Beberapa hari lalu, seorang perempuan baru saja mengalami kekerasan dari pasangannya. Sebagai korban, dia bisa disebut cukup tangguh karena segera sigap melaporkan pelaku. Segala bukti telah dia siapkan dan dia kirimkan. Hanya saja, dia butuh pendampingan dari lembaga bantuan hukum (LBH) terdekat di kotanya. Sayangnya, dia mengaku semua upayanya sia-sia. Semua kontak lembaga yang sudah dihubungi tidak sanggup menerima layanan pendampingan secara langsung pada situasi pandemi ini.
Sementara di hari dan tempat yang berbeda, seorang istri berusaha mengobati dirinya dari sakit hati sekian kekerasan verbal dan stigma negatif yang selalu dilemparkan suaminya, hanya karena dia belum bisa hamil. Puncaknya ketika suaminya yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) itu, secara tak terduga membawa perempuan lain yang tengah hamil dari hasil perselingkuhannya.
Di kota yang berbeda, seorang remaja perempuan mengirimkan pesan panjang, tepat setelah dia diperkosa pacarnya. Dia menuliskannya masih dalam kondisi merasa terhina, kacau, bingung, dan gagap apa yang harus dilakukan untuk menuntut pacarnya. Sekian persoalan seksual yang menimpa perempuan, kini rasanya semakin meningkat. Hal ini pun dibenarkan berdasarkan pengalaman di negara lain melalui pemberitaan media-media.
Korban Meningkat dan Minimnya Akses Perlindungan
Di tengah pandemi, para perempuan di tempat berbeda, kini sama-sama sulitnya mengakses proses pendampingan dan advokasi hukum dalam maktu cepat. Sementara lembaga bantuan hukum maupun komunitas yang terbiasa gerak cepat mendampingi korban secara langsung, kini terpaksa menahan diri mereka untuk bergerak sebisanya.
Sebelum pandemi, kita semua sudah paham bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat, apapun bentuk dan statusnya. Sebulan lalu, tepatnya 6 Maret 2020, Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan sudah mengingatkan kita bahwa terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam rilis catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir.
Kini di tengah pandemi, perempuan korban kekerasan bukan hanya meningkat, namun juga kesulitan mengakses pendampingan, konseling, dan mengakses rumah aman. Saya sendiri di Komunitas Perempuan Berkisah dan sejumlah komunitas lain yang peduli persoalan perempuan, tak henti menerima beragam laporan terkait kekerasan berbasis gender.
Kolaborasi biasanya menjadi kunci yang melancarkan proses pendampingan korban. Sebelum pandemi, perempuan yang tinggal di kota seakan muda mendapatkan akses pendampingan. Sementara perempuan di desa atau di daerah terpencil, hanya mampu bertahan karena tak mendapat akses lembaga dan komunitas yang menjamur di kota-kota besar. Kini posisinya hampir sama, sama-sama kesulitan mendapatkan akses pendampingan secara langsung.
Lalu, upaya apa yang paling memungkinkan bisa kita lakukan kepada mereka yang membutuhkannya? Di tengah badai pandemi ini, tindakan pendampingan pada korban dan advokasi hukum mungkin akan sangat terbatas. Apalagi setelah pemerintah menerapkan aturan working from home (WFH). Begitu pun sejumlah komunitas yang biasanya bergerak cepat (gercep), respon mereka mungkin tetap gercep via online, namun tetap saja mereka dibatasi aturan penggunaan layanan transportasi publik dan lain-lain.
Mengandalkan Komunitas Peduli Perempuan Berbasis Online
Mungkin tidak semua orang mengetahui, bagaimana peran komunitas dalam bergerak dengan cepat (gercep) dalam proses penanganan kasus. Jumlah mereka sangat banyak, terutama mereka yang peduli pada persoalan perempuan. Apapun peran mereka, sekecil apapun, diakui atau tidak, nyatanya mereka memiliki peran penting sebelum kasus masuk ke lembaga bantuan hukum maupun pihak kepolisian. Tangan-tangan komunitas akan gercep menghubungi korban, mendampingi, dan berkoordinasi dengan jejaring lembaga terdekat, tepat, dan paling memungkinkan untuk menangani kasus korban kekerasan.
