Butuh 5 tahun untuk saya mempersiapkan hari ini. Hari dimana saya bisa berbagi cerita mengenai hal yang saya sembunyikan terutama di hadapan orang-orang “baru”. Suatu hal yang tidak mudah diterima warga +62, karena dianggap menentang tatanan sosial yang sudah terbentuk menahun.
Percayalah, saya pun mengalami kesulitan awalnya untuk menerima. Kemudian saya tersadar, kalau bukan saya sendiri siapa lagi yang mau menerima diri saya ini? Kalau terus menunggu untuk siap, kapan siapnya?.
Untukmu yang sedang dan berencana akan terus membaca artikel ini sampai habis, kamu tidak perlu jadi saya untuk memahami arti “tubuh saya, otoritas saya, tanggung jawab saya” (kalimat ini didapat dari Ibu saya).
Saya mau mengungkapkan pendapat saya mengenai makna “tanggung jawab atas tubuhmu” terkait apa yang saya alami di 2015 lalu. Saat itu saya berusia 21 tahun, penuh ambisi mengejar cita-cita sebagai wanita karier dan meraih gelar Master dari universitas luar negeri yang sudah diidam-idamkan sejak SMP.
Aku berencana S2, kupersiapkan semuanya bersama seorang lelaki
Berbekal keingintahuan yang besar dan energi yang nggak ada habis-habisnya, saya menyiapkan segala dokumen persyaratan pengajuan beasiswa S2 sambil menjadi orang kantoran untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Didampingi seorang laki-laki yang sudah saya kenal sejak tahun 2013 dan cukup setia menemani masa perkuliahan saya sejak masih di Bandung.
Bisa dibilang kehadirannya cukup membuat saya terlena, sehingga saya suka lupa dengan urusan saya, yaitu bekerja dan menjalankan rencana S2. Tapi yang lebih mengkhawatirkan, saya lupa dengan yang paling utama yaitu urusan menjaga tanggung jawab atas tubuh dan diri saya sendiri.
Tapi, aku hamil. Sungguh, rasanya bagaikan kiamat!
Singkat cerita, saya kira 26 April 2015 adalah hari kiamat. Saya hamil, tanpa ikatan pernikahan, dan tidak tahu bagaimana cara melanjutkan kehidupan setelahnya. Laki-laki itu pun menolak untuk menemani saya melewati fase berat ini. Kebayang kan gimana paniknya saya saat itu? Dalam waktu singkat saya harus mengubah semua rencana hidup dan menunda ambisi-ambisi yang sudah ada dalam otak sebelumnya.
Keluargaku Support System-ku
Terima kasih saya ucapkan tiada henti untuk keluarga dan teman terdekat yang tidak pernah meninggalkan saya hingga hari ini. Mereka lah yang menemani di setiap prosesnya dan sampailah saya disini sekarang. Membesarkan anak laki-laki saya, Bramantyo sebagai seorang ibu tunggal, menjalani hari dengan desain hidup yang sudah dirancang ulang.
Dari sekian hal yang terjadi dalam hidup saya, saya menyadari beberapa pembelajaran penting dalam hidup saya.
Pertama, jangan pernah meminta atau berharap orang lain akan menjaga diri kita.
Dari cerita diatas, sempat saya merasa marah serta menyalahkan ketika seorang laki-laki memutuskan untuk tidak lagi menemani saya menjalani proses baru dalam kehidupan saya yang kalo dipikir dia-pun memiliki andil besar didalamnya. Tapi, sebenarnya tidak berhenti disitu.
Saya melakukannya secara sadar dan tanpa paksaan pada saat itu, hanya saja saya tidak berpikir panjang mengenai resiko yang akan saya hadapi dari tindakan tersebut. Wajar sih, kalau ada yang bilang, “Ya namanya kan juga lagi sayang-sayangnya. Apalagi nggak nyangka kalo pasangan kita sendiri yang kita sayang dan percaya, ternyata tega ninggalin.” Tapi, pemakluman seperti inilah yang seharusnya bisa dikendalikan sejak awal.
Bagaimana pun, yang perlu disadari adalah semua keputusan hidup yang kita ambil harus siap kita pertanggungjawabkan. Termasuk keputusan berhubungan seksual tanpa pengaman dan ikatan pernikahan. Kesadaran seperti ini tidak bisa didapat ketika orang lain yang mengingatkan, melainkan diri kita sendiri yang harus mengevaluasi sebelum melakukannya. Ini adalah bentuk tanggung jawab paling dasar yang bisa kita lakukan untuk ke depannya.
Kedua, kalau kamu memutuskan untuk tetap melakukannya, please acknowledge yourself first with some educative facts.
Semakin banyaknya kejadian hamil di luar nikah di Indonesia salah satunya disebabkan karena masih kurangnya pendidikan seks yang selalu dianggap terlalu vulgar atau dini untuk diajarkan. Well then, seek informations to the right directions. Nggak cukup sekedar mengikuti pelajaran Biologi dan belajar organ reproduksi. Tapi pahami betul tentang prosesnya, positif dan negatifnya.
Jadilah salah satu pionir yang mau belajar tanpa sibuk memikirkan “ketabuan” demi kebaikan dirimu dan lingkungan di kemudian hari. Tapi perlu diingat, cari informasi yang bisa dipertanggungjawabkan sumbernya serta buang jauh-jauh niatan menggunakan informasi untuk menghakimi orang lain yang berkeputusan untuk tetap melakukan hubungan seksual. Karena bagaimana pun juga, tubuh mereka masih menjadi otoritas mereka.
The last but not least, please leave your partner when they force you to do sex. Life’s too short for a toxic relationship. Tidak perlu ragu apakah kamu akan bisa dicintai orang lain nantinya? Ya. Apakah kamu berhak mendapatkan orang yang begitu menyayangimu tidak hanya karena dari fisik semata? Ya. Apakah kamu berhak untuk bilang ‘tidak’ ketika kamu keberatan untuk melakukan hubungan seksual? Ya! Tubuhmu, otoritasmu, tanggung jawabmu. Boys will force you, but men will wait and ASK for your permission first. Believe me, having a true man as your partner is muchnicer than any boys’ sugar-coated words. Stay safe and sane.