 2020, kasus KDRT justru naik, berada di posisi tertinggi. 

Berangkat dari data yang ada, DAMAR akan melakukan atau menyusun strategi yaitu: 

  1. Melakukan kampanye dan pendidikan publik kemudian 
  2. Melakukan diskusi komunitas melalui pembentukan kelompok ayah, laki-laki dewasa dan juga laki-laki muda.
  3. Melakukan pengembangan materi dan advokasi untuk mendorong pelibatan laki-laki. Membangun penyadaran kepada pemerintah desa untuk memiliki pengetahuan dan kesadaran, serta keinginan baik untuk menyusun sebuah kebijakan terkait bagaimana melakukan pencegahan dan penanganan kepada perempuan korban kekerasan.

Inovasi yang dibangun DAMAR untuk intervensi pada perilaku sebagai bagian dari upaya untuk pencegahan adalah melakukan pendampingan/konseling terhadap pelaku seperti yang ada dalam undang-undang PKDRT pasal 50 yaitu konseling dapat diberikan sebagai pidana tambahan, sehingga memungkinkan untuk memaksa berlaku untuk melakukan konseling.

Tujuan dilaksanakannya strategi-strategi tersebut antara lain untuk membangun ruang bagi laki-laki, bersikap dan mengambil posisi melawan kekerasan terhadap perempuan dan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Banyak kelompok laki-laki yang tidak setuju dengan kekerasan terhadap perempuan, menginginkan di akhiri kekerasan terhadap perempuan namun menjadi mayoritas yang dia, sehingga penting untuk juga mengajak mereka membuka ruang-ruang tersebut.Semakin bertambahnya laki-laki yang bergerak untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, dimulai dari dirinya sendiri. 

Konseling kepada pelaku berlaku mutlak diperlukan karena:

  1. Berdasarkan fakta yang didapat di  lapangan,  sebagian besar korban tidak berkeinginan memenjarakan pelaku. Korban hanya ingin memberikan  efek kejut saja untuk pelaku. Korban sebenarnya ingin pelaku sadar kemudian tidak melakukan kekerasan lagi dan sebagainya.  Memenjarakan pelaku menimbulkan persoalan baru bagi perempuan, seperti terganggunya perekonomian rumah tangga dan berdampak pada psikologi anak-anak. 
  2. Melihat dari kepentingan korban, rekonsiliasi korban dengan pelaku diperlukan dalam proses pendamaian korban dengan diri sendiri juga menjadi penting.
  3. Kekerasan tidak akan pernah terhapuskan jika pelakunya tidak pernah belajar pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan. Tanpa bekal yang cukup, maka kekerana akan kembali terulang.

Hasil dari program yang dilakukan DAMAR di provinsi Lampung selama 5 tahun antara lain

  1. Meningkatnya  opini masyarakat  tentang pentingnya pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan
  2. kelompok ayah dan pemerintah Desa di Purwodadi sampai dengan desa Tegal Ombo mulai mempromosikan pentingnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan 
  3. kelompok Ayah yang sudah sering kita ajak diskusi sudah mulai ada perubahan pola pikir terhadap penghapusan kekerasan, kemudian terkait dengan konseling pelaku bermanfaat bagi masyarakat karena ini menjadi pencegahan jangka panjang.
  4. Pemerintah desa Purwodadi dan Tegal Ombo  sudah mengeluarkan surat keputusan untuk membentuk Satuan Tugas dan pencegahan dan penghapusan terhadap kekerasan perempuan dan anak.

Sementara itu, Defirentia One M dari Woman Crisis Center Rifka Annisa menjelaskan, Rifka Annisa telah bekerja menangani Kasus Kekerasan terhadap perempuan berbasis gender sejak 1993 melaporkan, setiap tahunnya menangani lebih dari 300 kasus, khusus untuk tahun 2020 selama Covid-19 pengaduan kasus menjadi 2 sampai 3 kali lipat.

Tahun 2019-Sept 2020 dikalkulasikan ada 271 Kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang dilaporkan dan didampingi Rifka Annisa, Kekerasan dalam pacaran sebanyak 64 kasus,  Kekerasan dalam keluarga 58 Kasus, Pelecehan seksual 48 kasus,  Perkosaan 48 kasus dan trafficking 15 kasus. Sebagian besar korban pada kasus kekerasan seksual dan trafficking adalah perempuan muda yang masih berusia remaja.

Sejak tahun 2007, Rifka Annisa melakukan refleksi terhadap layanan yang telah disediakan, yakni layanan  konseling dan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. Sebagian besar kasus yang dilakukan adalah KDRT.

Dari pengalaman selama ini,  didapatkan bahwa sebagian klien yang didampingi memutuskan untuk mempertahankan keluarga, mereka hanya ingin mengakhiri kekerasan yang dilakukan pasangannya.  Para klien masih memiliki harapan bahwa pasangannya masih bisa berubah, sehingga para klien  ingin menguatkan konsep diri.

Atas pengalaman tersebut, Rifka Annisa berefleksi bahwa pendamping korban kekerasan tidaklah cukup. Perlu adanya strategi lain agar nantinya harapan klien yang kembali ke pasangan mereka dapat didukung oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh  pasangannya.