Pada umumnya mereka didominasi komunitas perempuan di beragam daerah dan beragam platform. Begitu pun cara kerja Komunitas Perempuan Berkisah (PB), dalam beberapa kasus, PB memang sebagai pihak pertama yang dihubungi korban dan melakukan pertolongan pertama psikologis atau semacam P3K psikologis kepada korban. Selanjutnya PB akan tetap berkoordinasi dengan lembaga terdekat sekaligus merujuk korban ke lembaga bantuan hukum (LBH), rumah aman untuk pemulihan, lembaga konseling, rumah sakit, maupun kepolisian.
Kini bagaimana dalam kondisi pandemi saat ini, ketika orang-orang baik sudah dibatasi geraknya, pun komunitas dan lembaga pemerintahan tidak bisa bergerak cepat? Jika kasus kekerasan menimpa diri kita, teman atau saudara dekat kita, setidaknya kita masih bisa melakukan sesuatu baik secara langsung (offline) maupun tidak langsung (online). Pada tahap ini, peran komunitas berbasis online akan sangat membantu.
Di luar semua upaya itu, mau tidak mau, siap tidak siap, kita membutuhkan ketrampilan tersendiri untuk menolong diri sendiri dan orang lain atau yang terdekat kita. Di sinilah pentingnya kita memiliki ketrampilan pertolongan pertama psikologis. Setidaknya, ketika kita mampu menerapkannya untuk diri kita sendiri maupun orang-orang terdekat kita.
Tenangkan Diri Dulu, dengan Lakukan Pertolongan Pertama Psikologi
Ketika harapan mendapat pendampingan dari komunitas maupun lembaga bantuan mulai terbatas, setidaknya kita sebagai korban maupun orang terdekat yang bisa membantu korban, mampu melakukan sesuatu mengurangi beban psikologisnya. Di sinilah, peran pertolongan pertama psikologis atau bisa disebut sebagai “P3K”-nya. Seseorang yang memiliki ketrampilan mendasar tentang pertolongan pertama psikologis bukan hanya seorang psikolog. Kita yang awam pun bisa mempelajarinya, setidaknya diterapkan bagi diri sendiri.
Saya sering membaca dan mempelajari tentang P3K Psikologis ini, karena di Komunitas Perempuan Berkisah (PB) sendiri hampir setiap saat menerima laporan kasus kekerasan. Sebagai konselor, kita tidak hanya berbekal empati, namun juga ketrampilan tertentu yang penting dalam menguatkan korban. Beberapa hari lalu, saya juga belajar dari seorang Psikolog Klinis, Mario Carl Joseph, M.Psi., Psikolog dan seorang praktisi Jin Sin Jyutsu, Greg Jakaria. Dalam sebuah diskusi tentang pertolongan pertama psikologis dalam situasi krisis, pada Senin (5 April 2020) yang diselenggarakan oleh Wellbeing Workshop, sebuah diskusi yang sangat tepat dilakukan dalam kondisi pandemi ini.
Menurut saya, banyak ketrampilan yang bukan hanya penting untuk diterapkan ke diri saya sendiri, namun juga kepada orang lain yang terhubung dengan kita baik online maupun offline. Selama ini saya pun melakukan hal yang sama bukan hanya pada diri saya, namun juga pada teman dan sejumlah sender (pengirim cerita) Perempuan Berkisah (PB) yang setiap saat bisa saja muncul menceritakan persoalannya. Apalagi dalam situasi krisis saat ini.
Bagi perempuan tertentu, di tengah pandemi ini seakan mereka diganjar beragam krisis dalam waktu yang bersamaan, terutama kekerasan dengan beragam jenisnya. Di sisi lain, akses pertolongan semakin terbatas. Di sinilah bagaimana kita mau tidak mau hanya mampu mengandalkan diri sendiri. Kita bisa melakukannya sendiri, atau kita menerapkankannya pada teman atau orang terdekat kita. Kita mungkin bisa mencoba Psychological First Aid (PFA) atau pertolongan pertama psikologi adalah sebuah intervensi psikologi singkat, praktis, dan fleksibel. Berupa pemberian bantuan kepada diri kita sendiri sebagai individu, keluarga dan masyarakat, yang menderita karena baru saja mengalami peristiwa krisis, keadaan darurat atau bencana.
