“Jangan pakai kontrasepsi kalau belum punya anak, hati-hati nanti jadi sulit punya anak, bisa mandul!” “Jangan pakai yang ini, nanti kamu jadi gembrot, suami gak suka lagi” “Jangan pakai yang itu, karena itu dimasukkan ke dalam, nanti terasa dak enak di suamimu waktu berhubungan, kasihan!”
Siapa yang tidak familiar dengan kalimat-kalimat seperti ini? Sadar gak sih, saat para perempuan akan memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi, beragam suara sumbang turut memengaruhi keputusannya? Misalnya saja pengaruh dari ibu, mertua, pacar, tetangga, dan orang-orang lain yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam urusan kontrasepsi seorang perempuan, bahkan ikut andil dalam mempengaruhi keputusan perempuan tersebut.
Begitu ramainya suara-suara sumbang ini sampai perempuan lupa untuk berkonsultasi dengan ahli bahkan dengan pasangan sendiri, tentang kontrasepsi yang mana yang paling baik untuk mereka?
Tenaga Medis pun Masih Ada yang Menghalangi Hak Perempuan untuk Mendapat Layanan
Selain keluarga, tetangga dan teman, tak jarang menemukan fakta bagaimana seorang tenaga medis masih menghalangi hak seseorang untuk mendapatkan layanan kontrasepsi. Khususnya, ketika kita bicara soal pelayanan perorangannya. Contohnya seperti perempuan yang belum menikah, tidak boleh mendapatkan kontrasepsi atau bahkan diminta dulu surat nikah atau izin dari suami untuk berkontrasepsi. Atau, saat belum ada anak atau anak baru satu, ditakut-takuti saat ingin berkontrasepsi.
Alih-alih memberikan edukasi, menjelaskan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode kontrasepsi dan memberikan kebebasan bagi pasien untuk memilih sesuai kebutuhannya, justru tenaga medis memaksakan nilai moral pribadinya kepada pasien. Ini pun sebenarnya adalah pelanggaran hak pasien.
Awal Mula Pemaksaan Penggunaan Kontrasepsi pada Perempuan
Sebalum lebih jauh masuk realita penggunaan alat kontrasepsi, mari saya ajak sejenak masuk ke sejarahnya. Generasi 80-90an pasti familiar dengan jargon “Dua anak cukup!” yang ditampilkan dalam iklan di televisi dengan figure keluarga lengkap, ada ayah, ibu dan dua orang anak. Katanya sih anak lak-laki atau perempuan sama saja, tapi dalam iklan tersebut anaknya selalu 1 laki-laki dan 1 perempuan. Jargon ini adalah bagian dari program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1970, untuk menekan laju pertumbuhan penduduk demi meningkatkan perekonomian pada zaman itu dengan penggunaan KB secara massif di seluruh Indonesia.
Sebenarnya usulan untuk membatasi jumlah kelahiran di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950-an, beriringan dengan mulai berkembangnya pil kontrasepsi dan metode kontrasepsi lainnya. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) bahkan sudah dibentuk sejak tahun 1957, tetapi pada zaman itu ide ini masih dianggap amoral. Membatasi kelahiran sama saja dengan menghentikan kehidupan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Akibatnya program ini tidak bisa berkembang.
Baru pada era Orde Baru (Orba) lah, program KB mendapat dukungan penuh, bukan hanya oleh Presiden Soeharto tetapi juga oleh organisasi luar negeri termasuk Bank Dunia. Namun meminta masyarakat mengubah value dari “Banyak anak banyak rezeki” menjadi “Keluarga kecil bahagia sejahtera” tidaklah semudah membalik telapak tangan. Maka diadakanlah kegiatan KB massal sampai ke desa-desa dengan dihadiri oleh TNI dan polisi untuk memastikan kegiatan berjalan lancar dan target penggunaan KB terpenuhi.
Meskipun tidak demokratis, tetapi cara ini terbukti tokcer (ampuh). Indonesia bahkan meraih penghargaan dari United Nation Population Award dari UNFPA pada tahun 1989, atas keberhasilan program KB ini. Negara kita menjadi model pembangunan program KB nasional yang kuat. Bukan tanpa alasan, Jumlah pengguna kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) meningkat dua kali lipat hingga mencapai 60% antara tahun 1976 dan 2002. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) berkurang hingga setengahnya, dari 5.6 menjadi 2.6 anak per wanita. Kontrasepsi yang dipaksakan pada perempuan menjadi salah satu dasar laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup stabil, yaitu sebesar 5% per tahun sejak tahun 1980.
