Perempuan korban poligami harus sadar bahwa lawan kita sesungguhnya bukanlah si istri muda tetapi budaya patriarki.
Akhirnya saya matikan handphone saya pukul 3 subuh setelah tuntas menonton 10 episode serial “Saiyo Sakato” di aplikasi Go Play. Sayangnya, mata ini tidak bisa langsung terpejam padahal perih bukan main rasanya. Karena ada yang lebih perih dari mata saya, yaitu hati saya.
Saiyo Sakato bercerita tentang keluarga Uni Mar, yang berusaha bertahan menjalankan restoran padang keluarga setelah ditinggal oleh suami tercinta Da Zul. Tidak cukup Uni Mar bersama kedua anaknya dipusingkan dengan operasional restoran sehari-hari, tiba-tiba datang Nita bersama anaknya Budi yang mengaku sebagai anak istri Da Zul juga.
Ketika Perempuan Tidak Menyadari Sebagai Korban
Meskipun tokoh-tokoh utamanya adalah perempuan tetapi nuansa patriarkis digambarkan sangat kental sepanjang serial karya Gina S. Noer ini. Tampak upaya Gina menyampaikan fakta yang sebenarnya sudah sehari-hari kita telan, bahwa perempuan lah yang senantiasa menjadi objek penderita dalam budaya patriarkis yang toksik ini. Uni Mar dan Nita digambarkan terus berseteru dalam konflik besar maupun remeh, seakan tidak menyadari bahwa akar permasalahan ini adalah kebohongan suami mereka sendiri, bahwa mereka adalah korban dari tindakan egois suami mereka.
Anisa, anak pertama Uni Mar, selalu dihalangi cita-citanya memegang restoran oleh ibunya sendiri karena sang ibu lebih berpihak pada Zaenal, adik laki-lakinya yang sebenarnya tidak tertarik menjalankan bisnis keluarga ini. Pun demikian, Uni Mar tetap mengangkat Zaenal menjadi manager di restoran.
Keputusan ini dihargai baik oleh ibu Da Zul, Mak Yarlis. Sosok perempuan dominan ini ternyatalah menjadi sumber pendidikan patriarki yang memampukan Da Zul berpoligami. Saat berkunjung ke rumah menantunya, tampak jelas betapa menyedihkan praktik budaya patriarki ini bagi perempuan. Dengan rasa sayang yang sama pada kedua cucunya, Mak Yarlis memuji Zaenal karena telah menjadi manajer di restoran, detik berikutnya dia bertanya pada Anisa, apakah Anisa sudah punya pacar dan membujuknya untuk segera mencari jodoh, tidak dia tanyakan sama sekali apa cita-cita Anisa.
Di seberang sana, Nita sebagai istri kedua membangun Saiyo Sakato tandingan. Meskipun hanya berjarak 50meter tetapi nasib mereka terasa begitu bertolak belakang. Nita sebagai istri kedua sejak awal mendapat perlakuan tidak menyenangkan, bukan hanya dari keluarga Uni Mar tetapi juga dari masyarakat. Sebutan pelakor sampai pelecehan yang dia terima dari tamu-tamu restorannya adalah makanan sehari-hari bagi Nita.
Nasib Anak Korban Poligami
Mungkin penonton pun akan melakukan hal yang sama kepada Nita. Tetapi kemudian kita disodorkan gambaran kehidupan Budi, anak Nita yang baru berusia 8 tahun. Kita pasti paham Budi tidak tahu apa-apa tentang poligami ayahnya, bahwa ibunya dianggap sebagai perebut suami orang. Baginya ayah ibunya adalah idolanya.
Sayangnya perilaku kita yang cenderung menghakimi berdampak juga pada Budi. Budi sering takut pulang sekolah karena sering diganggu oleh tukang-tukang ojek yang menggoda ibunya, ia jadi kesepian karena ibunya melarang dia bermain dengan Zaenal, satu-satunya orang yang mau menemani dia, hanya karena sakit hati ibunya dengan keluarga Uni Mar.
Juga rumit bagi orang-orang lain yang adalah satelit Uni Mar dan Nita, mulai dari Anisa dan Zaenal sebagai anak, Emir, Eri dan Tek Cie sebagai adik-adik, bahkan sampai Susi dan Tupar sebagai tukang parkir restoran, semuanya terimbas. Begitu besarnya energi kesakitan yang disebar akibat melalui satu poligami saja. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya dengan 4 poligami.
Musuh Perempuan Korban Poligami Adalah Budaya Patriarki
Saiyo Sakato bagi saya adalah sajian lengkap beragam cita rasanya. Ada manisnya, ada sedihnya, ada pedasnya, ada lucunya. Saya sangat menikmati menontonnya, Gina S. Noer menurut saya adalah produser film yang sudah jernih perspektif gendernya. Saya yakin Gina dan kita tahu bahwa dalam dunia nyata, poligami tidak sesedap masakan padang, yang ada hanyalah pahit, pahit dan pahit.
Betapa banyaknya perempuan Indonesia yang harus terjebak dalam poligami, harus menjadi korban kezaliman suami-suami mereka, dengan iming-iming surga, perempuan-perempuan mengikhlaskan hidupnya mengalami ketidakadilan yang bertubi-tubi dalam setiap detik hidup mereka.
Betapa banyaknya perempuan Indonesia yang harus terjebak dalam poligami, harus menjadi korban kezaliman suami-suami mereka, dengan iming-iming surga, perempuan-perempuan mengikhlaskan hidupnya mengalami ketidakadilan yang bertubi-tubi dalam setiap detik hidup mereka. Uni Mar dan Nita adalah dua perempuan kuat, wanita pebisnis yang mandiri, kenapa mereka harus mempersulit hidup mereka dengan terus berkutat pada laki-laki yang telah menyakiti mereka?
Perempuan korban poligami harus sadar bahwa lawan kita sesungguhnya bukanlah si istri muda tetapi budaya patriarki. Perempuan seharusnya saling bergandengan tangan seperti Uni Mar dan Nita yang akhirnya insyaf, memutus rantai budaya patriarki yang melanggengkan poligami, saiyo sakato menolak menjadi korban ketidakadilan dan mulai memegang kendali atas kehidupan yang berfokus pada keberdayaan perempuan.