Menurut Mario, secara umum, PFA bertujuan untuk memberikan bantuan untuk mengurangi reaksi stres sebagai dampak dari peristiwa traumatis dan mempercepat proses pemulihan. PFA bukan proses penyembuhan trauma. Dapat diberikan secara personal atau kelompok. Jika ingin menerapkan untuk diri sendiri, maka bisa juga kita lakukan di rumah kita sendiri.
Jika ingin menerapkan P3K Psikologi untuk orang lain, maka pasang radar kepekaan dan empati kita. Karena dalam proses ini, kita perlu menjadi pendengar yang aktif. Pendengar aktif bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap dan membuat penyintas merasa nyaman karena diperhatikan dan dipahami. Di sini kita harus peka atas apa yang kita ucapkan, jangan sampai kita menghakimi, sok menasehati, apalagi melakukan menginterogasi. Menjadi pendengar aktif saat bertemu langsung, pun ada tata cara duduk duduk dan bagaimana bahasa tubuh kita.
Kita juga bisa melakukan sejumlah terapi untuk stabilisasi emosi. Kita bisa mencari dan memilih sendiri sejumlah terapi yang paling memungkinkan bisa kita lakukan dan kita nyaman dengan terapi tersebut. Beberapa yang direkomendasikan oleh Psikolog di antaranya Metode Stabilisasi Emosi dengan sensing fingertips dan Jin Shin Jyutsu. Bagaimana teknik terapi ini? silakan baca di artikel laman perempuanberkisah berikutnya, atau langsung ke instagram @perempuanberkisah, atau langsung ke akun official Welbeing-Workshop.
Sebisa Mungkin Tidak Diam, Coba Lakukan Sesuatu Sebisanya.
Setelah kita merasa sudah tenang dan nyaman, serta siap bergerak mengurus kasus kita sendiri. Misalnya superti yang dilakukan Perempuan korban kekerasan yang saya ceritakan di awal tulisan ini, dia segern sirap melakukan beberapa langkah penting. Misalnya langkah berikut ini bisa dilakukan:
1) Membuat catatan tentang kejadian seksual yang anda alami.
Catat dengan teliti identitas pelaku, tempat kejadian, waktu, saksi dan yang dilakukan oleh pelaku serta ucapan-ucapan pelaku.
2) Bicara pada orang lain tentang pelecehan seksual yang anda alami.
Ceritakan kepada teman, atasan, guru, atau siapa saja yang anda percayai dan mau mengerti perasaan anda. Pastikan mereka mau mendampingi untuk proses selanjutnya, seperti mengantarkan ke lembaga bantuan hukum, pemulihan maupun konseling.
3) Memberi pelajaran kepada pelaku.
Apabila anda sanggup melakukannya katakan kepada pelaku bahwa tindakannya tidak dapat diterima. Anda dapat melakukannya dengan ucapan verbal dengan kata-kata, melalui telfon atau surat. Ajak seeorang teman untuk menjadi saksi.
4) Melaporkan pelecehan seksual tersebut, karena pelecehan seksual melanggar hukum. Maka, sangat tepat jika pelecehan seksual yang anda alami segera anda laporkan ke polisi.
Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang dapat menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual:
- Pencabulan pasal 289-296;
- Penghubungan pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506;
- Persetubuhan dengan perempuan di bawah umur pasal 286-288.
Di luar upaya kita menolong diri kita sendiri, kita juga bisa melakukan upaya pencegahan agar siapapun tidak menadi korban pelecehan seksual. Misalnya kita bisa mulai dengan memlajari persoalan pelecehan seksual; mampu bertindak asertif dan berani mengatakan tidak (menolak); menyebarkan informasi tentang pelecehan seksual; mau bertindak sebagai saksi; membantu korban; dan membentuk kelompok solidaritas.
Di luar semua upaya itu, kita juga penting mengkampanyekan jaminan keamanan, khususnya bagi perempuan, serta mendorong disahkannya rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Selain itu juga mengkampanyekan penegakan hukum bagi hak-hak Perempuan. Serta, mendukung terus pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).
Ingat! Jika anda menjadi korban pelecehan seksual, Anda Jangan Diam! Pikirkanlah langkah-langkah yang bisa anda ambil. Selalu tanamkan dalam diri anda bahwa pelecehan yang terjadi sama sekali bukan kesalahan anda. Kendati demikian, saya paham bahwa pada level kekerasan seksual tertentu, korban mungkin tidak bardaya melakukan apapun.