Program Pembatasan Nikah Usia Anak
Program ini masih dilanjutkan sampai sekarang dengan beberapa pengembangan, yaitu bukan lagi hanya untuk mencegah kehamilan. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak, yaitu dengan menentukan usia berapa ingin menikah. Sehingga usia menikah tidak terlalu muda, apalagi masih usia anak. Termasuk kapan mau punya anak pertama, mau langsung atau menunda dulu, jarak usia antar anak, berapa anak yang diharapkan dan tentang pilihan kontrasepsi yang mau digunakan.
Kontrasepsi adalah bagian dari layanan kesehatan yang adalah salah satu hak asasi warga negara yang harus dijamin oleh pemerintah. Pemerintah era Orde Baru melakukan upaya yang terlalu berlebihan dan otoriter, tetapi pemerintah pasca Orde Baru pun tidak lebih baik. Upaya penyediaan kontrasepsi di sejumlah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) secara gratis banyak mengalami kendala. Distribusi yang belum merata akibat kesulitan akses terutama di daerah-daerah pelosok di Indonesia menjadi kendala.
Perempuan Pedalaman Masih Sulit Akses Kontrasepsi
Pengalaman saya saat bekerja di daerah, bertemu dengan banyak sekali perempuan yang kesulitan akses pada kontrasepsi ini. Seorang ibu misalnya, menggunakan KB suntik 1 bulan yang biasa dia dapatkan gratis di Puskesmas, tapi untuk menuju ke Puskesmas ia harus berjalan kaki setengah hari atau menunggu menumpang mobil yang belum tentu lewat setiap hari. Sesampainya di Puskesmas, ternyata stok sedang kosong karena ada keterlambatan pengiriman.
Bagaimana perempuan bisa merencanakan dan mendapatkan kehidupan yang baik bila hak-haknya tidak terpenuhi seperti ini? Perempuan harus berkorban banyak hanya agar haknya terpenuhi.
Lalu Kenapa Perempuan yang Banyak Dibahas?
Kenapa pula dari tadi hanya perempuan saja yang dibahas? Dalam kenyataannya kan ada juga kontrasepsi yang bisa digunakan oleh laki-laki agar laki-laki pun bisa ikut berpartisipasi.
Memang benar, tapi coba kita telaah lebih jauh. Ada berapa banyak metode kontrasepsi perempuan dan berapa metode kontrasepsi untuk laki-laki? Perempuan bisa menggunakan gel spermisida, kondom perempuan, diafragma, pil KB, KB suntik, implant, IUD, tubektomi sementara laki-laki menggunakan coitus interruptus, kondom dan vasektomi.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2013, partisipasi perempuan usia kawin dalam berkontrasepsi adalah 93,6% sementara laki-laki hanya 6,3%. Apakah ini adil? Padahal kita semua tahu bahwa untuk terjadinya kehamilan dibutuhkan sperma dan sel telur, tapi mengapa perempuan yang dibebani tanggung jawab lebih berat untuk berkontrasepsi? Kenapa perusahaan2 senang menarget perempuan, mengambil keuntungan finansial dari perempuan, padahal di saat yang bersamaan tidak memberikan kesejahteraan pada pekerja perempuan?
Sebenarnya di negara-negara lain sudah dilakukan beberapa percobaan untuk penemuan kontrasepsi jenis lain pada laki-laki, termasuk kontrasepsi hormonal tetapi produk-produk ini tidak pernah berakhir di rak apotek. Mengapa? karena riset pasar menyatakan bahwa laki-laki tidak menginginkan produk ini. Kontrasepsi hormonal memberikan efek samping yang bisa melukai ego laki-laki mereka yaitu kenaikan berat badan, mood swing dan penurunan libido.
Maka lingkaran setan itu pun berputar lagi
Kita semua harus sampai pada kesadaran bahwa kontrasepsi tidak pernah hanya soal rahim, kontrasepsi adalah juga soal ekonomi, bisnis, sosial dan politik. Selama kita masih berkutat pada debat superfisial apakah perempuan belum menikah boleh menggunakan kontrasepsi atau apakah edukasi seks perlu diberikan di sekolah, dan selama budaya patriarki masih bercokol di dunia ini, maka selama itu pulalah, perempuan sebagai Sang empunya rahim akan selalu jadi objek dalam perkontrasepsian.
Referensi:
Info dari Kemenkes RI Situasi dan Analisis Keluarga Berencana
https://tirto.id/sejarah-kb-dan-ide-dua-anak-cukup-dari-era-sukarno-sampai-soeharto-ecJj