Kekerasan oleh Babysitter Membuatku Obesitas dan Menderita Gangguan Makan

Kekerasan oleh Babysitter Membuatku Obesitas dan Menderita Gangguan Makan

“Kok kakak dan adikmu bisa kurus, kamu gendut sendiri?”

“Pasti makanmu selalu banyak, ya? Nggak suka sayur, ya?”

Sebagai satu-satunya anak gemuk (perempuan pula) dalam keluarga, pertanyaan dan komentar sejenis sudah jadi ‘makanan sehari-hari’ – ku sejak kecil. Ya, berbeda dengan kakak perempuanku yang jangkung dan ramping, aku memang pendek dan gemuk. Entah kenapa masih banyak yang menganggap ciri-ciri fisikku itu sebagai sesuatu yang hina dan memalukan, alias ‘tidak cantik’.

Di baliknya, ada cerita yang cukup membekas…

Usia 3 Tahun dan Babysitter Kasar

Ya, aku memang mendapatkan gen mudah gemuk dan tulang besar dari keluarga kedua orang tuaku. Almarhumah nenek dari pihak ibu pendek dan gemuk, sementara almarhum Papa juga gemuk. Namun, hal ini ditambah dengan peristiwa yang terjadi saat usiaku masih tiga tahun. Setiap kali Mama mengungkit-ungkitnya, aku bisa melihat bahwa diam-diam beliau masih merasa bersalah.

Papa dan Mama dulu sama-sama bekerja di kantor. Karena itu, mereka menyewa babysitter paruh waktu untuk menjagaku, kakak, dan adikku waktu kami masih sama-sama kecil. Mereka juga bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya sebelum Mama pulang di sore hari.

Singkat cerita, salah satu babysitter ternyata sering berbuat kasar padaku. Menurut cerita Mama, waktu itu aku sedang mengalami fase susah makan. Karena kehilangan kesabaran, akhirnya babysitter itu melakukan hal yang ekstrim:

Beliau menyuapiku dengan paksa. Menunya selalu sama, nasi putih dengan sambal atau cabai yang banyak. Agar aku tidak melarikan diri, babysitter itu duduk di atas bangku, sementara aku duduk di bawahnya. Beliau menjepit kepalaku dengan kedua tungkainya setelah memaksaku mendongak dan membuka mulut.

Disertai bentakan dan ancaman, beliau terus mencekokiku penuh-penuh dengan tiap sendok berisi nasi dan cabai atau sambal. Semakin keras aku menangis atau memuntahkan makanan kembali, semakin banyak yang disuapkan secara paksa ke dalam mulutku.

Karena ketakutan dan tidak ingin terlalu lama tersiksa, akhirnya kutelan bulat-bulat semua yang disuapkan secara paksa ke mulutku. Namanya juga anak kecil. Aku tidak berani mengadu pada Papa dan Mama, sementara si babysitter selalu tampak ramah dan sopan setiap kali mereka pulang kantor.

Ada yang Mengadu

Tidak tahan melihat perlakuan si babysitter padaku, akhirnya ada yang mengadu pada Mama. Tetangga seberang rumah dan salah satu babysitter lain bercerita, sehingga akhirnya si pelaku dipecat oleh Mama. Menurut pengakuan Mama, saat diperiksa dokter, ternyata lambungku (untuk ukuran anak balita saat itu) sudah membengkak. Zat asam yang banyak terdapat di makanan pedas dan porsi makan besar yang dipaksakan menjadi penyebabnya.

Penyebab lainnya tentu saja stres dan tekanan emosional yang berlebihan. Meskipun menurut pengakuan Mama aku tidak mengadu dan menangis seperti layaknya anak-anak seusiaku saat itu, efek jangka panjangnya baru terasa bertahun-tahun kemudian. Apalagi, kasus kekerasan domestik terhadap anak saat itu belum terlalu ditanggapi serius seperti sekarang. Mungkin juga mereka baru menganggapnya begitu bila pelakunya orang tua sendiri, bukan orang lain alias pekerja rumah tangga untuk keluarga.

Efek Traumatis Jangka Panjang

Karena aku tidak pernah menunjukkan gejala trauma dengan jelas, Mama mengira aku baik-baik saja. Aku tidak pernah menangis atau mengeluh. Perilakuku sama seperti sebelum peristiwa itu.

Sayangnya, efek traumatis jangka panjang ternyata sudah mengendap di alam bawah sadarku.

“Ah, pedesnya gak seberapa. Elo aja yang lebay.”

“Oh, lo gak suka sambel? Padahal enak banget, loh.”

“Hihi, baru kali ini ketemu orang Indonesia yang gak suka makanan pedes.”

Selama beberapa saat, aku pernah sangat membenci cabai, sambal, dan semua yang serba pedas. Aku tidak peduli bila seluruh dunia mengklaim bahwa masakan pedas adalah menu terenak. Bahkan, aku bisa langsung kehilangan selera makan atau marah bila sampai ada yang memaksakan selera.