Sehingga tahun 2007, Rifka Annisa menyediakan layanan konseling perubahan perilaku untuk laki-laki yang melakukan KDRT. Konseling yang telah dilakukan bertahun-tahun ini di temukanlah jawaban kenapa laki-laki melakukan kekerasan

  1. Patriarchal Power (budaya patriarki) yang memberikan laki-laki kuasa lebih dibanding perempuan, sehingga Kekerasan seringkali digunakan laki-laki untuk mempertahankan control, dominasi, kekuasaan terhadap pasangannya.
  2. Privilege & Entitlement, beberapa penelitian RA membuktikan bahwa motivasi Laki-laki melakukan kekerasan karena laki-laki merasa berhak untuk mendisiplinkan pasangan.
  3. Permission. Kekerasan dapat terjadi karena adanya budaya permisif terhadap perilaku kekerasan, orang cenderung diam, tidak melakukan tindakan pencegahan pada kekerasan oleh laki-laki terhadap pasangannya, menyalahkan korban, membangun justifikasi atas perilaku kekerasan yang dilakukan laki-laki dan lain-lain.
  4. Laki-laki tidak selalu bisa memenuhi idealitas laki-laki yang diinginkan dimasyarakat sehingga cenderung stress. Ketidakmampuan laki-laki tersebut dapat menimbilkan krisis maskulinitas, sehingga laki-laki dapat mengelola emosi, tertekan dan mejadi bom waktu sehingga melampiaskan kepada orang lain.
  5. Laki-laki tidak dibiasakan untuk ekspresif dan asertif  untuk mengungkapkan emosinya, sehingga ketika mereka marah, stress kebanyakan memendam sendiri atau melampiaskan dengan cara-cara yang abusif.
  6. Pengalaman kekerasan yang dialami pada  masa lalu. Faktor ini sering terlihat di banyak kasus yang ditangani oleh Rifka Annisa.  Laki-laki dengan pengalaman kekerasan pada masa sebelumnya berpotensi melakukan kekerasan ketika ia dewasa.

Hal ini menjadi catatan Rifka Annisa untuk mencegah laki-laki dewasa untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

Program Prevention+ memfasilitasi Rifka Annisa agar lebih menjangkau laki-laki lebih luas untuk melibatkan mereka dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki perlu dilibatkan karena

  1. Laki-laki sebagai individu tidak banyak mengetahui dampak/resiko kekerasan yang akan dialami dirinya sendiri dan lingkungan, sehingga harus diatasi untuk mencegah melakukan kekerasan. Karena laki-laki menjadi bagian dari anggota masyarakat yang dikenai konstruksi gender maskulinitas dalam struktur sosial masyarakat
  2. Dari sisi pasangan, laki-laki perlu dilibatkan untuk mendukung pasangannya, mendorong kepemimpinan perempuan, berbagi peran bersama pasangan dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan tanpa kekerasan dalam berelasi ataupun dalam keluarga.
  3. Laki-laki meskipun stigmanya menjadi pelaku kekerasan, tapi Rifka Annisa melihat laki-laki punya potensi sebagai  Agen perubahan melakukan perubahan nilai-nilai gender di komunitasnya maupun di tingkat pembuat kebijakan yang pro perempuan, keadilan dan kesetaraan gender.

Rifka Annisa juga melihat, Strategi melibatkan laki-laki juga dapat mempercepat proses pencapaian kesetaraan gender dengan alasan bisa menjadi agen perubahan  dan lebih banyak laki-laki yang tidak melakukan kekerasan, namun selama ini mereka hanya diam. Sehingga, keterlibatannya menjadi penting dalam pencegahan. Selain itu, agar laki-laik tidak hanya dilihat sebagai bagian dari masalah (dalam konteks laki-laki sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak), tetapi juga dilihat sebagai bagian dari solusi terhadap masalah untuk mencegah kekerasan.

Laki-laki adalah kelompok silent majority yang sesungguhnya juga memiliki keprihatinan dan kepedulian dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak namun belum menyuarakan pendapatnya. Laki-laki, walaupun mendapat keistimewaan dari konstruksi gender dalam budaya patriarki, sesungguhnya juga mengalami kerugian dari konstruksi gender yang tidak setara tersebut sehingga laki-laki juga mengalami hambatan dalam pengembangan dirinya.

Program Prevention+ yang dilakukan Rifka Annisa mulai dari level Individu, Keluarga, Komunitas hingga advokasi pada sistem kebijakan.

Intervensi di level individu berupa kegiatan konseling bagi laki-laki pelaku KDRT, melibatkan laki-laki di komunitas untuk melakukan diskusi bersama. kelas ibu yang diikuti oleh laki-laki peserta kelas ayah dan pasangannya, serta kelas remaja dengan prinsip deteksi dini perilaku yang mengarah kepada kekerasan. Karena berdasarkan pengalam Rifka Annisa menangani 300 kasus, tujuan kelas ini relevan dengan faktor-faktor penyebab kekerasan.