Bukannya aku tidak pernah mencoba mengalahkan rasa benciku pada yang serba pedas. Meskipun kini sudah cukup bisa mentoleransi pedas minimal, seperti pedas-manis, aku tetap tidak bisa makan makanan yang terlalu pedas. Selain lidah terasa terbakar, biasanya aku langsung sakit perut yang cukup parah.

“Kenapa? Kalo udah kenyang, nggak apa-apa. Gak usah dipaksa.” Seorang sahabat pernah memandangku heran saat aku berjuang menghabiskan pancake yang dihidangkannya untukku satu malam. Entah kenapa, porsi yang diberikannya agak terlalu banyak. Namun, aku merasa tidak enak bila tidak menghabiskannya. Selain mubazir, aku takut dia merasa tidak dihargai.

Itulah yang kulakukan sejak kecil dulu. Khawatir akan kena marah, aku selalu berusaha menghabiskan semua makanan yang diberikan untukku. Meskipun sudah kenyang atau sedang tidak berselera makan karena sakit, kupaksakan untuk mengosongkan piring. Bahkan, bila ada yang memintaku membantu menghabiskan sisa makanan mereka (seperti Mama misalnya), aku akan langsung menyanggupi.

Sewaktu kecil, sepertinya semua orang senang bila aku selalu menghabiskan atau menambah porsi makanan. Tidak ada yang marah-marah seperti babysitter yang menakutkan itu. Sepertinya aku menjadi anak yang menyenangkan, baik, dan manis. Meskipun demikian, lama-lama aku terganggu juga dengan ulah mereka yang berusaha membuatku merasa bersalah karena enggan membantu menghabiskan sisa makanan mereka:

“Sedikit lagi. Sayang. Biasanya kamu bisa, ‘kan?” Bila mengaku kenyang, aku langsung dicap jaim. Padahal, harusnya mereka yang bertanggung jawab dengan pesanan mereka sendiri. Kenapa aku diperlakukan seperti tong sampah untuk makanan sisa mereka?

Waktu itu aku tidak tahu, bahwa alam bawah sadarku terlalu lama menyimpan trauma tersebut…

Melawan Overeating Disorder Hingga Stigma yang Sempat Bikin Minder

Beranjak remaja, pola makanku mulai dianggap bermasalah. Apalagi, aku anak perempuan dan masyarakat patriarki sudah menentukan standar kecantikan tertentu bagi perempuan. Menurut mereka, perempuan seperti kakakku – yang tinggi, langsing, feminin, dan berambut panjang lurus – adalah perempuan dengan kecantikan yang cukup ideal.

Butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya mulai menerima diriku apa adanya. Meskipun tak pernah berbakat atlit, aku tetap berusaha berolahraga serutin mungkin. Fokusku hanya untuk lebih sehat, bukan kurus. Aku terus berusaha melawan overeating disorder, apalagi karena selama ini aku selalu menjadikan makanan sebagai pelarianku bila sedang merasa sedih atau tertekan.

Aku juga berusaha makan dengan porsi secukupnya. Berlawanan dengan tuduhan banyak orang, aku suka sayuran dan buah-buahan. Tentu saja, porsinya yang harus lebih sehat dan jadwal makan teratur.

Mengapa aku baru berani bercerita sekarang? Jujur, aku sempat takut banyak orang yang malah akan menyalahkan Mama. Tahu sendiri ‘kan, kalau ada kasus seperti ini, ibu selalu jadi orang tua paling pertama yang disalahkan. Salah ibu karena memilih bekerja di luar rumah, alih-alih menjadi ibu rumah tangga demi anak-anaknya. Salah ibu yang terlalu sibuk.

Kedua saudaraku untungnya tidak sampai mengalami hal serupa. Kebetulan, kedua babysitter mereka sama-sama baik. Mengingatnya kembali, ada banyak kemungkinan terkait babysitter pelaku kekerasan tersebut. Kemungkinan besar, beliau sendiri juga seorang ibu yang kelelahan karena beban kerja ganda. Abainya masyarakat Indonesia yang patriarkis akan pentingnya kesehatan mental perempuan juga memperparah tekanan emosional yang diderita banyak perempuan bekerja. Kebetulan, akulah yang waktu itu sasaran pelampiasan terdekat.

Aku juga tidak ingin Mama yang jadi disalahkan gara-gara peristiwa ini. Bukan salah beliau. Mama adalah ibu terbaik untukku. Beliau sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, meskipun mungkin tidak sesuai standar patriarki soal ‘ibu yang sempurna’. Bukan salah Mama bila babysitter yang pernah mengurusku dulu ternyata melakukan kekerasan padaku. Mana Mama tahu? ‘Kan beliau bukan cenayang yang bisa baca pikiran orang.

Lalu, kenapa akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan hal ini? Manusia memang paling mudah menilai sesamanya dari segi rupa, padahal belum tentu mereka tahu cerita di baliknya. Lagipula, yang punya tubuh siapa, kenapa yang ribut lagi-lagi mereka? Toh, mereka tidak merasa dirugikan secara langsung. Kalau tidak suka, cukup tidak usah melihat. Biarkan yang punya tubuh berusaha sehat dengan cara mereka sendiri, bukan karena nyinyiran orang lain.