Intervensi di level komunitas dengan melakukan kampanye melalui Komunitas Laki-Laki Peduli. Sedangkan pada level organisasi, melakukan advokasi agar institusi memiliki prespekti yang transformatif gender agar upaya-upaya yang dilakukan pemerintah  dapat kontekstual dengan permasalahan yang dialami oleh masyarakat.

Advokasi melibatkan kepolisian pemerintah, organisasi yang startegis, berbasis masyarakat dan agama, dll dalam workshop atau diskusi tentang  pendekatan transformasi gender dan menjadi stakeholder pada upaya penanganan dan pencegahan kekerasan.

Adapun tantangan dalam melibatkan laki-laki diantaranya pentingnya pendekatan komprehensif tidak hanya menyasar pada perubahan perilaku baik level individu dan perubahan norma-norma dan perubahan struktural, Akuntabilitas pelibatan laki-laki di level interpersonal (pasangan) dan level struktural (kebijakan — perspektif, sinergi program, pemetaan stakeholder). Perspektif laki-laki  harus dibangun, keterlibatannya tidak hanya partisipatif saja tapi substantif.

Kemudian, masih adanya tekanan sosial serta stigma sehingga seringkali merasa tidak memiliki dukungan. Oleh karena itu, intervensi lingkungan sosial dan struktural penting untuk dilakukan. Pentingnya pendekatan gender transformatif sebagai alternatif pendekatan sensitif gender. Perlu ada perubahan nilai, norma, perilaku dan relasi kuasa agar laki-laki mampu menggunakan agensinya untuk mencegah Gender-Based Violence (GBV).

Tantangan lainnya adalah masih rendahnya help seeking behaviour pada laki-laki , masih ada anggapan bahwa konseling itu sama dengan ‘curhat’ yang bertolak belakang dengan ego maskulinitas. Laki-laki merasa bisa menyelesaikan masalah sendiri. Hal ini mengakibatkan Upaya konseling laki-laki untuk perubahan perilaku terkendala karena sulit mengajak laki-laki konseling secara sukarela. Yang terakhir, masih terbatasnya layanan konseling untuk laki-laki.

Melihat hal ini, Rifka Annisa mencatat perlunya pemetaan stakeholder yang lebih strategis kedepannya  dalam upaya pelibatan laki-laki untuk menghapuskan GBV (lembaga, non lembaga) dengan melibatkan  Lembaga-lembaga yang pernah dilibatkan oleh Rifka Annisa: KUA, Dinas/Instansi, Pengadilan Negeri, Kepolisian, Lapas, Bapas, dll

Adapun perubahan dan capaian dari program yang dilakukan Rifka Annisa antara lain, sebanyak 8.605 orang telah menjadi penerima manfaat, yang terdiri dari individu, tokoh, instansi dan organisasi masyarakat. 1.229 orang mengikuti serial diskusi yang terdiri dar 696 Perempuan dan 533 Laki-laki. Kemudian hadirnya Role model, fasilitator, sebagai penggerak di komunitas.

Dalam ruang lingkup kebijakan, telah diterbitkannya Peraturan Bupati Gunungkidul No. 48 terkait Perlindungan Perempuan dan Anak, MoU dengan Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta tentang konseling pada korban dan pelaku, MoU tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak dan Pencegahan KDRT di Desa Panduan Layanan Berjejaring bagi Forum Perlindungan Korban Kekerasan di provinsi DIY.

Secara keseluruhan, Rifka Annisa merekomendasikan program dengan mengajak laki-laki sebagai mitra dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih minim di Indonesia. Ia menekankan,  langkah ini masih perlu diperluas serta lebih banyak melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan laki-laki muda.

Kemudian, meningkatkan advokasi terkait implementasi Pasal 50 Huruf B UU PKDRT yang mengatur kewajiban konseling bagi laki-laki pelaku kekerasan, memperkuat lembaga layanan untuk memberikan konseling pasangan dan konseling perubahan perilaku kepada laki-laki, karena di Indonesia jumlahnya masih minim

Lalu membuat program pemberdayaan perempuan dengan melibatkan pasangan sebagai strategi yang perlu diterapkan untuk mempercepat perubahan norma gender dan yang terakhir mendiring mendorong pengesahaan RUU PKS.

“Saya kira ini juga menjadi agenda besar yang menjadi PR kita, karena Indonesia sendiri juga belum memiliki hukum khusus untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Karena dengan adanya Undang-Undang ini, tidak hanya berfungsi kepada penanganan, tapi juga pemulihan dan pemenuhan hak bagi korban.” tutupnya.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Program dari mitra lainnya yaitu Nurlaila Yukamujria selaku Manager Program Sahabat Kapas, Pera Sopariyanti, Direktur Rahuma dan Eko Nugroho, selaku Manajer Program Yabima Indonesia.

Para peserta yang hadir dalam diskusi daring juga mendapat kesempatan untuk berdialog dan menyampaikan pertanyaan kepada masing-masing narasumber.

Laporan hasil diskusi ini ditulis oleh Angelino, Tim Redaksi @perempuanberkisah

Summer foot: swa.co.id